11 Fungsi Masjid Dalam Kehidupan Umat Islam – Sudah dimaklumi, masjid memiliki kedudukan yang sangat agung dalam hati kaum Muslimin. Masjid juga memiliki keutamaan yang besar dan banyak. Selain banyaknya keutamaan yang dimiliki, masjid memang merupakan institusi yang sangat urgen dalam kehidupan kaum Muslimin.
Ini bisa dilihat dari besarnya perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap masjid. Ia memiliki banyak fungsi strategis yang sangat menunjang proses perwujudan masyarakat Islami.
Sebagian kalangan sekarang ini begitu getol mengkampanyekan agar masjid dikembalikan kepada fungsinya yaitu sebagai rumah ibadah. Sebenarnya ini merupakan bentuk upaya untuk membonsai peran masjid dalam pembangunan masyarakat yang maju dan beradab.
Masjid tidak hanya sekedar berfungsi sebagai tempat ibadah semata. Ini persepsi yang keliru dan bertentangan dengan sejarah Islam itu sendiri. Pembatasan fungsi masjid seperti itu jelas akan kontra produktif dengan upaya membangun peradaban masyarakat Muslim yang tinggi dan maju.
Peradaban Islam yang tinggi, kokoh dan mulia pada masa dahulu telah dilahirkan, dibangun dan dikokohkan pondasi dan bangunannya oleh generasi Islam yang telah lulus dari pendidikan di masjid.
Nah, tulisan ini mengajak Anda untuk menyelami lebih jauh peranan dan fungsi masjid dalam Islam dengan definisi masjid secara luas, bukan parsial. Tentunya ini mengacu kepada praktek pertama kali yang dijalankan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam sebagai acuan utama dan role model bagi kita.
Diharapkan setelah ini kita bisa menjalankan fungsi-fungsi tersebut sesuai dengan keadaan dan kapasitas yang dimiliki, selama itu memungkinkan.
Fungsi Masjid Pada Awal Munculnya Islam
Banyak fungsi masjid yang pernah dijalankan di masa awal perkembangan Islam. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
“ Dahulu masjid merupakan pusat berkumpulnya Umat Islam dan tempat para Imam. Rasulullah telah mendirikan masjidnya yang diberkahi di atas dasar takwa. Di dalam masjid tersebut dilaksanakan shalat, menghafal al Quran, berdzikir, mengajarkan ilmu dan khutbah-khutbah.
Di dalam masjid tersebut juga terdapat kebijakan (politik), diikat panji dan bendera, pengangkatan para pemimpin, pengenalan orang-orang yang berilmu dan di masjid tersebut kaum Muslimin berkumpul manakala ada perkara yang menyusahkan mereka baik terkait agama mereka atau dunia mereka.”[1]
Masjid pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah tempat untuk melaksanakan shalat semata. Namun ada banyak fungsi dan peranan masjid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan pertemuan-pertemuan, menerima utusan-utusan dan mengadakan halaqah-halaqah dzikir dan halaqah ilmu.
Masjid menjadi tempat pemberangkatan dakwah dan utusan-utusan Nabi, menjadi tempat pengambilan keputusan urusan-urusan penting di masa damai dan perang, dan pekerjaan pertama yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk ke Madinah sebagai orang yang berhijrah adalah segera membangun masjid.[2]
Fungsi-fungsi ini pada masa sekarang sebagiannya memang sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga yang bersifat khusus. Namun sebagian lainnya masih terus berjalan dan bahkan berkembang di lingkungan masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia Islam
Fungsi Masjid Dalam Islam
1. Masjid sebagai tempat ibadah shalat dan ibadah lainnya
Fungsi paling mendasar dan utama dari masjid memang untuk melaksanakan shalat juga berbagai bentuk ibadah lainnya. Ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فِى بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا ٱسْمُهُۥ يُسَبِّحُ لَهُۥ فِيهَا بِٱلْغُدُوِّ وَٱلْءَاصَالِ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” [An Nur: 36]
Sedangkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak ditemukan keterangan tentang pelaksanaan shalat berjamaah di masjid.
Di antaranya adalah hadits berikut ini:
مَنْ رَاحَ إِلَى مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ فَخَطْوَةٌ تَمْحُو سَيِّئَةً، وَخَطْوَةٌ تُكْتَبُ لَهُ حَسَنَةٌ، ذَاهِبًا وَرَاجِعًا
”Barangsiapa yang berangkat menuju masjid untuk shalat berjamaah, maka satu langkah akan menghapus dosa dan langkah berikutnya dicatat sebagai kebaikan, baik pada saat berangkat maupun kembali.” (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Tentunya ketepatan jam sholat masjid harus menjadi perhatian para takmir masjid. Sehingga, fungsi utama masjid sebagai tempat ibadah sholat tetap bisa berjalan dengan baik sebagaimana mestinya.
Bentuk bentuk ibadah lain yang sering dilakukan di masjid adalah I’tikaf. Ini merupakan sunnah yang sangat besar keutamaannya sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya saat di Madinah.
Dari Abu Hurairah, ia berkata:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” HR. Al Bukhari no. 2044.
Ibadah lainnya yang bernilai lebih besar bila dilakukan di masjid adalah membaca al Quran. Ini berdasarkan hadits:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بَيُوْتِ اللَّهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللًّهِ وَيَتَدَارَسُوْنَ بَيْنَهُم إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمُ اللُّه فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) sambil membaca Al-Qur’an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan atas mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka dan Allah menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya.” [Hadits Riwayat Muslim, no 2699].
2. Masjid sebagai tempat pembinaan iman dan pensucian jiwa.
Iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang kemaksiatan. Ini merupakan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat besar perhatiannya terhadap pembinaan iman masyarakat Islam di Madinah.
Sehingga beliau mendorong mereka untuk melakukan berbagai ketaatan untuk meningkatkan iman dan ketakwaan mereka kepada Allah.
Di antara bentuk ketaatan yang sangat ditekankan oleh Rasulullah agar dipegang teguh oleh masyarakat Muslim adalah shalat berjamaah di masjid. Ia merupakan salah satu syiar Islam yang sangat agung. Selain itu keutamaannya sangat besar. Banyak maslahat yang langsung bisa dirasakan oleh kaum Muslimin.
Oleh karena itu Rasulullah begitu keras peringatannya kepada orang Muslim yang malas dan lalai dalam menjalankan ketaatan yang agung ini. Ini terlihat dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْتَطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
“Demi jiwaku yang ada pada tangan-Nya, aku telah bermaksud memerintahkan untuk mengambilkan kayu bakar, lalu dikumpulkan, kemudian aku memerintahkan azan shalat untuk dikumandangkan. Lalu aku memerintahkan seseorang untuk mengimami orang-orang berjama’ah, kemudian aku mendatangi orang-orang yang tidak shalat berjama’ah lalu aku membakar rumah mereka.” (HR. Al Bukhari, no. 644 dan Muslim, no. 651)
Ini merupakan salah satu bentuk pembinaan iman dan upaya untuk memelihara syiar Islam yang agung ini.
Untuk meningkatkan iman, membersihkan jiwa dan mensucikan hati masyarakat Muslimin, ada juga aktifitas lain di masjid yang sangat dijaga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yaitu I’tikaf di masjid pada bulan Ramadhan. Sunnah I’tikaf memilik hikmah khusus dalam persoalan pensucian jiwa dari kecintaan kepada dunia.
I’tikaf juga menguatkan hubungan seorang Muslim dengan Allah Subahanahu wa Ta’ala. Selain itu, juga memperkokoh keterikatan hati seorang Muslim dengan akhirat sebagai tempat kembalinya.
3. Masjid sebagai tempat pertemuan kaum muslimin dan penguatan ikatan di antara mereka
Masjid menjadi sarana pertemuan dan penguatan hubungan di antara anggota masyarakat Muslim. ini bisa dilakukan dengan menjalankan shalat lima waktu di masjid setiap hari. Dengan senantiasa shalat berjamaah di masjid, intensitas pertemuan diantara mereka menjadi tinggi. Hal ini tentu berpengaruh terhadap tingkat keeratan hubungan di antara mereka.
Setiap bertemu dengan sesama Muslim, kita disunnahkan untuk saling bersalaman. Demikian pula saat berjumpa dengan mereka di masjid. Hal ini akan menggugurkan dosa mereka berdua . Ini sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan dosa keduanya sudah diampuni sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud no. 5212 dan at-Tirmidzi no. 2727, dishahihkan oleh al-Albani).
Selain menggugurkan dosa, bersalaman antara dua muslim yang sedang bertemu juga akan menumbuhkan rasa cinta di antara mereka. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh para ulama salaf.
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Berjabat tangan itu dapat menambah kecintaan”.
Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Telah sampai kepadaku bahwasannya apabila dua orang yang saling mencintai (karena Allah) saling melihat kemudian salah satunya tertawa kepada sahabatnya dan keduanya saling berjabat tangan maka bergugurlah kesalahan-kesalahan keduanya sebagaimana gugurnya daun-daun dari pepohonan”.
Seseorang berkata kepada beliau: “Sungguh ini merupakan amalan yang ringan sekali”. Beliaupun menyahut: “Kamu katakan ringan? Padahal Allah berfirman:
لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا مَّا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلٰكِنَّ ٱللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Akan tetapi, Allah telah mempersatukan hati mereka.” [Al-Anfal : 63]. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hlm. 291)
Kemudian, dengan senantiasa mendatangi masjid untuk shalat berjamaah, kaum Muslimin akan dididik untuk menjalankannya dengan benar sesuai sunnah. Di antara sunnah shalat berjamah adalah meluruskan dan merapatkan barisan shalat.
Lurus dan rapatnya barisan shalat adalah sebab bersatunya hati orang-orang yang shalat. Dan bengkoknya shaf dapat menyebabkan berselisihnya hati mereka. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاةِ وَيَقُولُ : ( اسْتَوُوا , وَلا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memegang pundak-pundak kami sebelum shalat, lalu beliau bersabda, “Luruskanlah (shaf) dan jangan bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula.” (HR. Muslim, no. 432).
Bila demikian halnya, masjid memiliki peranan yang begitu besar dalam menumbuhkan dan menguatkan hubungan, rasa cinta, persaudaraan dan kesatuan hati di antara kaum Muslimin. Caranya sangat mudah dan praktis. Sungguh ini merupakan kemudahan dari Allah subhanahu wa Ta’ala. Namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
4. Masjid sebagai tempat pengajaran berbagai ilmu yang bermanfaat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai hadits sering mendorong kaum Muslimin untuk menjadikan masjid sebagai tempat mereka belajar ilmu. Ini karena banyak sekali keutamaan yang mereka peroleh dengan belajar ilmu di masjid.
Di antaranya adalah dalam hadits berikut:
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يُعَلِّمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حَجَّتُهُ
“Siapa yang berangkat ke masjid yang ia inginkan hanyalah untuk belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan, ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna hajinya.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 8: 94. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 86 menyatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak hadits dalam masalah ini. Ibnu Badis rahimahullah menjelaskan dengan sangat baik fungsi strategis masjid sebagai pusat pembelajaran kaum Muslimin. Beliau berkata:
“Masjid dan taklim merupakan saudara kembar dalam Islam semenjak hari kemunculan Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sudah menetap di Darul Islam (Madinah) tidak membangun rumahnya sampai beliau telah membangun masjid. Bila beliau membangun masjid maka beliau shalat di situ dan duduk untuk mengajar para sahabatnya.
Maka keterikatan masjid dengan taklim sebagaimana keterikatan masjid dengan shalat. Sebagaimana tidak ada masjid tanpa shalat, demikian pula, tidak ada masjid tanpa taklim. Kebutuhan Islam terhadap taklim adalah sebagaimana kebutuhan Islam terhadap shalat. Jadi, tidak ada Islam tanpa ada taklim.
Oleh karena inilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus memakmurkan masjid dengan shalat dan taklim. Umurnya seluruhnya tidak pernah terputus dari shalat dan taklim di masjid. Bahkan sekalipun dalam keadaan sedang sakit yang mengantarkan kepada kematiannya.
Setelah itu, kaum Muslimin terus menerus menjalankan sunnah ini di berbagai wilayah Islam. Mereka mewakafkan tanah wakaf untuk didirikan masjid untuk shalat dan taklim. Di antara yang paling menonjol dan terkenal pada hari ini adalah Universitas Al Azhar, Universitas Zaituniyah dan Universitas Qaruwain. (Atsar Ibnu Badis: disusun dan ditahqiq oleh Ammar Thalibi, Dar wa Maktabah Asy Syirkah Al Jazairiyyah, cetakan pertama) [3]
Baca juga: Contoh Nama Masjid dan mushola
5. Masjid sebagai pusat aktifitas politik dan pemerintahan
Ada beberapa bentuk aktifitas terkait urusan politik dan pemerintahan yang pernah dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Berikut ini adalah sebagian bentuknya:
- Menerima utusan negara lain
Penulis Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, Sami bin Abdullah Al-Magluts, menyebutkan dalam salah satu buku atlasnya bahwa salah satu tiang Masjid Nabawi dinamakan dengan Tiang Duta dikarenakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa menemui utusan negara lain di sana.
أسطوانة الوفود : وهي ملاصقة لشباك الحجرة الشريفة، سميت بذالك لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يجلس عندها لوفيد العرب القادمة عليه.
“Tiang Duta/Utusan : Posisinya menempel dengan jendela kamar Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dinamakan demikian karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa menggunakannya sebagai tempat pertemuan ketika ada Duta/utusan bangsa Arab yang datang kepadanya.” (Al-Maghluts, Atlas Al-Hajj wal Umrah, hlm. 247).
- Mengirim utusan ke suatu wilayah
Sebagaimana saat menerima duta dari negara lain, Rasulullah menggunakan masjid sebagai tempat untuk menerima mereka. Maka demikian halnya ketika Rasulullah mengirim utusan ke suatu wilayah di luar Madinah. Sebagai contoh adalah pengiriman Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari ke Yaman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memakai masjid sebagai markas pemberian tugas dan arahan terkait tugas tersebut. Hal ini karena pada saat itu, belum ada satu tempat khusus sebagai pusat pengaturan urusan pemerintahan semacam istana kepresidenan pada masa kini.
Saat itu, kantor pusat pemerintahan Islam adalah Masjid Nabawi. Sehingga urusan-urusan resmi kenegaraan semacam penerimaan utusan dari negara lain atau mengirim utusan resmi ke luar wilayah Madinah diselenggarakan di masjid.
- Bermusyawarah untuk menentukan kebijakan umum terkait persoalan umat dan negara atau menetapkan strategi menghadapi musuh negara.
Dalam sejarah perang dalam Islam, perang Uhud dan perang Ahzab merupakan dua perang besar yang penuh dengan peristiwa genting di dalamnya. Dalam menghadapi dua perang tersebut, disebutkan dalam sirah Nabi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan musyawarah dengan para tokoh shahabat.
Musyawarah tersebut dilakukan untuk menentukan strategi paling tepat untuk menghadapi ancaman serangan musuh. Ancaman ini sangat serius karena membahayakan eksistensi negara Islam saat itu. Dan tempat penyelenggaraan musyawarah penting semacam ini adalah di masjid. ini berarti masjid menjadi semacam markas besar para petinggi militer.
Melakukan musyawarah dalam urusan umat dan negara memang merupakan kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini sebagaimana diterangkan oleh Dr. Akram Dhiya’ al ‘Umari sebagai berikut:
“Begitu kaum Muslimin mendengar kabar pasukan Ahzab berkumpul untuk menyerang mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mulai bermusyawarah dengan mereka membahas apa yang sebaiknya beliau lakukan untuk menghadapi pasukan Ahzab.
Itulah kebiasaan yang beliau lakukan setiap kali menghadapi masalah-masalah yang penting untuk mengambil hati para sahabat dan sekaligus untuk dijadikan panutan bagi generasi mendatang.
Beliau ingin mendapatkan masukan dari mereka dalam hal yang tidak ada petunjuk wahyu, seperti masalah perang, dan masalah-masalah penting lain yang menyangkut umat. (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah: 134).
Tujuan lainnya adalah untuk melatih mereka memikirkan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi oleh negara dan masyarakat sehingga diharapkan di tengah-tengah mereka akan muncul para komandan yang hebat dan para pengatur siasat yang handal.
Dengan demikian mereka akan punya rasa tanggung jawab terhadap masalah-masalah yang bersifat umum dan ikut ambil bagian memecahkannya.[4]
- Menahan tawanan perang
Pada saat itu belum ada tempat khusus untuk menempatkan tahanan perang. Penempatan tahanan perang di masjid kemungkinan karena ada tujuan dan pertimbangan tertentu di balik itu. Hanya saja bukan di sini tempatnya mengkaji persoalan tersebut.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim pasukan berkuda mendatangi Najed. Pasukan itu lalu kembali dengan membawa seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Mereka kemudian mengikat laki-laki itu di salah satu tiang masjid.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu keluar menemuinya dan bersabda, “Lepaskanlah Tsumamah.” Tsumamah kemudian masuk ke kebun kurma dekat masjid untuk mandi. Setelah itu ia kembali masuk ke masjid dan mengucapkan, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 442)
6. Masjid sebagai tempat proses peradilan
Banyak kasus di masyarakat yang diselesaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tempat untuk memprosesnya adalah di masjid. Di antara contoh praktek penyelesaian masalah peradilan di masjid adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah.
“Orang-orang Yahudi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah berzina. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka, ‘Apa yang kalian lakukan kepada orang yang berzina?’ Mereka menjawab, ‘Kami mencoret-coret wajah keduanya dengan warna hitam dan memukulnya.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah kalian tidak menemukan hukuman rajam di dalam Taurat?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkannya sedikit pun.” Maka Abdullah bin Salam berkata kepada mereka, ‘Kalian berdusta, datangkanlah Taurat kalian dan bacalah jika kalian orang-orang yang jujur.’
Maka mereka pun meletakan kitab yang mereka pelajari. Di antara mereka ada yang menutupi ayat rajam dengan tangannya. Lalu dia dengan cepat membaca apa yang ada disamping kanan kirinya tanpa membaca ayat rajam. Abdullah bin Salam pun segera menyingkirkan tangannya, seraya berkata,” Apa ini?”. Tatkala mereka melihat hal itu, mereka menjawab,” ‘Ini adalah ayat rajam.’
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk merajam keduanya di dekat kuburan di samping masjid. Kata Abdullah; ‘Aku melihat lelakinya melindungi dan menutupi wanitanya dari lemparan batu dengan cara membungkukkan badannya.’” (HR. Al-Bukhari no. 4190)
7. Masjid sebagai Pusat Komando dan Pengendalian Mujahidin
Setiap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengutus satuan tempur untuk melakukan suatu operasi militer, maka tempat penentuan para anggota satuan tersebut, komandannya, dan misi utamanya adalah di masjid.
Demikian juga dengan pemberian briefing pemberangkatan dan wasiat kepada seluruh pasukan adalah di masjid. Setelah pasukan tersebut menjalankan tugas dan menyelesaikan misinya, mereka biasanya kembali ke markas utamanya sebelum pulang ke rumah masing-masing yaitu masjid, untuk melaporkan pelaksanaan operasi yang mereka emban.
Di antara contoh yang paling komplit sejarahnya dalam masalah ini adalah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi komandan pasukan dalam perang Dzatu Salasil.
Di dalam hadits yang panjang tersebut disampaikan bagaimana Rasulullah memberikan arahan kepada Amr bin ‘ash setelah menunjuknya sebagai komandan dan menjelaskan misinya. Jalannya pertempuran juga terekam dengan baik hingga usai pertempuran. Termasuk laporan paska pelaksanaan tugas tersebut juga ada.
Dari satu perang ini saja banyak pelajaran yang bisa ditarik oleh para ahli sejarah, ahli militer dan ahli hukum Islam. Namun bukan di sini tempat untuk menjelaskan masalah ini.
8. Fungsi sebagai tempat pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Salah satu bentuk pelatihan yang pernah dilakukan dan terekam dalam hadits adalah pelatihan ketrampilan bermain tombak. Ini merupakan bentuk training untuk meningkatkan kualitas tentara Islam saat itu. Tujuannya jelas untuk menghasilkan mujahidin yang sangat terlatih menggunakan senjata.
Ini bentuk pemenuhan salah satu hukum sebab akibat yang berlaku di dunia untuk meraih kemenangan atas musuh, yaitu terwujudnya satuan mujahidin bertakwa yang tangguh nan sabar yang memiliki skill tingkat tinggi dalam menggunakan senjata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata membiarkan para sahabat menggunakan masjid sebagai tempat pelatihan senjata.
“Dari Urwah bin Zubair ia berkata, ‘Aisyah berkata, “Demi Allah, saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di pintu kamarku, sementara orang-orang Habasyah sedang bermain tombak di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka beliau menutupiku dengan kainnya agar aku dapat melihat permainan mereka. Kemudian beliau berdiri (agar aku lebih leluasa melihat), sampai aku sendiri yang berhenti melihatnya.” [HR Muslim: 2/609]
Dengan demikian, masjid boleh digunakan untuk berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi kaum Muslimin selama tidak melanggar syari`at. Melakukan berbagai bentuk pelatihan, workshop untuk pengembangan SDM kaum Muslimin jelas bermaanfaat. Hanya saja dalam pelaksanannya tetap harus menjaga ketentuan syariat dan adab di dalam masjid.
Ada baiknya di sini kita nukilkan FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 34 Tahun 2013 Tentang PEMANFAATAN AREA MASJID UNTUK KEGIATAN SOSIAL DAN YANG BERNILAI EKONOMIS.[5]
Di dalam fatwa tersebut dijelaskan ketentuan hukum tentang pemanfaatan masjid untuk kegiatan sosial dan yang bernilai ekonomis, salah satu poinnya adalah sebagai berikut:
“Pemanfaatan area masjid untuk kepentingan muamalah, seperti sarana pendidikan, ruang pertemuan, area permainan anak, baik yang bersifat sosial maupun ekonomi diperbolehkan, dengan syarat:
- Kegiatan tersebut tidak terlarang secara syar’i
- Senantiasa menjaga kehormatan masjid.
- Tidak mengganggu pelaksanaan ibadah
9. Masjid sebagai tempat layanan medis
Dalam sejarah Islam awal, rumah sakit lebih merupakan layanan pengobatan yang bergerak mengiringi mobilitas tentara Islam. Setiap pertempuran yang pernah terjadi di zaman Rasulullah tak lepas dari peran tenaga medis ini. Tugasnya merawat dan mengobati tentara yang sakit dan terluka.
Meskipun dalam segi peralatan dan keterampilan masih sangat sederhana, keberadaan tenaga medis ini sangat penting. Sebab dalam setiap pertempuran tidak mungkin tak ada tentara yang terluka dan terserang suatu penyakit, sehingga butuh penanganan dan pengobatan yang tanggap.
Puncaknya, cikal bakal rumah sakit abad ke 6 M di era Rasulullah menurut pelacakan Rahman (2004) dalam “The Development of the Health Sciences and Related Institutions During the First Six Centuries of Islam” menyebutkan ketika Nabi pulang dari Perang Khandaq bersama tentara yang terluka, beliau memerintahkan agar didirikan tenda di area Masjid Nabawi sebagai tempat pengobatan.[6]
Hal ini sesuai dengan keterangan Dr. Ali Muhammad Ash Shalabi ketika menjelaskan munculnya rumah sakit militer pertama dalam Islam. Rumah sakit militer tersebut masih dalam bentuk yang sangat sederhana, yaitu pendirian kemah khusus untuk merawat orang-orang yang sakit dan terluka selama perang Khandaq /Ahzab.
Dr. Ali Ash Shalabi berkata,”Kaum Muslimin mendirikan rumah sakit Islam militer pertama pada waktu perang Ahzab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat kemah di masjidnya yang mulia di Madinah ketika roda perang Ahzab mulai berputar.
Kemudian beliau memerintahkan Rufaidah al Aslamiyah Al Anshariyah agar menjadi kepala rumah sakit nabawi militer tersebut. Dengan demikian, Rufaidah Al Aslamiyah menjadi perawat militer pertama dalam Islam.[7]
10. Masjid sebagai tempat bernaung bagi orang fakir dan Ibnu sabil.
Masjid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah difungsikan untuk menjadi tempat tinggal sebagian Muhajirin yang telah kehilangan tempat tinggal dan harta benda karena hijrah dari Mekah. Mereka ada yang tidak mampu untuk membangun rumah di Madinah karena kondisi ekonominya yang lemah.
Demikian pula dengan utusan dari berbagai daerah yang datang hendak menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ditempatkan di masjid sebagai penginapan mereka sementara waktu. Tempat untuk asrama orang -oang fakir dari kalangan Muhajirin dan penginapan bagi para utusan dari luar Madinah itu disebut oleh Nabi dengan Ash Suffah.
Pembuatan Shuffah itu dilakukan pas ada momentum pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Peristiwa itu terjadi pada 16 bulan sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.
Pada saat itu dinding kiblat yang pertama masih berada di belakang Masjid Nabawi, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk memasang atap. Selanjutnya, beliau menyebut tempat tersebut dengan nama As-Shufah. Pada bagian-bagian sampingnya tidak ada pagar yang menutupinya.[8]
11. Sebagai tempat akad nikah dan walimah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyelenggarakan akad nikah seorang Muslimah dengan seorang sahabat nabi dengan mahar berupa sejumlah surat yang telah dihafal. Akad ini berlangsung di masjid. Ini dalam hadits riwayat Al Bukhari no 5029.
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menggunakan sebuah ruangan di masjid yang disebut dengan Ash Shufah untuk walimahan. Ini sebagaimana dinukil oleh Dr. Akram Dhiya’ Al Umari berdasarkan hadits riwayat Muslim, di dalam Shahih Muslim, Kitab Nikah, no 94.
Dr. Akram berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggunakan tempat tersebut untuk keperluan penyelenggaraan walimah yang dihadiri sebanyak tiga ratus orang, kendatipun sebagian tamu undangan yang datang ada yang duduk di kamar-kamar istri beliau yang tembus dengan bangunan masjid.”[9]
Hal inilah menjadi salah satu landasan dalam hukum akad nikah di masjid yang dibahas oleh para ulama.
Pengertian Mengembalikan Fungsi Masjid pada Masa Kini
Pada masa kini sudah banyak masjid yang pengurusnya sudah berhasil mengembalikan banyak fungsi strategis yang sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin.
Sudah banyak masjid yang mulai menjalankan fungsi sebagai tempat kajian ilmiah, penyelenggaraan pernikahan, layanan kesehatan, bimbingan -konseling dan berbagai pelatihan.
Mengembalikan fungsi masjid sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjalankannya bukan berarti menggeser keberadaan berbagai departemen dan kementrian yang ada dalam sebuah negara dan dikembalikan ke masjid.
Dr. Raghib As Sirjani, setelah menjelaskan berbagai fungsi masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyatakan:
“Persoalan ini memerlukan berbagai kajian untuk menjelaskan peran masjid dalam kehidupan kaum Muslimin. Masjid memiliki peran dalam setiap aspek kehidupan. Ini tidak berarti saya bermaksud untuk mengubah masjid sekarang ini menjadi rumah sakit, penginapan, mahkamah dan kementrian. Maksudnya bukan demikian.
Akan tetapi makna yang wajib ada dalam pemahaman dan perasaan kita adalah bahwa pendidikan di masjid merupakan pendidikan fundamental dalam mengelola setiap lembaga ini. Hal ini karena orang yang tidak mengetahui hak Allah maka tidak akan mengetahui hak-hak yang dimiliki makhluk Allah.
Orang-orang yang tidak memiliki pedoman dari syariat maka tidak akan mungkin ada pembatasan terhadap kezalimannya, kerusakannya dan kesesatannya di muka bumi. Orang-orang yang tidak mengetahui jalan ke masjid maka tidak akan mengetahui jalan kebenaran, keadilan, amanah dan kemuliaan.
Makna-makna tadi kita ketahui dengan sangat jelas dan mendalam melalui firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلاَّ خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan didunia dan di akhirat mendapat azab yang berat.” [Al Baqarah: 114]
Orang yang menghalangi manusia dari mengaktifkan fungsi masjid ini, tidak hanya menimbulkan dampak (buruk) pada orang-orang yang shalat di masjid, namun dia telah menimbulkan dampak (buruk) pada masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu Allah menganggap perbuatan ini sebagai kejahatan besar.[10]
Footnote Referensi Fungsi Masjid:
[1] Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, penyusun: Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, Penerbit: Majma’ al Malik Fahd Lithiba’ah Al Mushaf Asy Syarif. Madinah Munawarah, 1416: 35/39
[2] Lihat: http://albayan.co.uk/Mobile/MGZarticle2.aspx?ID=6255
[3] Lihat: http://albayan.co.uk/Mobile/MGZarticle2.aspx?ID=6255
[4] Lihat: Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, Dr. Akram Dhiya’ Al Umari, Darul Falah, Jakarta, halaman 457-458.
[5] Lihat: FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 34 Tahun 2013 Tentang PEMANFAATAN AREA MASJID UNTUK KEGIATAN SOSIAL DAN YANG BERNILAI EKONOMIS
[6] Lihat: https://www.beritainspiratif.com/cikal-bakal-rumah-sakit-abad-ke-6-m-era-rasulullah-saw/
[7] Lihat: Sirah Nabawiyah: ‘Ardhu waqai’ wa Tahlilu Ahdats, oleh Dr. Ali Muhammad Ash Shalabi, Darul Makrifah, Beirut, Lebanon, 1429 H/ 2008 M. Halaman 615-616.
[8] Lihat: Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, Dr. Akram Dhiya’ Al Umari, Darul Falah, Jakarta, halaman 264-265.
[9] Ibid, hal. 265