Masjid Nabawi memiliki fungsi strategis di awal masa Rasul hijrah. Tidak mengherankan apabila prioritas kerja beliau adalah membangun Masjid Nabawi. Hal itu dilakukan tidak lama setelah beliau sampai di Madinah.
Namun pertanyaannya, apakah karena murni pertimbangan inikah langkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dilakukan? Tidakkah ada pertimbangan lain yang bersifat strategis dalam kaitannya dengan kapasitas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam yang baru?
Tentunya ada, mengingat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang pemimpin yang jenius. Kapasitas kepemimpinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah diakui oleh semua orang yang berakal sehat dan berilmu luas baik dari kalangan kaum Muslimin maupun Non Muslim.
Beliau tahu persis apa prioritas kerja pertama yang harus beliau lakukan untuk membangun masyarakat di atas ajaran Islam.
Tulisan ini menjelaskan secara ringkas berbagai pertimbangan strategis dibalik pembangunan Masjid Nabawi sebagai prioritas kerja pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah masuk di Madinah Al Munawwarah.
Kondisi Madinah Saat Rasul SAW Tiba di Sana
Pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Yatsrib (Madinah Al Munawarah), kondisi penduduknya begitu beragam. Mereka hidup berkelompok-kelompok berdasarkan suku atau kabilah. Mereka memiliki keyakinan dan jalan hidup yang beragam. Demikian pula kondisi ekonomi masyarakatnya.
Namun satu hal yang pasti, masing-masing kelompok pasti memiliki persenjataan dan kemampuan berperang dengan baik. Pertikaian antar suku sudah menjadi hal yang umum. Perang antar kabilah adalah hal yang lumrah.
Konflik antar kelompok sudah menjadi bagian dari ritme hidup mereka. Maka, keahlian memanah, berkuda, memainkan pedang dan tombak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan para lelaki mereka.
Saat itu, ada dua suku besar yang paling dominan di Madinah yaitu Suku Aus dan Khazraj. Dua suku ini sudah lama sekali terlibat dalam pertikaian dan peperangan. Itu sudah turun temurun. Selain mereka ada sejumlah kabilah Yahudi yang memiliki komunitas tersendiri dengan benteng-bentengnya yang kokoh. Mereka juga memiliki kekuatan ekonomi dan militer.
Ada tiga kabilah besar Yahudi di Madinah. Bani Qainuqa’ yang merupakan sekutu suku Khazarj, Bani Nadhir dan Bani Quraidhah yang merupakan sekutu Suku Aus.
Selain kelompok-kelompok di atas, terdapat juga Kaum Muslimin dari penduduk asli Madinah dari suku Auz dan Khazraj serta kaum Muhajirin bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4 Langkah Penting dalam Membangun Masyarakat Islam yang Solid
Semenjak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melakukan sejumlah langkah strategis yang bertujuan untuk melakukan reformasi di masyarakat, menyatukan hati mereka dan membangun Negara Islam yang baru di atas pondasi yang kokoh.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Nabi saw adalah sebagai berikut:
- Membangun masjid
- Mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar
- Mendakwahi kaum Yahudi untuk masuk Islam
- Menerbitkan akta perjanjian (dikenal dengan Piagam Madinah) untuk mengatur hubungan internal antar kaum Muslimin dan Kaum Muslimin dengan Non Muslim.
Dalam kesempatan ini yang dibahas hanyalah langkah pertama yaitu membangun masjid.[1]
Sejarah dan Proses Pembangunan Masjid Nabawi
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan sejarah dan proses pembangunan Masjid Nabawi dalam kitabnya Al Wafa’ bi Ahwalil Musthafa, sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Bani Amr bin Auf selama sepuluh malam lebih. Di sana beliau membangun masjid (masjid quba) yang didirikan di atas dasar ketakwaan. Setelah shalat di dalamnya, beliau melanjutkan perjalanannya. Masyarakat sekitar tumpah ruah mengawal beliau, dari arah kanan dan kiri menuju kota Madinah.
Onta tunggangan beliau memilih berhenti di lokasi yang nantinya dibangun Masjid Nabawi. Beliau menyempatkan shalat di lokasi itu yang kemudian diikuti oleh kaum Muslimin yang hadir. Setelah itu beliau menambatkan ontanya pada pohon korma kepunyaan Sahal dan Suhail.
Keduanya adalah anak-anak yatim di bawah asuhan As’ad bin Zurarah. Ketika ontanya menderum di sana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”InsyaAllah, inilah tempatnya.”
Kemudian beliau memanggil kedua anak yatim tersebut untuk menawar harga tanah mereka berdua. Dengan penuh keikhlasan kedua anak itu berkata, “Kami menghibahkan tanah itu pada engkau wahai Rasulullah.”
Setelah semua selesai, baru kemudian pembangunan masjid dimulai. Selain mengomandani, beliau juga ikut terjun langsung bekerja bersama kaum Muslimin lainnya. “ Demikian Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu dia berkata,”Ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau singgah di suatu kampung bernama Bani Amr bin Auf. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim di sana selama 14 malam. Kedatangan beliau disambut dengan acungan pedang-pedang. Saat itu, saya melihat Nabi berada di atas ontanya. Sementara Abu Bakar dengan setia membonceng di belakangnya.
Dengan penuh semangat Bani Najjar mengawal perjalanan Nabi sampai tiba di halaman rumahnya Abu Ayyub. Dan salah satu kebiasaaan beliau adalah melaksanakan shalat dimana waktunya tiba dan beliau ada di situ. Terpaksa beliau mekasanakannya di samping kendang domba. Di lokasi inilah, beliau menyuruh kaum Muslimin untuk mendirikan masjid.
Lalu beliau mendatangi Bani Najjar. “Wahai bani Najjar, berapakah uang yang harus aku bayar untuk mengganti kebun kalian ini (untuk pembangunan masjid Nabawi, pent)?” Demi Allah, kami tidak meminta ganti rugi, karena yang kami harapkan hanyalah pahala dari Allah.”
“Saya sampaikan pada kalian –kata Anas melanjutkan riwayatnya–, di lokasi pembangunan masjid itu terdapat kuburan kaum musyrikin, reruntuhan bangunan dan pohon korma. Kuburan kaum musyrikin diperintahkan Nabi untuk digali, reruntuhan bangunan yang ada untuk diratakan, sedangkan pohon korma yang ada di lokasi itu agar ditebas semuanya.
Kaum Muslimin membariskan batang- batang dari pohom korma itu sebagai kiblat masjid. Bebatuan mereka jadikan sebagai kusennya. Mereka bekerja sama dalam mengangkat batu-batu yang besar. Dalam pembangunan masjid ini, Nabi ikut bergabung dan terlibat di lapangan bersama kaum Muslimin yang lain.
Beliau berkata: “Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan akhirat. Semoga Engkau menurunkan ampunan kepada kaum Anshar dan Muhajirin.” [HR Al Bukhari dan Muslim][2]
Baca juga: Pengertian Tentang Masjid
8 Fungsi Masjid Nabawi Pada Zaman Rasulullah SAW
Diantara hal-hal yang kemungkinan besar bisa menjadi pertimbangan yang bersifat strategis mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung membangun masjid tidak lama setelah beliau tiba di Madinah adalah sebagai berikut:
1. Masjid Nabawi Merupakan Pusat Pemerintahan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Negara Islam di Madinah. Beliau menjadikan masjid sebagai pondasi pertama bagi negara ini. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan dengan jelas bahwa hukum itu hanyalah milik Allah Ta’ala:
إِنِ ٱلْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah Memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Yusuf: 40]
Sesungguhnya di tangan Allah lah seluruh urusan manusia. Dia lebih tahu apa yang lebih bermaslahat untuk mereka. Dengan demikian, kejayaan dan kekuasaan di muka bumi (tamkin) tidak akan terwujud bila kita meninggalkan Diin (agama) ini.
وَمَا ٱلنَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” [Al Anfal: 10]
2. Pusat Pengkaderan
Para tokoh yang menjadikan Negara Islam ini berdiri tegak dan Agama Islam ini tersebar luas adalah orang-orang yang dididik di Masjid. Di masjidlah kader-kader Islam dan generasi muda islam dididik.
Allah Ta’ala berfirman:
فِى بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا ٱسْمُهُۥ يُسَبِّحُ لَهُۥ فِيهَا بِٱلْغُدُوِّ وَٱلْءَاصَالِ
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ
“(Cahaya itu) di rumah-rumah yang di sana telah Diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang, orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).” [An Nur: 36-37]
Allah juga berfirman di ayat yang lain:
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah engkau melaksanakan shalat dalam masjid itu (Masjid Dhirar) selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan shalat di dalamnya. Didalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah Menyukai orang-orang yang bersih.” [At Taubah: 108]
Memang, umat ini akan tegak berdiri dengan orang-orang seperti mereka yaitu semisal Abu Ubaidah Ibnul Jarrah radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan dari Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata kepada para sahabatnya, ”Sampaikanlah angan-angan kalian!” salah seorang sahabatnya berkata, ”Aku berangan-angan seandainya aku memiliki emas sepenuh rumah ini, aku akan menginfakkannya di jalan Allah.”
Umar berkata lagi, ”Sampaikanlah angan-angan kalian!” Sahabat yang lain berkata, ”Aku mengangankan andaikan ada mutiara, batu zamrud dan permata sepenuh rumah ini, akan aku infakkan di jalan Allah dan aku sedekahkan.”
Umar berkata lagi, ”Sampaikanlah angan-angan kalian!” Maka para sahabatnya berkata,” Kami tidak tahu harus berangan-angan apa lagi wahai Amirul Mukminin.” Lantas Umar berkata, ”Aku berangan-angan seandainya saja rumah ini dipenuhi lelaki seperti Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, Muadz bin Jabal, Salim Maula Abu Hudzaifah dan Hudzaifah Ibnul Yaman (perawi mengatakan, ”Aku mengira dia berkata, ”Aku akan meminta bantuan kepada mereka untuk mengurus kaum Muslimin.)” [Mukhtashar Tarikh Dimasqi: 1/322].
3. Penyucian Hati
Hati yang dahulu telah mengalami gelapnya keyakinan dan jiwa yang dahulu telah biasa berjalan di atas tradisi jahiliyah harus bertemu dengan al Quran lebih dari sekali setiap harinya.
Dengan demikian hati dan jiwanya menjadi bersih dan suci sehingga terwujudlah ketundukan dan kepasrahan. Mereka masuk ke dalam masjid kemudian mendengarkan firman Allah lalu berkata,” Kami mendengar dan kami taat!”
Subhanallah, bukan kekuatan senjata yang menundukkan mereka. Bukan pula supremasi militer para pemimpin mereka. Mereka hanyalah mendengarkan firman Allah:
وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” [Ali Imran: 103]
4. Membangun Hubungan Dengan Allah
Hubungan dengan Allah Azza wa Jalla merupakan jalan menuju ketinggian derajat di dunia dan akhirat.
5. Pusat Sosial
Harus ada upaya memenuhi segala kebutuhan masyarakat berupa pusat pendidikan, markas militer, pusat untuk membahas persoalan-persoalan sosial. Kebutuhan-kebutuhan semacam ini dan lainnya dahulu terwujud di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dahulu masjid merupakan pusat berkumpulnya Umat Islam dan tempat para Imam. Rasulullah telah mendirikan masjidnya yang diberkahi di atas dasar takwa. Di dalam masjid tersebut dilaksanakan shalat, menghafal al Quran, berdzikir, mengajarkan ilmu dan khutbah-khutbah.
Di dalam masjid tersebut juga terdapat kebijakan (politik), diikat panji dan bendera, pengangkatan para pemimpin, pengenalan orang-orang yang berilmu dan di masjid tersebut kaum Muslimin berkumpul manakala ada perkara yang menyusahkan mereka baik terkait agama mereka atau dunia mereka.” [Al Fatawa Al Kubra: 5/118]
6. Pusat Ibadah
Seorang Muslim harus mencari lingkungan yang kondusif baginya untuk beribadah kepada Allah dengan aman dan tenang.
7. Bentuk Syukur
Harus bersyukur kepada Allah Ta’ala atas segala nikmat-Nya dengan perkataan maupun perbuatan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat nikmat Allah Ta’ala kepada dirinya di Madinah, beliau ingin membangun masjid sebagai bentuk syukur kepada Allah Azza wa Jalla.
Baca juga: Fungsi Masjid dalam Islam
8. Pemersatu Kaum Muslimin
Agar semua orang mengetahui bahwa tauhidlah yang menyatukan kaum Muslimin.
Dengan tauhidlah al wala’ (kesetiaan, persahabatan dan pembelaan) itu terwujud dan juga dengan tauhid al barra’ (permusuhan, menjauhi dan berlepas diri) itu terjadi.
Dengan demikian, sudah semestinya bila sasaran kita sesuai dengan sasaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tujuan kita adalah tujuannya.
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita agar mampu mengikuti beliau, mengamalkan sunnahnya, berjalan di atas garis hidupnya dan mengambil petunjuk dengan petunjuknya.[3]
Demikian kurang lebih sejumlah alasan atau pertimbangan yang bersifat strategis yang kemungkinan menjadi dasar bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk segera membangun masjid sebelum melakukan yang lainnya. Allahu a’lam.
Video Masjid Nabawi Kini
Fungsi Masjid dalam islam, sudah banyak dilakukan pada masa awal pembangunan masjid nabawi. Karena pentingnya fungsi masjid nabawi, pembangunannyamenjadi prioritas Rasulullah SAW. Semoga bermanfaat.
Tulisan ini ditulis oleh: Pabrik Jam Digital Masjid
Referensi:
[1] Lihat: https://www.islamweb.net/ar/article/195007/
[2] Lihat: Al WAFA Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad SAW, Karya Ibnul Jauzi, Pustaka Al Kautsar, Jakarta Timur, April 2006. Cetakan pertama.
[3] Lihat: https://alimam.ws/ref/2976