Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَرَسُوْلِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَتَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ
Ajal Suatu Bangsa Dalam Al-Quran
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Setiap orang memiliki ajal. Apabila ajal tersebut telah datang maka kematian akan menjemputnya. Tidak ditunda sesaat pun dan tidak pula dipercepat sesaat pun.Ajal selalu datang tepat waktu. Sebenarnya ajal tidak hanya berlaku untuk umat manusia namun juga berlaku untuk sebuah bangsa atau negara atau sebuah peradaban.
Allah Ta’ala berfirman;
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
”Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” [Al-A’raf: 34]
Dalam tasir Fi zhilalil Quran, disebutkan bahwa yang dimaksud ajal di sini boleh jadi adalah ajal tiap-tiap generasi manusia yang berupa kematian yang memutuskan kehidupan sebagaimana sudah terkenal. Dan bisa jadi maksudnya adalah ajal setiap umat (bangsa) dalam arti masa tertentu kekuatan dan kekuasaannya di muka bumi.
Baik ajal dalam arti kematian yang memutus kehidupan manusia atau ajal dalam arti telah selesainya masa kejayaan dan kekuasan suatu bangsa, keduanya sudah ditentukan waktunya. Keduanya tidak diajukan dan tidak pula diundurkan.
Baca juga: Khutbah Jum’at Sebab Datangnya Bencana
Teori Ibnu Khaldun Tentang Ajal Suatu Bangsa
Seorang ahli sejarah dan sosiologi terkemuka dunia, yaitu Imam Ibnu Khaldun rahimahullah, dalam kitabnya yang sangat terkenal yaitu Al-Muqadimah, sebuah kitab yang ditulis sebagai sebuah pengantar karya besarnya dalam bidang sejarah yaitu At-Tarikh, menyatakan,
إن أعمار الدول لا تكاد تتجاوز مائة وعشرين سنة غالباً
”Sesungguhnya umur negara-negara itu mayoritas hampir tidak melebihi 120 tahun.”
Ibnu Khaldun membagi usia 120 tahun ini menjadi tiga tahap:
- Tahap pertama: Setelah suatu negara itu mencapai kejayaan, kemenangan, dan kekuasaan yang kokoh (tamkin), para pendirinya (the Founding Fathers) menjadi orang-orang yang kuat.
Mereka merasakan kehidupan yang keras, hidup berpindah-pindah, gagah berani. Mereka merasakan kepayahan dan kelelahan yang mereka kerahkan untuk memperoleh kekuasaan tersebut, sehingga mereka memiliki kekuatan, keteguhan, kesabaran, daya tahan, dan kebijakan yang baik dalam mengelola berbagai urusan. Inilah generasi pertama.
- Setelah mereka, datanglah generasi kedua: generasi ini lebih sedikit dari yang pertama dan lebih lemah darinya, karena ia telah sampai pada sebuah negara yang berdiri kokoh, dan mewarisi kekuasaan yang stabil dari generasi sebelumnya.
Dan pada saat yang sama orang-orang ini hidup mewah, santai, dan memiliki berbagai jenis harta yang membuat mereka cenderung royal, sangat memperhatikan urusan makanan, minuman, kendaraan, dan pernikahan serta berbagai kelezatan dunia ini.
Meskipun begitu, mereka telah mewarisi sedikit kekuatan, entah karena mereka telah hidup pada beberapa masa pembentukan negara, atau mereka mendengar dari kisah ayah-ayah mereka dan pembicaraan mereka, yang membuat mereka menjadi orang-orang yang kuat dan keras pada tingkatan tertentu.
- Kemudian datanglah generasi ketiga, yang tidak mengalami sedikit pun masa pembangunan kekuatan negara, dan tidak merasakan beban-beban kebangkitannya, dan tidak mendengar kisah dibacakan dari mereka yang melihat dan menyaksikan pembangunan negara tersebut.
Mereka menemukan sebuah kekuasan dengan mudah. Mereka menemukan harta dan pengaruh yang luas dan cenderung santai, tidak sungguh-sungguh dan lembek. Di tangan generasi inilah sering kali akhir dari negara tersebut.
Tiga fase ini kesimpulan dari Syaikh Dr, Salman bin Fahd Al Audah, salah seorang ulama terkemuka di Saudi Arabia, setelah membaca penjelasan Ibnu Khaldun.
Sedangkan menurut Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA., Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Ibnu Khaldun membagi menjadi 4 generasi yang akan menentukan cepat atau lambatnya ajal dari suatu bangsa.
Keempat generasi tersebut adalah:
- Generasi perintis
- Generasi pembangun
- Generasi penikmat
- Generasi penghancur
Baca Khutbah Jum’at: Akibat Mujaharah (Dosa Terang-Terangan)
Sebab-Sebab Runtuhnya Sebuah Peradaban
Ma’asyirol Muslimin rahimakumullah,
Dr. Abdussalam Al-Basyuni, di dalam bukunya ‘Awamil Suquthil Hadharat fil Qur’an was Sunnah, telah menjelaskan adanya sejumlah sebab runtuhnya sebuah negara berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah yaitu,
- Kekafiran dan berpaling dari Allah Ta’ala
Tentang bangsa Yaman penduduk Saba’, Allah Ta’ala berfirman,
{لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (15) فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16) ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلا الْكَفُورَ (17(
”Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling,
Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon asl, dan sedikit dari pohon sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.
[Saba’: 15-17]
- Dosa-dosa yang menyebar luas
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ يَرَوْا۟ كَمْ أَهْلَكْنَا مِن قَبْلِهِم مِّن قَرْنٍ مَّكَّنَّٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّن لَّكُمْ وَأَرْسَلْنَا ٱلسَّمَآءَ عَلَيْهِم مِّدْرَارًا وَجَعَلْنَا ٱلْأَنْهَٰرَ تَجْرِى مِن تَحْتِهِمْ فَأَهْلَكْنَٰهُم بِذُنُوبِهِمْ وَأَنشَأْنَا مِنۢ بَعْدِهِمْ قَرْنًا ءَاخَرِينَ
”Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.” [Al-An’am: 6]
Para ulama mengaskan bahwa bencana yang menimpa umat manusia itu selain karena sebab-sebab yang bersifat rasional ada juga yang bersifat syar’i. Sebab-sebab syar’i musibah yang menimpa umat manusia adalah berbagai dosa yang mereka lakukan.
Ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (96) أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (97) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (98) أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (99(
”Jikalau penduduk kota-kota beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Maka apakah penduduk kota-kota itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?
Atau apakah penduduk kota-kota itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalah naik ketika mereka sedang bermain-main?
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. [Al-A’raf: 96-99]
Allah Juga berfirman:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [Ar-Rum: 41]
Sebagian ulama salaf berkata, ”Siapa yang bermaksiat kepada Allah di bumi ini maka sesungguhnya dia telah melakukan kerusakan di muka bumi karena kebaikan bumi dan langit itu dengan ketaatan dan kerusakan bumi dan langit itu dengan kemasiatan.”
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, ”Yang dimaksud kerusakan dalam ayat ini adalah kekurangan, keburukan dan bencana-bencana yang dimunculkan oleh Allah di muka bumi akibat maksiat para hamba-Nya.”
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah bencana yang menimpa suatu bangsa bisa melenyapkan bangsa tersebut. Tentu bencana semacam ini adalah bencana berskala besar. Salah satu contohnya adalah perilaku kaum nabi luth dengan perilaku LGBT.
Kyle Harper, Profesor Studi Sejarah, filsafat, sastra Yunani Kuno dan Latin serta Wakil Presiden dan Kepala Administrasi senior di University of Oklahoma, menyatakan Pada 1377 Masehi, menyatakan bahwa sejarawan Arab Ibnu Khaldun menerbitkan buku Muqaddimah, yang masih digunakan untuk studi sejarah dunia sampai saat ini.
Ibnu Khaldun mengembangkan teori perintis tentang perubahan historis, menggabungkan ranah sosial dan politik dengan dinamika ekonomi dan demografi. Yang luar biasa, sejarawan Arab tersebut meramalkan bagaimana penyakit menular dapat terintegrasi ke dalamnya. Dia (seolah) telah hidup melalui Black Death, dengan bencana-bencana biologis terburuk dalam sejarah manusia.
Black death adalah suatu pandemi hebat yang pertama kali melanda Eropa pada pertengahan hingga akhir abad ke-14 (1347 – 1351) dan membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi pula epidemi pada sebagian besar Asia dan Timur Tengah, yang menunjukkan bahwa peristiwa di Eropa sebenarnya merupakan bagian dari pandemi multiregional. Jika termasuk Timur Tengah, India, dan Tiongkok, Maut Hitam telah merenggut sedikitnya 75 juta nyawa.
Bagi Ibnu Khaldun, wabah penyakit merupakan komponen integral dari keruntuhan peradaban. Wabah bukan hanya takdir Tuhan atau fenomena acak dari alam. Mereka adalah fenomena yang rentan yang memiliki penjelasan rasional. Epidemi mungkin merupakan hasil dari pertumbuhan populasi itu sendiri.
Peradaban yang kuat dengan pemerintahan yang baik akan memfasilitasi peningkatan populasi. Namun secara paradoksal, peningkatan demografis akan memicu penyakit epidemi yang mematikan dan disintegrasi sosial.
Epidemi mematikan dan disintegrasi sosial inilah yang merupakan bagian dari komponen integral dari keruntuhan sebuah peradaban.
- Cinta dunia dan takut mati
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ
يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا ” . فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ ” بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ” . فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ ” حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ ”
”Telah mendekat masanya berbagai bangsa (kafir dan sesat) saling memanggil satu sama lain (untuk memerangi kalian dan memecah belah kekuatan kalian), sebagaimana orang-orang yang saling memanggil menuju hidangannya (yang hendak mereka makan tanpa ada halangan).”
Ada seseorang bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit pada hari itu?” Beliau menjawab, “Justru jumlah kalian banyak pada hari itu, tetapi ibarat buih di atas air. Allah benar-benar akan mencabut dari dada musuh kalian rasa takut kepada kalian dan menimpakan kepada kalian penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “Cinta dunia dan takut mati.”
Sebuah bangsa yang sudah terjangkiti penyakit cinta dunia dan takut mati maka akan dengan sangat mudah ditaklukkan oleh musuh meskipun itu bangsa Muslim. Sebagai contoh adalah kekhilafahan Bani Abbasiyah di bawah kepemimpinan Al Mu’tashim. Baghdad sebagai ibu kota khilafah Islamiyah jatuh setelah diserang pasukan Mongol selama sekitar 13 hari saja. Inilah akhir dari riwayat kekhilafahan Bani Abbas.
Korban yang jatuh di pihak Muslim sekitar 900 ribu hingga satu juta orang. Belum lagi dihancurkannya kota Baghdad berikut kekayaan ilmu yang ada di perpustakannya. Penyebab paling besar dari tidak terbendungnya serangan Mongol tersebut adalah kecenderungan masyarakat dan penguasa Muslim saat itu yang begitu terlena dengan dunia dan sangat melemah ruh jihadnya.
Baca juga: Khutbah Jumat Penyakit Wahn
- Merajalelanya sikap ekstrim dan jelek dalam beragama.
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
يا أيُّها النَّاسُ إيَّاكم والغُلوَّ في الدِّينِ فإنَّهُ أهْلَكَ من كانَ قبلَكُمُ الغلوُّ في الدِّينِ
”Wahai manusia, jauhilah sikap eskstrim dalam beragama. Sesungguhnya sikap esktrim dalam beragama ini telah menghancurkan umat sebelum kalian.” [Hadits shahih riwayat Ibnu Majah no.2473]
Perlu khatib tegaskan di sini, bahwa ukuran ekstrimitas beragama adalah melebih batas-batas yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan didetailkan oleh para ulama Islam yang terpercaya. Ukurannya bukan pendapat umum masyarakat apalagi mengacu kepada indikator-indikator yang dibuat olah non Muslim.
Sebagai contoh, pada tahun 2007 Rand Corporation, sebuah lembaga penelitian dan penembangan yang berisi para pemikir dari berbagai disiplin Ilmu, di California, Amerika Serikat, menulis sebuah laporan berjudul Building Moderat Muslim Network.
Mereka membuat Road Map (peta jalan) untuk membangun jaringan muslim moderat dalam rangka melawan apa yang mereka namakan dengan jaringan kerja muslim radikal. Salah satu yang mereka lakukan adalah membuat indikator-indikator seorang muslim itu moderat atau radikal. Indikator yang mereka buat itulah yang menimbulkan problem.
Orang muslim yang menyatakan bahwa keluar agama Islam itu dilarang keras dan layak dihukum mati oleh pemerintahan Islam itu dianggap sebagai ciri muslim radikal.
Orang Muslim yang berkomitmen kepada hukum syariah baik perdata maupun pidana dikategorikan kepada muslim radikal. Padahal kedua hal tersebut merupakan tuntutan aqidah seorang muslim berdasarkan nash-nash yang shahih dari al quran dan as sunnah.
Yang dimaksud dengan ekstrimisme dalam beragama adalah melampaui batas dalam melaksanakan ajaran agama melebihi yang dituntunkan oleh nabi ﷺ. Misalnya nabi ﷺ tidak pernah memberikan vonis kafir kepada pelaku dosa besar kemudian ada di antara orang Islam yang mengkafirkan pelaku zina, misalnya. Ini jelas bentuk ekstrimisme dalam beragama.
Contoh lain, adalah kisah dalam hadits yang shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,”Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi ﷺ untuk bertanya tentang ibadah Nabi ﷺ .
Setelah mereka diberitahu, mereka menganggap ibadah Nabi ﷺ itu terlalu sedikit. Lantas mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi ﷺ ! Beliau telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang.”
Salah seorang dari mereka kemudian berkata, ”Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Lalu orang yang lainnya berkata, ”Saya akan puasa terus menerus tanpa berbuka.” Kemudian yang lainnya juga berkata, “Saya akan menjauhi wanita. Saya tidak akan menikah selamanya.”
Kemudian, Nabi ﷺ mendatangi mereka. Beliau bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allâh! Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka, aku shalat malam dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”
Nabi ﷺ telah melarang para sahabatnya bersikap berlebihan dalam melakukan ketaatan karena hal itu akan membuat mereka keluar dari fitrah sebagai manusia normal yang perlu makan, tidur dan menikah dengan wanita. Sementara Islam itu mudah dan sesuai dengan fitrah. Tidaklah seseorang berbuat ekstrim dalam beragama kecuali dia akan menyimpang dari jalan yang benar.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ وَمَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (13) ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلائِفَ فِي الأرْضِ مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ (14(
”Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat yang sebelum kalian, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi (jaza’) pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Kemudian Kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kalian berbuat.” [Yunus 13-14]
وَكَذَٰلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۚ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِمَنْ خَافَ عَذَابَ الْآخِرَةِ ۚ ذَٰلِكَ يَوْمٌ مَجْمُوعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَٰلِكَ يَوْمٌ مَشْهُودٌ
”Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).” [Hud: 102-103]
- Kerusakan telah merajalela dan dominan
Kerusakan di sini adalah kerusakan akhlak, nilai-nilai, perilaku, sosial, ekonomi dan lain-lain. Apabila bencana ini telah mendominasi dalam sebuah bangsa dan tidak ada amar ma’ruf nahi munkar, maka keruntuhan bangsa tersebut adalah satu hal yang pasti.
Ini sebagaimana Allah sebutkan dalam al-Quran Al-karim.
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ، إِرَمَ ذَاتِ ٱلۡعِمَادِ، ٱلَّتِي لَمۡ يُخۡلَقۡ مِثۡلُهَا فِي ٱلۡبِلَٰدِ وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُواْ ٱلصَّخۡرَ بِٱلۡوَادِ وَفِرۡعَوۡنَ ذِي ٱلۡأَوۡتَادِ، ٱلَّذِينَ طَغَوۡاْ فِي ٱلۡبِلَٰدِ، فَأَكۡثَرُواْ فِيهَا ٱلۡفَسَادَ، فَصَبَّ عَلَيۡهِمۡ رَبُّكَ سَوۡطَ عَذَابٍ إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلۡمِرۡصَادِ
”Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad,(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain
Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah,
dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” [Al-Fajr: 6-14]
- Merajalelanya gaya hidup hedonis
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
”Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” [Al-Isra’: 16]
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
الحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ وَ اْلشُكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَ امْتِنَانِهِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ الدَّاعِيْ إِلَى رِضْوَانِهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى هَذَا النَّبِيِّ اْلكَرِيْمِ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَ مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ.
Sebab Runtuhnya Peradaban Menurut Ibnu Khaldun
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Menurut teori Imam Ibnul Khaldun, faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal.
Beliau menegaskan bahwa suatu peradaban dapat runtuh bila para penguasa dan masyarakat gemar bergaya hidup malas yang diikuti dengan sikap bermewah-mewah. Perilaku semacam ini bukan hanya negatif tapi juga mendorong tindak kejahatan korupsi dan dekadensi moral.
Tindakan yang tidak, melanggar hukum dan melakukan penipuan, demi tujuan mencari nafkah terus meningkat di kalangan mereka.
Jiwa manusia didorong dengan sangat kuat untuk senantiasa berfikir dan mempelajari cara-cara mencari nafkah, dan untuk memakai segala model penipuan untuk meraih tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka melakukan kebohongan, berjudi, melakukan penipuan, penggelapan, pencurian, melanggar sumpah dan memakan riba.
Mata pencaharian mereka yang mapan telah sirna. Apabila ini berlangsung terus menerus, maka semua sarana untuk membangun suatu peradaban akan rusak. Pada akhirnya mereka betul-betul berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradaban.
Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya tentu akan rusak juga, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Khaldun. Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya berkonsentrasi pada upaya mencari kekayaan dengan cepat melalui cara-cara yang tidak benar. Sikap masyarakat yang malas yang telah terwarnai oleh materialisme, akhirnya mendorong mereka untuk mencari harta dengan tanpa mau berusaha
Secara ringkas, menurut Imam Ibnu Khaldun, ada 10 sebab runtuhnya sebuah peradaban:
- Kerusakan moral penguasa.
- Penindasan yang dilakukan oleh penguasa.
- Kezaliman dan ketidakadilan.
- Masyarakat yang bergaya hidup mewah (hedonis)
- Egoisme
- Opportunisme
- Beban pajak yang berat.
- Penguasa ikut serta dalam kegiatan ekonomi rakyat.
- Melemahnya komitmen masyarakat dalam berpegang teguh dengan ajaran agama.
- Menggunakan pena dan senjata secara tidak tepat.
Dari kesepuluh sebab runtuhnya sebuah peradaban tersebut, nampak bahwa Ibnu Khaldun berpandangan bahwa sebab utama keruntuhan sebuah peradaban pada dasarnya kembali pada akhlak suatu bangsa terutama para penguasanya.
Bila keadaan akhlak dari suatu masyarakat dan penguasanya sudah seperti yang telah digambarkan tadi, maka kekuatan politik, ekonomi serta sistem kehidupan akan hancur. Di kala itulah negara tersebut sedang meluncur tanpa terbendung lagi menuju keruntuhannya.
Nasalullahal ‘afiah. Semoga Allah Ta’ala melindungi bangsa kita yang Muslim ini dari kehancuran.
Doa Penutup
إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَى خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Baca Juga Tentang Khutbah Jum’at:
– Materi Khutbah Jum’at Terkini
– Hikmah Musibah dan Ujian Dari Allah