Masjid Dhirar Dalam Islam [ Kajian Sejarah / Lokasi / Hukum / Kriteria ]

Masjid Dhirar, sebuah istilah yang cukup akrab di kalangan kaum Muslimin pecinta sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masjid yang identik dengan konspirasi jahat orang-orang munafik untuk memecah belah persatuan kaum Muslimin.

Lebih dari itu, mereka bekerja sama dengan orang-orang kafir untuk memerangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mejadikan masjid sebagai salah satu sarana tipu daya mereka.

Namun demikian, masih banyak saudara kita kaum Muslimin yang belum mengetahui secara benar dan lengkap peristiwa bersejarah tersebut.

Kapan sebuah masjid dikategorikan sebagai Masjid Dhirar berdasar penjelasan para ulama? Apa hukum shalat di dalamnya? Hal -hal seperti ini belum menjadi pengetahuan populer di kalangan umat Islam.

Padahal, mengetahui seluk beluk Masjid Dhirar termasuk masalah penting. Pengetahuan yang memadai tentang masalah ini akan meningkatkan sensitifitas terhadap makar orang kafir.

Selain itu akan menjadi sarana untuk bersikap teliti dan hati-hati agar tidak gegabah memberikan status hukum kepada sebuah masjid sebagai Masjid Dhirar. Ini karena label tersebut ada implikasi hukumnya.

Istilah Masjid Dhirar dalam Alquran

Masjid Dhirar dalam Al QUran dan Tujuan Pendiriannya
https://fhras.net/

Istilah Masjid Dhirar untuk pertama kalinya adalah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala saat kembali dari perang Tabuk sebelum tiba di Madinah.

Saat berada di satu daerah yang berjarak sekitar setengah hari hingga satu hari perjalanan saat itu.

Istilah Masjid dhirar diambil dari surat At Taubah: 107 – 108 yang diturunkan pada saat itu. Bunyinya sebagai berikut:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ . لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.

Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘Kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (107)

Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.”

Pengertian Masjid Dhirar

Masjid Dhirar adalah setiap masjid yang didirikan dengan tujuan untuk menimpakan madharat kepada kaum Muslimin dan menyakiti mereka. Para Ulama juga memasukkan ke dalam kategori Masjid Dhirar setiap masjid yang dibangun karena riya’ dan sum’ah.

Maka setiap masjid yang sudah diketahui secara pasti bahwa itu merupakan Masjid Dhirar dan telah terdapat bukti-bukti yang nyata maka tidak diperbolehkan untuk shalat di dalamnya. Ini berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala:

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” [At Taubah: 108]i

Kisah Penamaan Masjid Dhirar

Dasar penamaan dari Masjid Dhirar adalah Surat At Taubah ayat 107 yang turun berkenaan dengan Masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik di Madinah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Masjid ini memang ditujukan sebagai sarana untuk menimpakan madharat kepada kaum Muslimin, memecah belah persatuan mereka, memperkuat kekafiran dan sebagai markas kedatangan pasukan kafir Romawi yang akan membantu orang-orang munafik memerangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman mengenai masjid tersebut:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.

Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘Kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” [At Taubah: 107]

Di dalam ayat di atas ada sebutan “مَسْجِدًا ضِرَارًا” (masjidan dhiraran). Dari situlah nama Masjid Dhirar diambil sehingga menjadi istilah yang populer sekarang ini.

Latar Belakang Sejarah Pembangunan Masjid Dhirar

Pengertian Masjid Dhirar dan Sejarah Penamaannya dalam Islam
https://amrkhaled.net/

Mengenai rincian kisahnya, terdapat di dalam kitab-kitab tafsir dari riwayat shahih yang disandarkan kepada Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Abi Hatim no. 10060 dengan sanad shahih. Juga dari jalan shahih lainnya ke sekelompok Tabi’in.

Bila asal tafsir kisah tersebut jelas bersumber dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan sanad shahih, maka hal itu sudah mencukupi untuk menjelaskan peristiwa ini.

Sementara atsar lain yang datang dari murid-murid Ibnu Abbas dari kalangan Tabi’in dan lainnya akan menambah kejelasan dan kegamblangannya.

Al Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya terhadap surat At Taubah: 107-108 ini telah mengumpulkan dengan sangat baik dan tertib. Sehingga tidak perlu untuk memperpanjang nukilan dari kitab-kitab lain dan melakukan penelitian atau tahqiq terhadap kisah ini di dalam kitab-kitab tersebut.ii

Kisah tersebut disampaikan secara ringkas di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir: Tahdzib wa Tartib, karya Al Allamah Al Mufassir Dr. Shalah Abdul Fattah Al Khalidi. Berikut kami nukilkan kisah tersebut diambilkan dari buku edisi terjemahannya dalam Bahasa Indonesia:

“Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, ada seorang pria dari al Khazraj yang dikenal dengan nama Abu Amir Ar Rahib (seorang rahib). Dia memeluk agama Nasrani pada masa jahiliyah dan membaca kitab-kitab suci milik kaum Ahli Kitab. Selama masa jahiliyah, dia dikenal sebagai ahli ibadah dan memiliki status cukup terhormat di kalangan masyarakatnya.

Ketika Rasulullah hijrah dan tiba di Madinah, umat Islam pun berkumpul di sekeliling beliau. Islam mulai memiliki pengaruh yang kuat sehingga Allah pun menjadikan agama-Nya menang dan berjaya pada perang Badar. Maka, semua itu menyebabkan Abu Amir menyatakan permusuhannya terhadap Islam dan kaum Muslimin.

Setelah perang Badar, Abu Amir melarikan diri dari Madinah dan bergabung dengan kaum kafir Quraisy di Makkah untuk mendukung perang melawan Rasulullah. Abu Amir ikut berangkat bersama Quraisy pada perang Uhud.

Sebelum perang Uhud berkecamuk, para pengikut Abu Amir menggali banyak lubang di antara dua kubu. Rasulullah sempat terjatun ke dalam salah satu lubang tersebut. Mereka melukai wajah Rasulullah. Gigi beliau pecah dan menderita cedera di kepala.

Sebelum pertempuran dimulai, Abu Amir mendekat kepada orang-orang Anshar. Dari tempat pasukan kaum Musyrikin dia mencoba meyakinkan mereka untuk memihak kepadanya serta meninggalkan Rasulullah.

Ketika mendengar perkataannya dan mengenalinya, mereka berkata,”Semoga Allah tidak pernah membebani mata dengan melihatmu, hai orang fasiq, hai musuh Allah!” Mereka pun menghujat Abu Amir. Kemudian dia pergi dan bergabung kembali ke barisan pasukan musyrikin seraya berucap,” Demi Allah! Keburukan telah menimpa orang-orangku (penduduk Madinah) setelah kepergianku.”

Rasulullah sebenarnya sudah pernah berdakwah kepada Abu Amir. Beliau mengajaknya kepada Allah dan membacakan Al Quran kepadanya sebelum dia pergi ke Makkah bergabung dengan kaum kafir Quraisy.

Namun dia menolak memeluk Islam dan memberontak. Lalu Rasulullah mendoakan tidak baik atas Abu Amir, agar dia mati sebagai orang buangan di tanah asing. Doa Rasulullah itu pun terkabul. Abu Amir mati sebagai orang buangan di tanah asing, negeri Romawi.

Setelah perang Uhud, Abu Amir menyadari bahwa dakwah Rasulullah terus berkembang begitu pesat. Maka, dia memutuskan untuk pergi kepada Heraklius, Kaisar Roma, untuk meminta bantuan guna melawan Nabi Muhammad. Heraklius pun memberinya janji dan harapan. Dia akhirnya tetap tinggal bersama Heraklius.

Abu Amir juga menulis surat kepada beberapa orang di Madinah yang munafik. Dia memberi mereka janji-janji dan harapan. Dia memberitahukan bahwa dia akan datang memimpin pasukan untuk menyerbu Rasulullah.

Abu Amir memerintahkan mereka untuk mendirikan benteng yang menjadi tempat tujuan utusan yang dia kirim dan sekaligus bisa menjadi sebuah pos ketika dia datang di kemudian hari.

Orang-orang munafik itu pun mulai menjalankan instruksi Abu Amir dengan mulai membangun sebuah masjid yang terletak tidak jauh dari Masjid Quba’. Mereka berhasil menyelesaikan pembangunan masjid tersebut sebelum Rasulullah pergi ke Tabuk.

Lalu mereka pergi menemui Rasulullah untuk datang ke masjid yang mereka bangun dan berkenan shalat di dalamnya supaya masjid itu mendapat keberkahan. Hal itu mereka lakukan supaya menjadi bukti bahwa Rasulullah meresmikan masjid tersebut.

Nantinya masjid itu bisa mereka gunakan sebagai sarang untuk melancarkan konspirasi tanpa diketahui oleh kaum Muslimin.

Mereka berpura-pura mengatakan bahwa masjid itu dibangun untuk orang-orang yang lemah dan sakit yang tidak mampu pergi ke masjid yang jauh. Lalu menjadi tempat shalat bagi penduduk sekitar pada malam hujan dan dingin.

Namun, Allah memelihara Rasul-Nya dari shalat di masjid tersebut. Sebenarnya, Rasulullah menyanggupi permintaan mereka, tapi menundanya sampai beliau pulang.

Beliau berkata,” Nanti jika kami telah kembali dari perjalanan. Insyaallah.

Ketika Rasulullah sudah kembali dari Tabuk dan sudah mendekati Madinah, kurang lebih jarak satu hari atau kurang, Malaikat Jibril datang membawa berita tentang Masjid Dhirar dan tujuan yang sebenarnya.

Mereka membangun masjid itu untuk kekafiran, kemunafikan, dan menciptakan perpecahan di antara kaum Mukminin.

Allah pun menurunkan ayat-ayat ini dan memerintahkan Rasul-Nya untuk menghancurkan masjid tersebut. Sesampainya di Madinah, Rasulullah langsung mengutus beberapa orang Anshar pergi ke Masjid Dhirar untuk merobohkannya.

Kisah Masjid Dhirar ini juga diceritakan oleh Abdullah bin Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Urwah bin Az Zubair, Qatadah dan yang lainnya.iii

Lokasi Masjid Dhirar

Di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir tidak disebutkan secara spesifik lokasi dari Masjid Dhirar ini. Padahal penjelasan yang disampaikan dalam kitab tersebut termasuk yang paling komplit. Di situ hanya disebutkan lokasinya dekat dengan Masjid Quba’.

Sementara lokasi Masjid Quba’ secara geografis sebagaimana diterangkan di dalam Mausu’atul Jazirah (Al Jazeera Encyclopedia) adalah 4 kilometer di Barat Daya Madinah. Keterangan lengkapnya sebagai berikut:

“Masjid Quba’ terletak di barat daya Madinah, sekitar empat kilometer dari Masjid Nabi di “Jalan Hijrah” antara Makkah dan Madinah, dan “Quba’” awalnya adalah nama sumur sebuah desa yang ada di sana untuk Bani Omar bin Auf, yang merupakan bagian dari suku Al Aus Al Anshariah.”iv

Di dalam buku The History of Al Tabari (Tarikh Al Rusul wal Muluk) Volume IX, disebutkan bahwa lokasi Masjid Dhirar ini sekitar 4 km dari Madinah.

Silahkan dilihat di bagian footnote no 420 di halaman 60.v Bila demikian halnya, maka benarlah yang disampaikan Imam Ibnu Katsir bahwa lokasi Masjid Dhirar dekat dengan Masjid Quba’.

Kriteria Masjid Dhirar Menurut Keterangan Para Ulama

Tujuan Kriteria Masjid Dhirar Menurut Para Ulama
https://amrkhaled.net/

1. Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan tentang pengertian masjid dhirar sebagai berikut:

“Masjid Dhirar itu dibangun di atas niat yang rusak. Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya…”

Yang mendirikan adalah orang-orang munafik dan tujuan mereka adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan madharat kepada Masjid Quba’. Oleh karena itu disebut dengan Masjid Dhirar.
  2. Kafir kepada Allah karena kekafiran dikokohkan di dalamnya – kita berlindung kepada Allah dari hal itu – Hal ini dikarenakan para pendirinya adalah orang-orang munafik.
  3. Memecah belah orang-orang mukmin. Yang shalat di Masjid Quba’ bukannya satu shaf atau dua shaf namun menjadi setengah shaf. Sementara sisanya di masjid yang lain. Urusan persatuan orang-orang beriman ini mendapatkan perhatian dari syara’.
  4. Menanti-nanti orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Disebutkan bahwa seorang lelaki pergi menuju Syam. Dia adalah Abu Amir Al Fasiq. Dahulu antara dia dan orang-orang munafik yang membangun Masjid Dhirar itu ada komunikasi via surat. Mereka membangun masjid itu atas arahan dari Abu Amir. Mereka kemudian berkumpul di masjid tersebut untuk menentukan makar tipu daya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى

Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘Kami tidak menghendaki selain kebaikan.’”

Ini merupakan kebiasaan dan ciri orang-orang munafik, yaitu “Iman yang dusta.” [Majmu’ Fatawa wa Rosail: 9/226-227]vi

2. Menurut Al Imam Al Qurthubi

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata:

قال القرطبي: قَالَ عُلَمَاؤُنَا: وَكُلُّ مَسْجِدٍ بُنِيَ عَلَى ضِرَارٍ، أَوْ رِيَاءٍ وَسُمْعَةٍ فَهُوَ فِي حُكْمِ مَسْجِدِ الضِّرَارِ لَا تَجُوزُ الصَّلَاةُ فِيهِ. انتهى.

“Para ulama kami berkata,’Setiap masjid yang dibangun di atas pondasi menimbulkan madharat (kepada kaum Muslimin) atau karena riya’ dan sum’ah maka masjid semacam itu masuk dalam hukum Masjid Dhirar.”vii

3. Menurut Al Imam Az Zamakhsyari

Imam Az Zamakhsyari berkata,’Dikatakan bahwa setiap masjid yang dibangun untuk tujuan bermegah-megahan, atau riya’ dan sum’ah, untuk tujuan selain mengharap ridha Allah atau masjid yang dibangun dengan harta yang tidak baik itu masuk ke dalam kategori Masjid Dhirar.

Dari Syaqiq bahwa dia ketinggalan shalat Jamaah di Masjid Bani Amir. Kemudian dikatakan kepadanya, Masjid Bani Fulan belum menjalankan shalat. Dia kemudian berkata,” Aku tidak suka sholat di sana karena masjid tersebut dibangun atas dasar membahayakan kaum Muslimin.

Setiap masjid yang dibangun atas dasar untuk membahayakan kaum Muslimin atau riya’ atau sum’ah maka secara prinsip masjid tersebut bermuara kepada masjid yang dibangun atas dasar untuk membahayakan Muslimin.viii

4. Menurut Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah

  1. Membangun masjid dengan tujuan untuk menimpakan madharat.

Yang dimaksud adalah tidak ada sesuatu pun yang mendorong mereka membangun masjid kecuali dalam rangka menimpakan madharat dan kerugian kepada masjid yang berdekatan dengan mereka yang didirikan atas dasar takwa sejak dari hari pertama pembangunannya yaitu Masjid Quba’.

Ada yang berpendapat yang dimaksud adalah masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi).

Juga untuk menimpakan madharat kepada Jamaah Muslimah Mukminah yang dipimpin oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jadi mereka tidak memiliki harapan dan target dibalik pembangunan masjid tadi kecuali untuk menimpakan madharat dan kerugian, serta mencari dan mengupayakan terwujudnya hal tersebut.

  1. Membangun masjid dengan tujuan untuk kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan kekufuran dan orang-orang kafir serta memerangi Allah, Rasul-Nya dan Jamaah orang-orang beriman.

Perwujudannya adalah dengan menggunakan masjid tersebut sebagai basis bagi orang-orang munafik dan tempat berlindung mereka. Di dalamnya mereka merencanakan makar terhadap Daulah Muslimah yang masih berusia muda.

Juga dengan menjadikannya sebagai markas untuk Abu Amir yang kafir dan tentara Romawi yang bersamanya ketika sampai di Madinah untuk mengusir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dari Madinah.

Jadi mereka membangun masjid dengan niat – selain untuk menimpakan madharat — mengkufuri Allah dan Rasul-Nya serta untuk memenangkan kekafiran dan orang-orang kafir. Ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya),..”

Firman Allah: [وَكُفْرًا] digabungkan pada Dhirar. Artinya, dengan tujuan kekafiran, penyimpangan dan peperangan. Mereka menyembunyikan niat berbahaya ini di hatinya sejak awal mula mereka membangun dan mendirikan masjid celaka itu.

Di dalam Tafsir Al Manar karya Muhammad Rasyid Ridha (11/39), diterangkan:

“Mereka menginginkan kekafiran atau menguatkan kekafiran dan memudahkan kekafiran baik dengan cara melakukan atau meninggalkan sesuatu seperti memperkokoh orang-orang munafik untuk meninggalkan shalat di sana tanpa diketahui oleh orang-orang mukmin karena mereka tidak menjadi satu dengan orang mukmin di satu masjid. Juga adanya musyawarah di antara mereka untuk melakukan tipu daya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lain-lain.”

  1. Membangun masjid dengan tujuan untuk memecah Jamaah kaum Muslimin menjadi banyak jamaah.

Tujuannya adalah untuk memperkecil jumlah orang yang shalat di Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian juga dengan Masjid Quba’.

Hal itu bisa melemahkan kekuatan, memecah kalimat dan menjauhkan kaum Muslimin dari mendapatkan pengaruh dan arahan secara langsung dari pribadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, bisa memperkecil jumlah kaum Muslimin dalam satu Jamaah. Sementara memperbanyak jumlah orang dalam satu Jamaah merupakan salah satu tuntutan Syariat dan salah satu tujuan penting dari shalat Jamaah.

Imam Asy Syaukani ketika menerangkan firman Allah:

وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ

dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin..”

“Mereka ingin untuk tidak datang ke Masjid Quba’ sehingga Jamaah kaum Muslimin menjadi sedikit. Perbuatan tersebut jelas mengandung perpecahan kalimat dan sirnanya kerukunan.”

Al Baghawi di dalam tafsirnya mengatakan,” Karena mereka dahulu semuanya shalat di Masjid Quba’ kemudian mereka membangun Masjid Dhirar agar sebagian dari mereka shalat di dalamnya sehingga hal itu menyebabkan perselisihan dan perpecahan kalimat.”

  1. Mengharapkan dan menunggu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sebelum membangun Masjid Dhirar.

Al Baghawi mengatakan dalam tafsirnya:

“Abu Amir Al Fasiq memerintahkan kepada orang-orang munafik : ‘Persiapkan kekuatan dan senjata semampu kalian. Kemudian bangunlah untukku sebuah masjid. Sesungguhnya aku sedang pergi menuju Kaisar Raja Romawi. Aku akan datang dengan pasukan dari Romawi. Akan aku usir Muhammad dan para sahabatnya dari Madinah.’

Lalu mereka membangun Masjid Dhirar di dekat Masjid Quba’. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala:

وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ

serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.”

Dia adalah Abu Amir Al Fasiq, untuk dia gunakan shalat di dalamnya apabila kembali dari Syam. Firman-Nya: [مِنْ قَبْلُ] “sejak dahulu” merujuk kepada Abu Amir. Maksudnya adalah telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak sebelum Masjid Dhirar dibangun.”

Masjid dengan karakteristik, tujuan dan sasarannya yang merusak dan berbahaya yang telah disebutkan itulah yang dimaksud dengan Masjid Dhirar. Masjid itulah yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk dihancurkan dan dibakar, serta melarang shalat di dalamnya.

Masjid dengan karakteristik, tujuan dan sasaran seperti di atas tidak dibangun untuk kepentingan ibadah atau ketaatan. Masjid itu pada hakekatnya hanyalah merupakan kubu pertahanan dan benteng pertempuran, kekafiran dan kemunafikan. Ia menjadi titik tolak untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya. Seperti inikah masjid di zaman kita yang sebagian orang menyebutnya sebagai Masjid Dhirar?

Kesimpulannya, masjid mana pun yang motivasi pembangunannya adalah tujuan-tujuan dan target yang telah nyata ada pada Masjid Dhirar yang pertama yang telah disebutkan di atas atau sebagiannya atau salah satunya maka ia masuk kategori Masjid Dhirar.ix

Baca juga: Khutbah Jum’at Lengkap Ilmiah

Hukuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Terhadap Masjid Dhirar

Hukuman Nabi Terhadap Masjid Dhirar dirobohkan atau dibakar
ymig.com

Mengenai tindakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Masjid Dhirar itu sudah jelas yaitu beliau memerintahkan untuk merobohkan dan membakarnya.

Namun ada baiknya di sini kita detailkan agar mendapatkan gambaran yang lebih urut secara kronologis. Sekaligus menambah gamblang bayangan kita terhadap ketegasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengambil keputusan dan para sahabat yang menjalankan tugas tersebut.

Di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dikisahkan sebagai berikut:

“Muhammad bin Ishaq bin Yasar telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, Yazid bin Rauman, Abdullah bin Abu Bakar, Asim bin Amr bin Qatadah, dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari Tabuk, lalu turun istirahat di Dzu Awan, nama sebuah kampung yang jaraknya setengah hari dari Madinah.

Sebelum itu di tempat yang sama para pembangun Masjid Dhirar pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang bersiap-siap menuju ke medan Tabuk.

Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah membangun sebuah masjid untuk orang-orang yang uzur dan orang-orang yang miskin di saat malam yang hujan dan malam yang dingin.

Dan sesungguhnya kami sangat menginginkan jika engkau datang kepada kami dan melakukan shalat di dalam masjid kami serta mendoakan keberkatan bagi kami.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab melalui sabdanya,” Sesungguhnya aku sedang dalam perjalanan dan dalam keadaan sibuk.” Atau dengan perkataan lainnya yang semisal.

Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda pula,” Seandainya kami tiba, insya Allah, kami akan datang kepada kalian dan kami akan melakukan shalat padanya untuk memenuhi undangan kalian.”

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Dzu Awan, datanglah wahyu yang menceritakan perihal masjid tersebut.

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Malik bin Dukhsyum (saudara lelaki Bani Salim bin Auf) dan Ma’an bin Addi atau saudara lelakinya (yaitu Amir bin Addi yang juga saudara lelaki Al-‘Ajlan). Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Berangkatlah kamu berdua ke masjid ini yang pemiliknya zalim, dan robohkanlah serta bakarlah masjidnya.”

Maka keduanya dengan segera berangkat ke sana, hingga sampai ke tempat orang-orang Bani Salim bin Auf yang merupakan kerabat Malik bin Dukhsyum. Lalu Malik berkata kepada Ma’an, “Tunggulah aku! Aku akan membuatkan api untukmu dari keluargaku.” Lalu Malik masuk menemui keluarganya dan mengambil pelepah dari kurma, lalu menyalakan api dengannya.

Setelah itu keduanya berangkat dengan cepat hingga datang ke masjid itu dan memasukinya. Di dalam masjid terdapat keluarganya, maka keduanya membakar masjid itu dan merobohkannya, sedangkan orang-orang yang tadi ada di dalamnya bubar keluar berpencar-pencar.

Dan diturunkanlah Al-Qur’an yang menceritakan perihal mereka, yaitu firman-Nya:

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya). [At-Taubah: 107] hingga akhir kisah.x

Masjid Dhirar Haruskah Dirobohkan Dan Dibakar?

Menurut Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah persoalan ini dikembalikan kepada Imam atau orang yang mewakilinya dari kalangan para Komandan pasukan dan Jihad yang memiliki kekuasaan dan kekuatan serta pengaruh.

Apabila dari tinjauan maslahat dan Siyasah Syar’iyyah harus dibakar dan dihancurkan, maka dibakar dan dihancurkanlah masjid tersebut. Namun jika dilihat lebih maslahat untuk dirubah tampilannya dan dialih fungsikan, maka itulah yang dilakukan.

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitab Zadul Ma’ad: 3/571 berkata:

“Mengingat pembangunan masjid tersebut – yaitu Masjid Dhirar – adalah untuk menimbulkan madharat dan memecah belah orang-orang beriman serta menjadi tempat perlindungan orang-orang munafik, setiap tempat yang seperti ini kondisinya wajib bagi Imam untuk memusnahkannya baik dengan menghancurkan dan membakarnya atau dengan cara mengubah tampilannya dan mengalihfungsikannya, dikeluarkan dari tujuan awal pembangunannya.”

Saya (Syaikh Abdul Mun’im) katakan, khususnya apabila masjid ini besar. Konstruksi dan pembangunannya menelan biaya jutaan dolar (US). Maka langkah untuk menghancurkan dan membakarnya terkadang bisa menimbulkan fitnah terhadap Diin anggota masyarakat umum.

Pelaksanaan sanksi seperti itu mengakibatkan berbagai fitnah dan madharat yang lebih besar dari kerusakan yang hendak dihilangkan.

Dalam kondisi semacam ini, tidak ragu lagi bahwa yang lebih baik dan lebih selamat adalah mengubah tampilannya dan fungsi masjidnya dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang memberikan maslahat kepada umat dan negara.

Di dalam sunnah ada yang bisa menjadi dalil terhadap hal ini. Sudah jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menolak untuk menghancurkan ka’bah dan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim ‘alaihissalam. Sebabnya adalah penduduk Mekah saat itu baru saja masuk Islam sehingga dikhawatirkan terjadi fitnah atas mereka dan jangan sampai muncul persepsi bahwa ka’bah telah dihancurkan!xi

Keterangan dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ini memberikan alternatif solusi yang sangat membantu para pengambil kebijakan dalam mengambil keputusan.

Keputusan yang diambil terkait tindakan yang harus dilakukan terhadap sebuah masjid atau tempat yang memenuhi sifat-sifat masjid Dhirar menjadi lebih terbuka.

Tindakan yang diambil tidak terbatas pada pembakaran dan penghancuran namun dicari yang paling besar maslahatnya dan tidak menimbulkan madharat yang lebih besar.

Hukum Shalat di Masjid Dhirar

Hukum shalat di dalam masjid yang secara pasti telah terbukti sebagai Masjid Dhirar berdasarkan penelitian dan penilaian ulama yang terpercaya adalah tidak diperbolehkan. Sebab, masjid dhirar merupakan salah satu tempat yang dilarang untuk shalat di dalamnya.

Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata mengenai ayat ini:

نهي له صلى الله عليه وسلم والأمة تبع له في ذلك عن أن يقوم فيه أي يصلي أبداً

“Allah melarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari melaksanakan shalat di dalam Masjid Dhirar untuk selama-lamanya. Dan umat Islam mengikuti beliau dalam hal ini.”

Hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah seorang Muslim dilarang untuk mengambil keputusan untuk tidak shalat di sebuah masjid berdasarkan pada dugaan atau perkiraan atau tuduhan tanpa bukti yang bisa dipertanggung jawabkan secara syar’I bahwa masjid tersebut adalah Masjid Dhirar.

Jadi pada asalnya seorang muslim hendaklah shalat ketika waktu shalat telah tiba di masjid yang dia dapati tanpa merasa ragu tentang tempat tersebut apakah Masjid Hhirar atau bukan.

Hal ini karena sesuatu yang telah tetap secara meyakinkan – dalam hal ini berupa ketetapan bahwa semua bagian bumi ini telah dijadikan sebagai masjid bagi kita dan sebagai sarana untuk bersuci – itu tidak bisa dihilangkan hanya berdasarkan rasa ragu.

Rasa ragu atau dugaan semata tidak mencukupi untuk melarang shalat dalam sebuah masjid sampai yakin bahwa masjid itu adalah Masjid Dhirar. Hal ini sebagaimana perkataan para fuqaha tentang kaidah:

اليقين لا يزول بالشك.. بل لا يزال اليقين إلا بيقين مثله

“Keyakinan tidak hilang karena keraguan…bahkan keyakinan itu tidak bisa dihilangkan kecuali dengan keyakinan yang semisal dengannya.”

Apabila yakin bahwa sebuah masjid itu Masjid Dhirar karena pada masjid tersebut terkumpul seluruh sifat Masjid Dhirar maka haram untuk shalat di dalamnya. Namun apabila merasa ragu maka keraguan ini tidak ada nilainya sama sekali karena hukum asal harus didahulukan daripada keraguan ini.

Kemudian apabila seseorang yakin bahwa sebuah masjid itu ternyata adalah Masjid Dhirar akan tetapi dia tahu setelah dia melakukan shalat di dalamnya maka shalatnya tidak perlu diulang.

Ini karena pendapat yang mengatakan bahwa shalat tersebut harus diulang itu tidak ada dalilnya sama sekali. Bahkan dalil yang ada menunjukkan sebaliknya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan seorang pun dari mereka yang pernah shalat di Masjid Dhirar yang pertama ada untuk mengulang shalatnya. Andaikan beliau memerintah mereka maka akan sampai riwayat itu kepada kita.

Andaikan wajib bagi mereka untuk mengulang shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menunda penjelasan tentang hal itu dan perintah untuk melaksanakannya, dari waktu yang saat itu dibutuhkan.

Apakah Mungkin Suatu Masjid Dihukumi Sebagai Masjid Dhirar Pada Hari Ini?

Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah, seorang ulama dari negeri Syam, menjelaskan masalah ini sebagai berikut:

“Mungkin saja sebuah masjid dihukumi sebagai Masjid Dhirar namun harus memenuhi dua syarat:

  1. Harus bisa dibuktikan secara meyakinkan bukan berdasarkan dugaan bahwa motif pembangunan dan pendirian masjid tersebut adalah mewujudkan semua tujuan atau sebagian dari tujuan dibangunnya Masjid Dhirar yang pertama kali (di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Apabila tidak memiliki kemampuan untuk membuktikan atau memastikan hal itu atau tidak mengetahui tujuan dari pembangunan masjid tersebut disebabkan sudah meninggalnya orang yang membangunnya atau lainnya maka tidak diperbolehkan untuk menghukumi masjid tersebut sebagai Masjid Dhirar.

  1. Yang melakukan tugas penelitian dan pembuktian terhadap hakikat masjid yang hendak dihukumi tersebut dan kemudian menjelaskan status hukumnya adalah para ulama yang konsisten dengan ilmunya dan bertakwa.

Hal ini dikarenakan penelitian tentang hakikat sebuah masjid itu Masjid Dhirar atau bukan termasuk persoalan yang samar atau tidak jelas. Hal ini berkaitan dengan niat dan motivasi pembangunan masjid.

Oleh karena itu pengetahuan tentang hal-hal yang melingkunginya (Qarinah) serta tentang indikasi-indikasi yang menunjukkan kepada niat dan motivasi tersebut.

Semua hal itu dan yang lainnya, membutuhkan kepada kajian dan ijtihad serta pembuktian dan pengetahuan mendalam terhadap realitas masalah dan terhadap dalil-dalil syar’I yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Dengan demikian kami berpandangan bahwa orang-orang awam tidak boleh menyibukkan diri mereka dengan memberikan status hukum secara mutlak kepada rumah-rumah Allah bahwa rumah-rumah Allah itu merupakan Masjid Dhirar. Ini karena akan menimbulkan dampak dan akibat yang buruk.

Menghukumi sebuah masjid sebagai masjid dhirar secara zalim dan berangkat dari rasa permusuhan itu berarti merobek-robek kehormatan masjid secara keseluruhan tanpa alasan yang bisa dibenarkan.”xii

Endnote & Referensi Penulisan Masjid Dhirar

i Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/160749/%D8%AA%D8%B9%D8%B1%D9%8A%D9%81-

ii Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/143309/

iii Lihat: Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3; Pentahqiq: Dr. Shalah Abdul Fattah Al Khalidi, Maghfirah Pustaka, Jakarta Timur, Cetakan kedua 2017. Halaman 592-593.

iv Lihat: https://www.aljazeera.net/encyclopedia/citiesandregions/2015/9/6/

v Lihat: The History of Al Tabari (Tarikh Al Rusul wal Muluk) Volume IX, The Last Years of The Prophet, University of California, Los Angeles, State University of New York Press. 1990. Halaman 60.

vi Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/143309/

vii Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/160749/%D8%AA%D8%B9%D8%B1%D9%8A%D9%81-

viii ibid

ix Lihat: Shifatu Masajid Dhirar Allati Yajibu I’tizaluha, Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah. Halaman 4-8.

x Lihat Tafsir Al Quranul Azhim, Karya Al Imam Al Hafizh Imadudin Abil Fida’ Ismail Ibni Katsir Ad Dimasyqi, Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 1419 H/1998, cetakan pertama. Juz 4: 185-186,

xi Lihat: Shifatu Masajid Dhirar Allati Yajibu I’tizaluha, Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah. Halaman 11.

xii Lihat: Shifatu Masajid Dhirar Allati Yajibu I’tizaluha, Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah. hal. 10-11

Leave a Comment