Pengertian Masjid – Berbicara masjid, tentu tidak lepas dari pengertian masjid, baik secara definisi maupun perbedaan setiap istilah terkait masjid. Begitu juga, ada banyak istilah mulai dari masjid agung, masjid raya, masjid negara, masjid besar, masjid Jami’, ataupun musholla.
Tulisan ini mencoba membahas secara lengkap, semua hal di atas, semoga bermanfaat dan dapat menjadi salah satu bahan referensi tulisan bagi yang membutuhkan.
Prolog
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kewajiban shalat fardhu kepada hamba-hamba-Nya yang Muslim. Allah bahkan menjadikan shalat sebagai rukun Islam yang kedua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله ﷺ: بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Dari Abdullah bin Umar -semoga Allah meridhainya- ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,” Islam dibangun di atas 5 (perkara): syahadat Laa Ilaha Illallah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan puasa Ramadhan.” [Hadits riwayat Imam Al Bukhari, no.8]
Islam telah mengkhususkan satu tempat tertentu untuk melaksanakan shalat yang disebut dengan masjid. Masjid merupakan salah satu pilar utama masyarakat Muslim. Ia merupakan tempat untuk menyatukan barisan kaum Muslimin.
Orang kaya bersanding dengan orang fakir dan orang yang lemah berdampingan dengan yang kuat. Masjid juga merupakan obor atau suluh yang memancarkan cahaya, hidayah, kebaikan dan sikap istiqamah.
Namun, bila melihat judul artikel ini sepintas lalu, mungkin akan terbersit pertanyaan yang menggelitik. “Buat apa membahas masalah ini? Kan semua orang – bahkan anak kecil sekalipun juga tahu apa itu masjid?.” Mungkin saja muncul lintasan pertanyaan seperti ini. Ini sah-sah saja. Penilaian sepintas tadi memang benar namun tidak sepenuhnya benar.
Ini karena mayoritas orang kemungkinan besar memahami kata “Masjid” hanya berdasarkan apa yang dilihat. Bukan berdasarkan pemahaman yang agak lebih detail dan komplit. Bukan hasil dari sebuah kajian tentang masjid, walaupun ringkas.
Misalnya, pengertian masjid secara bahasa dan syar’I, adakah perbedaan antara masjid, masjid jami’ dan mushola? kapan sebuah tempat dihukumi sebagai masjid? Dan seterusnya
Nah, tulisan sederhana ini akan memberikan tambahan informasi untuk memperluas pemahaman. Semoga saja bisa memberikan pencerahan bagi yang belum tahu, memberikan pengingatan bagi yang terlupa dan memperkokoh pengertian bagi yang sudah paham.
Pengertian Masjid Secara Bahasa
Kata masjid ( مَسْجِدٌ )merupakan pecahan kata dari kata kerja dalam Bahasa Arab سَجَدَ (telah bersujud). Kata مَسْجِدٌ dengan huruf jim dikasrohkan itu berarti tempat khusus yang disiapkan untuk melaksanakan sholat lima waktu.
Namun bila yang di huruf jim-nya difathahkan مَسْجَد maka itu berarti tempat sujudnya dahi.
Jadi masjid secara bahasa adalah tempat untuk bersujud. Kemudian makna tersebut meluas menjadi sebuah bangunan yang dijadikan tempat berkumpulnya kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat di dalamnya.[1]
Penggunaan kata masjid yang diambil dari kata kerja sajada yang berarti bersujud, ternyata ada rahasianya. Yaitu, sujud merupakan aktifitas shalat yang menjadikan seorang hamba berada pada posisi paling dekat dengan Rabbnya. Ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Muhammad bin Abdullah Az Zarkasyi rahimahullah (745 H – 794 H):
”Karena sujud adalah perbuatan yang paling mulia dalam shalat, karena kedekatan seorang hamba dengan Rabbnya (Allah Subhanahu wa Ta’ala) (yaitu, saat bersujud), maka nama tempat shalat diturunkan dari kata ini, sehingga orang menyebutnya: ’Masjid’ مَسْجِدٌ, dan mereka tidak menyebutnya: Marka’ مركع (tempat rukuk).
Kemudian sesungguhnya ‘urf (tradisi di kalangan masyarakat Muslim) mengkhususkan masjid ini dengan pengertian sebuah tempat yang disiapkan untuk sholat lima waktu. Maka tanah lapang tempat berkumpul untuk shalat Id atau semacamnya, tidak dihukumi sebagai masjid.”[2]
Definisi Masjid Secara Istilah Syar’i
Sedangkan pengertian masjid dalam istilah syar’I adalah tempat yang disiapkan untuk shalat di dalamnya secara terus menerus. Pada asalnya, masjid secara syar’I adalah setiap tempat di bumi ini yang digunakan untuk bersujud kepada Allah. Ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu:
وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا ، فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَة ُفَلْيُصَلِّ
”…dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan sarana bersuci, maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka hendaklah ia shalat,..” (HR. Al Bukhari, no. 438 dan Muslim, no. 521, 523).
Hal ini merupakan kekhususan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya. Para nabi sebelum beliau hanya diperbolehkan shalat di tempat-tempat khusus seperti gereja-gereja atau biara-biara. [Al Mufhim Lima Asykala Min Talkhish Kitab Muslim; karya Al Qurthubi juz 2/117].
Dalam hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam jelas disebutkan bahwa beliau bersabda:
“… di mana pun kamu berada ketika waktu shalat telah tiba maka shalatlah. Karena tempat tersebut adalah masjid..” [Muttafaq ‘alaihi: Al Bukhari, Kitab Tayammum, Bab Haddatsana Abdullah ibni Yusuf nomor 335 dan Muslim, Kitab Al Masajid, Bab Al Masajid wa Mawadhi’ush Shalat, nomor 521.]
Imam An Nawawi rahimahullah berkata,” Di dalam hadits tersebut ada pembolehan shalat di seluruh tempat kecuali yang dilarang oleh Syara’ untuk shalat di dalamnya: di pemakaman dan tempat-tempat lainnya yang ada najis seperti tempat pembuangan kotoran di kandang, tempat penyembelihan hewan. Demikian pula tempat yang dilarang untuk shalat karena alasan tertentu, misalnya tempat unta menderum, di tengah jalan, di kamar mandi, dan tempat selain itu. Alasannya adalah karena ada hadits yang melarangnya. [Syarah An nawawi ‘ala shahih Muslim; 5/5.][3]
Baca juga: Masjid Sekolah untuk Pembinaan Karakter Anak Didik
Keutamaan Masjid
- Masjid merupakan rumah-rumah Allah di bumi-Nya ini. Ia menjadikan masjid-masjid itu hanya khusus diperuntukkan bagi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” [Al Jinn: 18]
- Masjid merupakan tempat yang paling dicintai oleh Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang mukmin yang shaleh:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ :أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدهَا ، وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقهَا. أخرجه مسلم (1473) وابن خزيمة 1293 وابن حبان1600 .
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tempat yang paling dicintai oleh Allah dalam suatu negeri adalah masjid-masjidnya dan tempat yang paling Allah benci adalah pasar-pasarnya.” [Diriwayatkan oleh Muslim (1473), Ibnu Khuzaimah (1293) dan Ibnu Hibban (1600).]
Bahkan masjid merupakan rumahnya setiap mukmin yang bertakwa. Ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ :”الْمَسْجِد بَيتُ كُلّ تَقِيّ”. أخرجه أبو نعيم في ” الحلية ” ( 6 / 176 )الألباني في “السلسلة الصحيحة” 2 / 341 .
“ Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Masjid adalah rumah setiap orang bertakwa.” [dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam al Hilyah (6/176), Al Albany di dalam As Silsilah Ash Shahihah, (2/341).[4]
- Indikator kebaikan iman
Begitu besarnya keutamaan masjid, sehingga pulang-perginya seorang Muslim untuk menunaikan shalat wajib lima waktu di masjid, berdzikir, membaca al Quran dan melakukan berbagai amal kebaikan lain di dalamnya menjadi indikator kebaikan imannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخدري رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَتَعَاهَدُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالإِيمَانِ ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ : ( إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ ) الآيَةَ ) رواه الترمذي (2617) ، وأحمد في مسنده (27325)
Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu ‘anhu ia berkata,” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’ Apabila kalian melihat seorang lelaki yang melazimi masjid maka saksikanlah bahwa dia orang beriman. Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat…” sampai akhir ayat.” [Hadits riwayat At Tirmidzi 2617; dan Ahmad dalam Musnadnya (27325).
Syaikh Nashirudin Al Albani mengatakan hadits ini tidak shahih dan sanadnya tidak hasan (lihat Tamamul Minnah: hal 291). Demikian juga dengan Lajnah Daimah dalam fatwanya (4/444) melemahkan hadits tersebut.[5] Namun makna hadits ini shahih karena sudah ditunjukkan oleh ayat di atas.
Baca juga: Khutbah Jum’at Singkat Padat
Urgensi Masjid
Urgensi masjid nampak sangat jelas dari tindakan pertama yang dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di Madinah. Masjid Nabawi pada saat itu merupakan Universitas yang melahirkan para pahlawan yang membuka hati umat manusia untuk menerima kebenaran islam dan membebaskan wilayah-wilayah mereka dari kezaliman para tiran dan kegelapan agama mereka.
Fungsi masjid bukanlah sekedar tempat melaksanakan shalat lima waktu. Ia merupakan madrasah nabawiah dan menara ilmu. Ia menjadi semacam kawah candradimuka yang menggodok dan menggembleng hati dan pikiran, fisik dan jiwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Pada akhirnya mereka menjadi generasi umat manusia yang paling baik hatinya, paling mendalam ilmunya dan paling sedikit sikap memaksakan dirinya (takalluf). Ini sebagaimana kesaksian sahabat agung Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya (tidak suka memaksakan diri di luar kemampuan), dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya.
Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah jejak mereka, karena mereka berada di jalan yang lurus.”[6]
Ada penjelasan yang menarik dari Dr. Musthafa As Siba’I terkait fungsi masjid yang begitu sentral di dalam Islam. Beliau berkata demikian:
“Pada saat Rasulullah sampai di Madinah, aktifitas pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid di sana. Ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya masjid dalam Islam. Ibadah-ibadah dalam Islam itu seluruhnya membersihkan jiwa, mensucikan akhlak dan menguatkan ikatan saling menolong di antara kaum Muslimin, kesatuan kalimat dan tujuan mereka serta tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
Tidak salah bila masjid itu memiliki pesan sosial dan ruhiah yang begitu besar nilainya dalam kehidupan kaum Muslimin. Masjidlah yang menyatukan barisan, membersihkan jiwa, menyadarkan hati mereka, dan menyelesaikan masalah mereka. Kekuatan mereka dan keteguhan mereka nampak jelas di masjid.
Sejarah masjid dalam Islam telah merekam bahwa legiun pasukan Islam itu berangkat dari masjid untuk membanjiri bumi ini dengan hidayah Allah. Dari masjid, bersinarlah cahaya hidayah kepada kaum Muslimin dan yang lain. Di dalam masjid, benih-benih peradaban Islam tumbuh dan berkembang.
Bukankah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Khalid, Saad, Abu Ubaidah dan orang-orang semisal mereka dari kalangan tokoh besar sejarah Islam itu adalah murid-murid Madrasah Muhammadiyah yang pusatnya adalah di masjid?” [Sirah Nabawiyah, Durus wa ‘Ibar, karya Dr. Musthafa As Siba’I, Al Maktab Al Islami, halaman 74.]
Untuk itu, dalam kesempatan ini kita akan merinci fungsi-fungsi masjid yang pernah dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini akan membuka mata kita lebar-lebar bahwa masjid memang bukan sekedar tempat shalat dan ibadah lainnya. Namun masjid memiliki banyak fungsi strategis di masa itu. Dan di masa depan pun akan senantiasa seperti itu.
Perbedaan antara Pengertian Masjid dan Masjid Jami’
Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan antara masjid dengan masjid jami’, kecuali dari sisi masjid tersebut dipakai untuk sholat Jumat atau tidak. Bila dilihat dari sisi hukum-hukum yang terkait dengan masjid tidak ada bedanya.
Dalam Fatwa no 31325 di situs Islamweb.net disebutkan perbedaan antara fungsi masjid dan masjid Jami’ sebagai berikut:
فالفرق بين المسجد والجامع هو أن الجامع أعم.. فهو الذي فيه الجمعة، وعليه يدل حديث: ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع. رواه أبو داود.
بخلاف المسجد غير الجامع فهو الذي تقام فيه الصلوات الخمس. والله أعلم.
“Beda antara masjid dengan masjid Jami’ adalah bahwa Masjid Jami’ itu lebih umum… ia adalah masjid yang didalamnya diselenggarakan sholat Jumat. Ada hadits yang menunjukkan hal tersebut: ‘Tidak ada I’tikaf kecuali di Masjid Jami’. Hadits riwayat Abu Dawud. Berbeda dengan masjid selain Masjid Jami’. Masjid tersebut hanyalah masjid yang di dalamnya diselenggarakan sholat lima waktu.”[7]
Dr. Sa’id bin Wahf Al Qahthani mengatakan bahwa kata ‘al-Jami’ ini merupakan kata sifat untuk masjid. Disebut demikian, karena masjid ini mengumpulkan jamaahnya, dan juga karena merupakan tanda berkumpulnya manusia. Maka bisa disebut dengan Al Masjid Al Jami’, bisa pula dengan sebutan Masjid Al Jami’ dengan idhofah (catatan penulis: ini bila ditulis dalam Bahasa Arab). Istilah ini dipakai untuk menyebut masjid yang digunakan untuk shalat jumat, meskipun masjid ini kecil. Karena masjid ini mengumpulkan masyarakat di waktu tertentu.[8]
Perbedaan antara Masjid dan Mushola
Ada sejumlah perbedaan antara masjid dan mushola yaitu berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
- Tanah yang dipakai untuk masjid itu diwakafkan sedangkan mushola tanahnya tidak diwakafkan oleh pemiliknya.
- Biasanya tidak ada sholat lima waktu secara penuh di mushola
- Wanita yang haidh dan orang junub tidak dilarang untuk berdiam di mushola. Tidak demikian halnya dengan masjid. Ada larangan bagi wanita haidh untuk berdiam di dalamnya.
- Tidak ada sholat dua rakaat saat masuk mushola.
- Al Allamah Al Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh al Mumti’,” Adapun Mushola maka tidak masuk ke dalam hal ini, seperti andaikan mencari barang yang hilang di mushola kantor departemen pemerintah maka tidak ada dosa bagi orang tersebut, karena mushola itu bukan masjid. Oleh karenanya, I’tikaf di dalamnya tidak sah, tidak ada shalat tahiyatul masjid di dalamnya dan tidak diharamkan bagi orang junub untuk berdiam di dalamnya. Demikian pula orang yang haidh. Mushola semacam ini berkedudukan sebagaimana mushola seseorang di rumahnya…” Sekian.
- Beliau juga menjelaskan,”Contohnya adalah mushola-mushola yang ada di kantor-kantor pemerintah. Hukum masjid tidak berlaku untuk mushola-mushola seperti itu. Demikian pula dengan mushola-mushola wanita di sekolah-sekolah putri tidak ada hukum masjid yang diberlakukan pada mushola – mushola ini.[9]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam fatwanya mengenai perbedaan antara masjid dan mushola menyatakan,”Mushola tidak memiliki hukum masjid. Maka tidak disyariatkan untuk shalat dua rakaat saat masuk ke dalamnya, dan tidak ada dosa melakukan aktifitas jual beli di dalamnya. Ini karena mushola itu adalah tempat sholat saat diperlukan dan bukan masjid.
Masjid itu hanyalah apa yang disiapkan untuk sholat dengan status diwakafkan yang didalamnya dilaksanakan sholat sebagaimana seluruh masjid. Sedangkan mushola itu bersifat sementara. Yang sholat di dalamnya sekelompok orang dari kantor sebuah departemen atau sekelompok orang yang mampir untuk waktu tertentu kemudian menlajutkan perjalanan. Ini tidak disebut dengan masjid.
Maka tidak ada dosa melakukan jual beli di dalamnya dan tidak ada sholat tahiyatul masjid untuknya. Sholat tahiyat itu hanyalah bagi bangunan yang disiapkan sebagai masjid dan diwakafkan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendirikan sholat di dalamnya.”[10]
Sementara itu, di dalam Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 5/169 ketika menjawab pertanyaan tentang perbedaan antara masjid dan mushola disebutkan demikian:
” Masjid adalah satu tempat yang dikhususkan untuk sholat fardhu untuk seterusnya dan diwakafkan untuk kepentingan tersebut. Adapun mushola adalah tempat yang dipakai untuk sholat untuk sementara waktu saja seperti sholat Idul Fitri dan Idul Adhha, atau sholat jenazah dan selain keduanya. Tempat tersebut tidak diwakafkan untuk sholat lima waktu.
Tidak disunnahkan tahiyatul masjid saat memasuki mushola. Yang disunnahkan hanyalah saat masuk ke dalam masjid bagi siapa yang hendak duduk di dalamnya dan melaksanakan shalat tersebut sebelum duduk. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
”Apabila salah seorang dari kalian memasuki masjid maka janganlah duduk sampai dia melakukan shalat dua rekaat.” Disepakati ke shahihannya. Wa billlahit Taufiq. Semoga shalawat dan salam terlimpah untuk nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.”[11]
Penjelasan tentang perbedaan antara Masjid Jami’, Masjid dan Mushola di atas adalah perbedaan yang ditinjau dari sisi syar’i. Lain halnya bila dilihat dari kebiasaan yang berlaku di negeri kita. Yang dinamakan dengan Masjid Jami’ biasanya adalah yang dipakai untuk sholat Jumat. Masjid ini ditetapkan oleh pemerintah tingkat desa atau kelurahan.
Namun, banyak juga masjid yang tidak disebut dengan Masjid Jami’ dipakai untuk shalat Jumat. Biasanya di lingkungan kota banyak didapati masjid yang tidak disebut sebagai masjid jami’. Ukurannya cukup besar sehingga memiliki daya tampung jamaah sholat dalam jumlah besar. Fasilitasnya komplit dan lingkungannya nyaman. Sering kali masyarakat Muslim menggunakannya untuk shalat Jumat.
Tidak demikian halnya dengan mushola. Memang tidak ada mushola yang dipakai untuk sholat Jumat. Rata-rata karena mushola di negeri kita ini berukuran kecil dengan daya tampung Jamaah shalat yang terbatas. Biasanya hanya menampung Jamaah sholat sekitar 50 orang. Maka, di kantong-kantong masyarakat Muslim padat penduduk sering didapati mushola di hampir setiap RT nya.
Baca Juga Masjid Quba Masjid Pertama Yang Dibangun Rasulullah
Perbedaan Masjid Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Jami’ Menurut Kementrian Agama
Selain masjid Jami’, ada sejumlah sebutan lain untuk masjid-masjid di Indonesia. Ini memang khas negeri kita. Ada pengaturan yang dibuat oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Ada klasifikasi yang dibuat untuk menertibkan pangkategorian tempat ibadah kaum Muslimin di Indonesia.
Menurut Kepala Seksi Pembinaan Manajemen Masjid Ditjen Bimas Islam, Siti Nur Azizah, pembagian tipologi masjid di Indonesia sebetulnya sudah dibuat cukup lama. Hal tersebut, jelasnya, diatur dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 394 Tahun 2004. KMA tersebut salah satunya mengatur tentang tipologi masjid.
Pembagian tersebut diatur sebagai berikut:
1. Masjid Negara
Yaitu masjid yang ditetapkan oleh pemerintah dan berkedudukan di ibukota negara. Contohnya Masjid Istiqlal. Masjid ini merupakan masjid Negara Republik Indonesia yang berada di Ibukota Jakarta
2. Masjid Raya
Yaitu masjid yang ditetapkan oleh pemerintah tingkat provinsi. Contohnya Masjid Raya Baiturrahman (Aceh), Masjid Raya Baiturrahman (Semarang), Masjid Raya Medan / Masjid Raya Al Mashun (Medan), Masjid Raya Bandung
3. Masjid Agung
Yaitu masjid yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Contohnya Masjid Agung Jawa Tengah, Masjid Agung Surabaya, Masjid Agung Demak, Masjid Agung Solo, Masjid Agung Banten, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid Agung Palembang
4. Masjid Besar
Yaitu masjid yang ditetapkan oleh pemerintah di tingkat kecamatan. Contoh Masjid Besar Lembang, Masjid Besar Cimahi Utara, Masjid Besar Jabal Nur (Bogor), Masjid Besar Sumobito (Jombang).
5. Masjid Jami’
Yaitu masjid yang ditetapkan oleh pemerintah di tingkat desa atau kelurahan.
Ke depan, pembagian tipologi masjid tersebut akan meluas. Selain empat tipologi tadi, akan ditambahkan kategori Masjid Nasional, Masjid Bersejarah, dan Masjid di tempat publik.[12]
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai pengertian masjid ini, ada baiknya kita perjelas syarat-syarat sebuah tempat itu bisa dikategorikan sebagai masjid. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
- Tempat tersebut diwakafkan dan telah lepas dari kepemilikan pemiliknya.
- Diijinkan untuk sholat di dalamnya dengan ijin yang bersifat umum, artinya tidak melarang seorang pun untuk shalat di dalamnya.
- Disiapkan untuk mendirikan shalat lima waktu secara terus menerus. Allahu a’lam.[13]
Semoga bermanfaat.
Referensi Pengertian Masjid:
[1] Lihat Lisanul ‘Arab oleh Ibnu Manzhur Bab huruf Daal, Pasal Miim, 3/204-205 dan Subulus Salam karya Ash Shan’ani, 2/ 179; di dalam kitab Al Masaajid: Mafhum wa Fadhail wa Ahkam wa Huquq wa Adab fi Dhauil Kitab was Sunnah. Halaman 6.
[2] I’lamus Sajid Biahkamil Masajid, kaya Imam Muhammad bin Abdullah Az Zarkasyi. Tahqiq: Fadhilatusy Syaikh Abul wafa’ Musthafa Al Maraghy. Al Majlis Al A’la lisy Syuun Al Islamiyyah, Lajnah Ihyaut Turats Al Islamiyyah, Kairo, cetakan ke empat1416 H/1996 M, halaman 28.
[3] Lihat kitab Al Masaajid: Mafhum wa Fadhail wa Ahkam wa Huquq wa Adab fi Dhauil Kitab was Sunnah. Halaman 7-8.
[4] Lihat: https://www.saaid.net/Doat/hamesabadr/120.htm
[5] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/120910/
[6] Lihat: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no. 1810), tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairi
[7]https://www.islamweb.net/ar/fatwa/31325/
[8] Lihat kitab Al Masaajid: Mafhum wa Fadhail wa Ahkam wa Huquq wa Adab fi Dhauil Kitab was Sunnah, halaman 8.
[9] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/134316/
[10] https://binbaz.org.sa/categories/fiqhi/58
[11] https://islamqa.info/ar/answers/170800/
[12] https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/masjid-raya-dan-masjid-agung-apa-bedanya
[13] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/170800/
Artikel ini ditulis oleh Tim Penulis Pabrik Jam Digital Masjid Indonesia. Produsen jadwal sholat digital