Penyelesaian Konflik di Timur Tengah Pasca Perang Dunia I

Penyelesaian Konflik di Timur Tengah – Setelah Konferensi Perdamaian di Paris (1919), para negarawan Eropa kemudian mengadakan konfrensi perdamaian di San Remo pada 24 April 1920, untuk menandatangani persetujuan tentang mandat.

Perancis diberi Suriah, Inggris diserahi mandat untuk Irak dan Palestina. Semua itu merupakan mandat-mandat kategori A, seperti yang digariskan dalam perjanjian.

Ini berarti bahwa perwalian kekuatan-kekuatan mandataris itu hanya bersifat sementara dan untuk memimpin ke arah kemerdekaan wilayah-wilayah yang bersangkutan.

Adapun mandat bagi Palestina, secara formal dibuat melalui perjanjian Inggris dengan LBB pada 23 SEptember 1922, yang berisi Deklarasi balfour.

Sedangkan prisnip Wilson, yang terkenal dengan nama Wilson’s Fourteen Points (a.l. tentang: diplomasi rahasia tidak diperbolehkan; pengurangan persenjataan; bangsa-bangsa diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri; dan pembentukan LBB), berkenaan dengan penentuan sendiri nasib bangsa-bangsa, ditolak.

Bahkan tidak ada delegasi AS yang hadir dalam forum itu, selain duta AS di Roma, Robert Underwood Johnson.

Beberapa masalah lain yang diselesaikan sepihak dalam konferensi tersebut ialah mengenai pembagian sumber-sumber minyak di Mesopotamia.

Sebelumnya pada Desember 1918, PM Ciemenceau dan PM Lioyd George (keduanya termasuk the big four) telah menyetujui transfer Mosul dari Prancis ke dalam pengaruh Inggris; dengan perimbangan Inggris menjanjikan pembagian sumber-sumber minyak mentah di Mosul kepada Prancis.

Dalam konfrensi di San Remo ini, Prancis dan Inggris mengukuhkan bagian-bagian dari persetujuan sebelumnya, berkenaan dengan masalah Timur Tengah. Prancis menerima bagian saham sebesar 25% dari perusahaan minyak Turki, dan diizinkan mengangkut minyak dengan kereta api dan pipa dari Mesopotamia dan Iran melalui Suriah.

Di samping itu, konfrensi San Remo juga memuat keputusan mengenai tahap konfrensi perdamaian dan penyelesaian pasca perang di Timur Tengah dan Turki Utsmaniyyah

1. Penyelesaian di Suriah

Penyelesaian Konflik di Suriah Setelah Perang Dunia I
Sumber: wikimedia.org

Pada wakti itu, yang menjadi gubernur militer di Damasku selama periode interim ialah Emir Faisal. Dalam konfrensi di Paris (1919) Emir Faisal menuntut kemerdekaan penuh atas Suriah.

Sekembalinya dari konfrensi perdamaian itu, ia bergabung dengan partai nasionalis, dan tak mengindahkan perjanjian formal yang dicapai antara Prancis dan Yahudi di Paris.

Kemudian pada Maret 1920, Kongres Nasional SUriah mengangkatnya sebagai Raja Suriah (Syria). Selanjutnya pada 20 maret 1920, Emir Faisal mengumandangkan “Syria Raya”.

Sementara itu, sebelumnya pada November 1919, Inggris telah memenuhi janjinya kepada Prancis dengan mulai meninggalkan pantai Suriah, untuk digantikkan pasukan Prancis di bawah pimpinan jendral Gourand.

Selama beberapa bulan, situasi politik berlangsung tegang, antara pasukan Suriah pimpinan Emir Faisal di Damaskus dan pasukan Prancis pimpinan Jendral Gourand di Beirut.

Suatu modus vivendi akhirnya dicapai, Prancis secara diam-diam mengakui pemerintahan Faisal di daerah pelabuhan dan menahan diri untuk tidak maju lebih jauh dari Baalbek.

Ini sekaligus taktik dan strategi politik untuk mengukur seberapa jauh kekuatan militer Faisal yang memegang kontrol langsung di bawah kekuatan besar Prancis di daerah-daerah pelabuhan Suriah.

Pada saat pelantikan Raja Faisal, Maret 1920, menampakkan suatu atas kepentingan dan hak-hak (imperialis) Prancis di Suriah. Selanjutnya terjadilah bentrokan senjata pendudukan Suriah dengan pos-pos depan Prancis. Kemudian pada Juli 1920, Jendral Gourand memutuskan untuk mengadakan operasi militer melawan pasukan Faisal.

Peperangan yang tak seimbang ini menimbulkan banyak korban di pihak Suriah baik sipil maupun militer. Banyak penduduk muslim Suriah dibunuh, dibantai, dan disiksa habis-habisan oleh pasukan Prancis.

Akhirnya Prancis berhasil mengalahkan pasukan Suriah. Pada 7 Agustus 1920 pasukan Prancis memasuki ibukota Suriah dan memecat Raja Faisal. Faisal pun kemudian melarikan diri ke Irak. Di Baghdad ia dilantik menjadi raja Irak yang pertama pada 11 Juli 1921.

Setelah peristiwa kekalahan itu, rakyat Suriah di bawah penjajahan Prancis. Mereka terus berjuang dan berjihad melawan pasukan Prancis selama kurang lebih 25 tahun (1920-1945). Mandat Prancis baru dicabut seluruhnya di Suriah setelah PD II.

Kelak, wilayah Suriah dibagi menjadi dua negara: Syria, yang mayoritas Muslim, dan Libanon yang mayoritas Kristen. Negara yang disebutkan terkahir ini diakui kemerdekaannya oleh Prancis pada tahuun 1943.

2. Penyelesaian di Mesopotamia

Penyelesaian Konflik di Timur Tengah Pasca Perang Dunia I di Mesopotamia
Sumber: http://www.ww1bradford.org/

Situasi politik di kawasan mesopotamia (Irak) berkenaan dengan implementasi mandat yang sangat merugikan Dunia Arab ini, ternyata lebih eksplosif. Ketika PD I berlangsung, Irak berpihak kepada Inggris dengan harapan negaranya dapat memperoleh kemerdekaan.

Beberapa perwira Irak, seperti Jendral Nuri as-Said (kelak menjadi PM Irak) menawarkan bantuannya kepada Inggris. Namun pasca perang rasa ketidakpuasan terhadap Inggris di Mesopotamia semakin mengental di kalangan militer dan sipil Irak.

Mereka memandang Inggris terlalu imperialis. Terbukti, dinas Politik India (Inggris) menginginkan Mesopotamia sebagai bentangan kekuatan Inggris menuju India, sehingga pihak Inggris mencurigai setiap perkembangan nasionalisme di Arab.

Kemudian Inggris mengutus dan memerintahkan Arnold Wilson (pejabat Komisaris sipil selama misi Cox di Teheran) untuk menyelenggarakan plebisit pada 1918-1919; untuk mengetahui apakah orang-orang Irak menginginkan pemerintahan di bawah Inggris, dan jika demikian, akan ditunjuk pemimpin-pemimpin Arab sebagai pemimpin pemerintahan.

Di sisi lain, gerakan nasionalis di Irak sedang menyusun kekuatan untuk mendirikan negara Arab yang merdeka dan berdaulat di Irak. Bahkan perbedaan agama antara Sunny-Syiah untuk sementara dilupakan, selama 1919-1920.

Dengan adanya penyerahan mandat di San Remo, telah menyulut kerusuhan hebat di Mesopotamia. Pada 3 Mei 1920, dua perwira Inggris terbunuh di salah satu provinsi Mesopotamia, dan pada bulan Juli 1920 seluruh pelosok Mesopotamia dipenuhi pemberontakan menentang Inggris. Padahal di kawasan itu, Inggris hanya memiliki 130 ribu tentara.

Pemberontakan baru mereda pada bulan Oktober 1920. dalam kerusuhan itu Inggris kehilangan sekitar 2500 tentara yang tewas dan luka-luka, yang menyebabkan terjadinya keguncangandalam Departemen keuangannya. Irak pun, sebagaimana negara Timur Tengah yang lain, menyusuri sejarah perjuangannya yang panjang melawan imperialis Inggris. Baru pada tahun 1932, Irak diakui kemerdekaannya oleh Volkbond di bawah pimpinan Raja Faisal.

Baca juga: Khutbah Jum’at Singkat Terbaru

3. Penyelesaian di Palestina

Konflik Palestina Israel Setelah Perang dunia
Sumber: http://elmed.io/

Situasi di Palestina, berkenaan dengan implementasi mandat itu, tak jauh berbeda dengan di Mesopotamia dan Suriah, bahkan lebih kompleks dan parah. Di samping mengesankan pemaksaan keputusan negara-negara besar di Palestina. Dan juga, Palestina harus menghadapi politik Zionisme, yang sejak awal menjadikan Palestina sebagai pilot project perkampungan Yahudi itu.

Mayoritas masyarakat Muslim Palestina menghendaki agar seluruh Arab bersatu, terutama bersatu dengan Suriah. Berkenaan dengan implementasi aspirasi busuk ZIonisme ini situasi politik di Palestina semakin memanas. Mereka menentang keras Zionisme.

Pada bulan April 1920, meletus kemarahan anti-Zionis di kalangan kaum Muslimin di Yerussalem dan Jaffa. Akibatnya, sekitar 50 Yahudi tewas dalam kerusuhan itu. Propaganda anti-Zionisme dari masyarakat kaum Muslimin Palestina ini terus berlangsung, melewati fase-fase perjuangannya hingga dewasa ini; dan tak akan pernah padam.

Kelak peristiwa-peristiwa heroik, kesyahidan, dan jihad yang terus menerus akan terus bergolak di kawasan konflik ini. Inilah yang menandai perseteruan abadi antara kaum Muslimin vis a vis kaum Yahudi yang didukung oleh negara-negara barat.

Namun kekacauan yang terjadi pada 1920 itu, tidak menghalangi niat Inggris dan Prancis untuk merealisasikan politik imperialisnya. Pada 24 April 1920 kekuatan atas Palestina dan Transyordania diserahkan kepada Inggris. Dan pada 1 Juli 1920 pemerintah militer diganti oleh pemerintah sipil. Untuk itu, Komisaris Tinggi Inggris pertamanya ialah Sir Herbert Samuel (yang juga aktivis Zionis).

Herbert Samuel segera menghadapi tugas untuk merealisasikan Deklarasi Balfour, sehingga ia pun menyusun kota pertama bagi imigrasi Yahudi sebanyak 16.500 yahudi. Lebih transparan lagi model konspirasi internasional ini, ketika pada 24 Juli 1922 Majlis Umum LBB melegalisasi mandat Inggris atas Palestina.

Dengan demikian, dengan kekuatan politik dan militernya Inggris dan Prancis berupaya memaksakan anarkisme keputusans konfrensi perdamaian kepada Dunia Islam, khususunya Dunia Arab. Mengenai perkembangan Palestina dan embrio negara israel ini akan kita bahas lebih detail di lain kesempatan.

Baca juga: Stempel Wahabi Cara Berfikir tidak Jernih

4. Konfrensi di Mesir (1921)

Embed from Getty Images

Situasi politik di Mesir menampakkan situasi politik yang tidak jauh berbeda dengan negara-negara tetangganya, khususnya pasca PD I. sejak Muhammad Ali (1968-1850) mencetuskan ideologi wathaniyah, Pan-Arabia, semangat nasionalisme Mesir semakin tumbuh subur.

Gerakan Nasionalisme Arab ini kemudian diteruskan oleh Irabi Pasya (1840-1911), dan Mustafa Kamil (1873-1908). setelah itu muncul Muhammad Farid Bey (1867-1919), yang juga pemimpin majalah al Liwa (bendera). untuk meredam gerakan ini, Inggris yang menduduki Mesir sejak 1882, mengirimkan Lord Cromer menjadi Gubernur Jendral di Mesir.

Pada masa PD I, Inggris mengambil tindakan terhadap Mesir, dengan memutuskan hubungan Mesir-Turki UTsmani. Akibatnya, propaganda anti Inggris semakin mengendal di Mesir. Pasca PD I, tampillah pemimpin nasionalis Mesir, Ahmad Zaghlul Pasya (1857-1927). mesir baru memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1922.

Sebelumnya pada 12-24 Maret 1921, WInston Chruchil (kepala bIro Kolonial) bernama Percy Cox dan Herbert Samuel menyelenggarakan konfrensi umum untuk membahas masalah Timur Tengah.

Konfrensi tersebut dihadiri pula oleh masing-msing Komisaris Tinggi untuk Irak dan Palestina, serta para pakar Arab Inggris seperti: Lawrence, CLayton, Cornwallis, dan Gertrude Bell.

Konfrensi itu menghasilkan keputusan antara lain: Kerjaan Irak diserahkan kepada mantan raja Suriah yang digulungkan Prancis: Emir Faisal dan Abdullah, kakak kandung Faisal didukung untuk memerintah keemiran Transyordanida (pada perkembangan berikutnya, Yordania ini dipimpin oleh Raja Hussain).

Agar gerakan nasionalisme ini dapat dikendalikan, sistem mandat digantikan dengan perjanjian aliansi.

5. Konklusi

Mencermati situasi politik yang mengetengah di dunia Arab, baik di Mesir, Suriah, Irak, dan Palestina menampakkan bahwa semakin gencernya semangat nasionalisme di masing-masing wilayah tersebut dalam menghadapi imperalisme Barat. Sebagai ganti dari semangat jihad menentang penjajah Kuffar.

Orientasi perjuangan negara-negara Arab ini semakin transparan ketika negara-negara tersebut memperoleh kemerdekaan, dan merumuskan bentuk dan ideologi negara yang dicita-citakan. Wallahua’lam ini akibat pengaruh perang pemikiran atau faktor lain. Tetapi sangat disayangkan nasionalisme yang berkembang pada awal abad ke-20 M.

Itu ialah nasionalisme Arab, yang tidak sepenuhnya dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Di kemudian hari, kerancuan pemikiran ideologi ini memunculkan friksi politik yang hebat di masing-masing negara Arab tersebut terutama berkaitan dengan tantangan eksternal.

Dalam tataran tertentu, ketika negara-negara Arab berhadapan dengan agresi pendudukan Israel di Palestina. Akibatnya sampai dewasa ini, masih sulit menyatukan orientasi politik negara-negara Arab mudah diintervensi dan dipecah-pecah visi politiknya.

Kedua, penipuan besar-besaran yang dilakukan oleh negara-negara Barat, baik selama dan paca-PD I, memunculkan radikalisasi politik anti-imperialisme barat, akibat implementasi mandat yang tak lain merupakan modus baru penjajahan. Ketiga, menguatnya perjuangan Zionisme dengan dukungan negara-negara Barat terhadap masalah Palestina.

Wallahu a’lam.

Al Muslimun No 325 Tahun XXVIII (44) Dzulqa’dah/Dzulhijjah 1417 April 1997

Ditulis ulang oleh Tim Pabrik Jam Digital

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Comment