Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَرَسُوْلِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَتَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ
Mukadimah
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atas rahmat dan karunia-Nya semata kita semua bisa hadir ke tempat yang paling dicintai Allah Ta’ala di muka bumi ini, untuk melaksanakan kewajiban kita sebagai muslim yaitu ibadah shalat Jumat.
Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita yang mulia Muhammad ﷺ, keluarganya, para sahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti sunnah beliau lahir dan batin dengan penuh keikhlasan dan kesabaran hingga akhir zaman.
Kami wasiatkan kepada diri kami sendiri dan kepada kaum Muslimin sekalian agar senantiasa menguatkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana saja kita berada.
Di antara caranya adalah dengan menguatkan pegangan kita terhadap ajaran dan tuntunan Allah dan Rasul-Nya ﷺ dalam kehidupan ini, serta menjauhi segala seruan yang bertujuan untuk menjauhkan kaum Muslimin dari berpegang teguh dengan ajarannya.
Fenomena Toleransi Atas Nama Natal
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Saat ini kita di berada di bulan penghujung tahun Masehi yaitu bulan Desember. Di bulan ini, kaum Nasrani akan merayakan salah satu hari raya agama mereka.
Biasanya, setiap ada momentum ini, biasanya ada upaya-upaya untuk menunjukkan sikap toleransi dengan ikut menghadiri acara Natal bersama atau paling kurang dengan ikut mengucapkan selamat atas hari besar agama tersebut.
Persoalan ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama tentang status hukumnya. Hanya saja, mungkin masih ada sebagian orang yang tidak mengerti sepenuhnya duduk masalah ini.
Para ulama menjelaskan bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk berbuat baik dan bersikap adil kepada non muslim selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin karena agamanya.
Bahkan dalam masalah bersikap adil, kepada non Muslim yang memusuhi pun harus tetap adil, tidak boleh melakukan kezhaliman kepadanya.
Sehingga dalam sejarah penaklukan Islam, kaum muslimin diakui oleh sejarawan Barat sebagai penakluk paling santun dan adil di muka bumi.
Gustave Le Bon, seorang cendekiawan dan filosof Perancis awal abad 20, mengatakan,”Sejarah tidak pernah mengenal sang penakluk yang lebih adil dan lebih santun kecuali Islam.” (Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam: 119)[i]
TIdak pernah terjadi adanya pemaksaan terhadap penduduk negeri non muslim yang dikuasai kaum muslimin untuk masuk Islam.
Bahkan saat sahabat Nabi ﷺ yang agung, Abu Ubdaidah Ibnul Jarrah radhiyallahu ‘anhu mengembalikan jizyah (pajak perlindungan keamanan non muslim di negeri islam) kaum Nasrani di Homs, Suriah, karena tidak mampu lagi melindungi mereka dari sebuan tentara Romawi pada tahun 13 H, mereka takjub dengan sikap kaum Muslimin tersebut.
Para pemuka mereka menulis surat kepada Abu Ubaidah, Gubernur Syam saat itu,” Wahai kaum Muslimin, kalian lebih kami cintai dari pada Romawi, meskipun mereka sama agamanya dengan kami.
Kalian lebih memenuhi janji kepada kami. Kalian lebih belas kasih kepada kami, lebih menjaga diri dari menzhalimi kami dan lebih baik dalam memimpin kami.” [Samahatul Islam fi Mu’amalati Ghairil Muslimin, Dr. Abdullah bin Ibrahim Al-Luhaidan, hal. 17]
Ini bukti tak terbantahkan bahwa kaum Muslimin sejak dahulu kala dikenal sebagai umat yang sangat toleran di muka bumi.
Hanya saja, praktek toleransi para leluhur kaum Muslimin yang mulia itu tidak berbentuk seperti yang dilakukan hari ini, yaitu ikut datang dalam acara ibadah malam natal, mengucapkan selamat atas hari raya tersebut dan lain sebagainya yang merupakan kekhususan dalam keyakinan kaum Nasrani.
Tidak pernah didapatkan riwayat bahwa para khalifah Islam dan Gubernur wilayah di masa khulafaur rasyidin dan era setelahnya, melakukan hal seperti itu.
Namun demikian, kaum Nashara sudah merasakan betapa bebas dan tenangnya hidup di bawah naungan sistem Islam dan kepemimpinan kaum Muslimin yang konsisten dengan Islam.
Maka dari itu, kami merasa perlu untuk mengingatkan kembali diri kami sendiri dan Jamaah Jumat sekalian tentang masalah sikap Muslim terhadap perayaan hari besar agama non Muslim, yang kebetulan saat ini konteksnya adalah Hari raya Natal.
Hukum Merayakan Natal Dalam Islam
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Marilah kita mengingat kembali penjelasan Majelis Ulama Indonesia tentang masalah hukum Merayakan Natal dalam Islam. Dalam fatwa MUI pusat tahun 1981 disebutkan bahwa MUI menimbang bahwa:
- Umat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang perayaan Natal Bersama.
- Umat Islam agar tidak mencampur adukkan aqidah dan ibadahnya dengan aqidah dan ibadah agama lain.
- Umat Islam harus berusaha untuk menambah iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Tanpa mengurangi usaha umat Islam dalam Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia.
MUI menegaskan bahwa umat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan umat – umat agama lain dalam masalah – masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan.
Namun demikian umat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain berdasarkan surat Al-Kafirun: 1-6.
قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ – ١
Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!
لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ – ٢
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,
وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ – ٣
dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,
وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ – ٤
dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ – ٥
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ – ٦
Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
dan surat Al-Baqarah ayat 42.
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ – ٤٢
Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.
Kemudian MUI menyatakan bahwa umat Islam harus mengakui kenabian dan kerasulan Isa al-Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para nabi dan rasul yang lain sebagaimana diterangkan dalam sejumlah ayat dalam al-Quran.
Barang siapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak, Isa Al-Masih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 72 – 73.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۗوَقَالَ الْمَسِيْحُ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ ۗاِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ – ٧٢
Sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam.” Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil! Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.”
Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ ثَالِثُ ثَلٰثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ اِلٰهٍ اِلَّآ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۗوَاِنْ لَّمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ – ٧٣
Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa.
Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih.
Dan surat At-Taubah : 30
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ – ٣٠
Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?
Selanjutnya MUI menerangkan bahwa pada hari kiamat nanti Allah akan bertanya kepada Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan ibunya (Maryam) sebagai Tuhan.
Isa menjawab,” Tidak.” Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firmannya dalam surat Al-Maidah ayat 116 – 118.
Islam mengajarkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu hanya satu, berdasarkan surat Qul huwallahu ahad.
Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada meraih kemaslahatan.
Setelah memaparkan semua dalil dari al-Quran, hadits dan kaidah ushul fikih yang tidak bisa kami paparkan semuanya di sini, MUI Pusat saat itu memutuskan memfatwakan:
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa ‘alaihis salam, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumya haram.
- Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Fatwa Mui ini ditetapkan di Jakarta, 1 Jumadil Awal 1410 H / 7 Maret 1981 M oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan ketua komisi KH. Muhammad Syukri Ghazali dan sekretarisnya Drs. H. Mas’udi.
Fatwa ini sama sekali tidak menyinggung hukum mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani pada hari Natal.
Banyak orang yang salah paham tentang masalah ini. Larangan tentang ucapan selamat atas hari raya non Muslim tidak berasal dari fatwa MUI ini di era kepemimpinan Buya Hamka rahimahullah.[ii]
Baca juga: Khutbah Jumat Merayakan Tahun Baru Masehi Dalam Islam
Menyikapi Perayaan Natal
Ma’syiral Muslimin rahimakumullah
Toleransi agama itu artinya bukan ikut dalam acara ritual agama lain atau terlibat secara langsung dalam ibadah khusus mereka.
Toleransi itu merupakan sikap teguh dengan ajaran Islam, namun tidak memaksakan orang non Muslim untuk masuk Islam atau mengikuti ibadah umat Islam.
Toleransi itu membiarkan penganut agama lain untuk menjalankan keyakinan mereka, itulah toleransi yang dicontohkan dalam Islam
Menghormati dan bertoleransi terhadap pemeluk agama lain bukan dengan cara melakukan sesuatu yang dilarang oleh ajaran agama kita sendiri berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan kuat. Ini namanya salah praktek toleransi.
Kita dilarang menzhalimi diri sendiri dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, sebagaimana kita dilarang menzhalimi orang lain termasuk kepada para non Muslim.
Dengan demikian, kita bisa memberikan pensikapan yang baik namun tegas terhadap kaum non Muslim, dalam konteks saat ini adalah kaum Nasrani yang hendak merayakan hari raya Natal. Sikap yang baik berupa tidak menganggu jalannya ibadah mereka dan perayaan mereka.
Namun tegas untuk tidak ikut terlibat dalam ibadah tersebut sama sekali. Tidak perlu sampai melakukan sesuatu yang justru bisa memberikan madharat kepada agama kita sendiri, misalnya dengan menghadiri acara Misa Natal, memakai atribut Natal dan segala yang bersifat khas dalam ibadah mereka.
Semua itu merupakan bentuk pengagungan kepada keyakinan agama mereka. Padahal dalam Islam keyakinan agama mereka itu merupakan syirik besar.
Bagaimana mungkin kita terlibat dalam sebuah ibadah yang dikategorikan sebagai kezhaliman yang besar oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyebut kemusyrikan itu kezhaliman yang besar.
Zhalim terhadap hak Allah Ta’ala, yaitu tidak mensekutukan sesuatu dengan Allah Ta’ala. Maka, cukuplah kita bertoleransi dengan menghargai hak mereka, membiarkan kaum Nasrani merayakan Hari Natal dengan aman tanpa gangguan sama sekali, bebas tanpa penindasan.
Inilah yang dilakukukan kaum Muslimin sejak jaman dahulu. Sungguh para sahabat nabi ﷺ adalah contoh terbaik setelah Nabi Muhammad ﷺ dalam masalah toleransi. Dengan mengikuti mereka kita tidak akan tersesat.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا
اللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى هَذَا النَّبِيِّ اْلكَرِيْمِ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَ مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ
Jangan Latah Mengucapkan Selamat Natal
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Kita sering dapati di tengah-tengah masyarakat kita ada orang-orang yang karena ingin berbagi kebahagiaan dengan tetangganya yang non Muslim di hari Natal, kemudian dia mengucapkan “Selamat Hari Raya Natal” kepada tetangganya, atau kepada temannya, rekan kerjanya, atasannya dan seterusnya.
Dilihat sekilas, ini menunjukkan sikap yang baik, toleran dan bersahabat. Ucapan selamat terhadap hari raya non Muslim dipandang sebagai sebuah ungkapan yang tidak ada implikasi hukumnya dalam Islam.
Bahkan, justru dinilai akan menunjukkan kemuliaan umat Islam yang begitu toleran dan peduli dengan non Muslim sehingga diharapkan kohesi sosial akan semakin lekat.
Sebagian orang menganggap itu tuntutan bermuamalah yang baik dengan tetangga atau kerabat atau teman dan seterusnya.
Namun, kita harus ingat, Islam merupakan ajaran yang sempurna dan lengkap tentang bagaimana kita menjalankan kehidupan ini sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya ﷺ.
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, bukan hanya masalah ibadah seorang hamba dengan Tuhannya. Termasuk dalam persoalan interaksi antara kaum muslimin dengan non Muslim yang tidak memusuhi Islam.
Ada prinsip dan kaidah yang menjadi pedoman agar tidak terjadi pelanggaran terhadap diri kita sendiri atau atau pun kepada non Muslim. Ajaran Islam dalam toleransi adalah yang terbaik untuk umat Islam dan non Muslim sekaligus.
Aturan Islam selalunya bermaslahat dan menyempurnakan maslahat tersebut serta tidak menimbulkan madharat dan bahkan menjauhkan dari madharat.
Dalam persoalan mengucapkan ucapan selamat atas hari raya non Muslim, Imam Ibnul Qayim Al-Jauziyyah rahimahullah telah memberikan penegasan tentang adanya kesepakatan ulama dalam masalah ini. Beliau berkata,
“Adapun ucapan selamat terhadap syiar-syiar kekafiran yang merupakan ciri khasnya, maka itu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.
Misalnya, mengucapkan ucapan selamat pada hari raya mereka dan puasa mereka dengan ucapan: “Semoga hari raya anda diberkahi.” Atau mengucapkan selamat atas hari raya tersebut dan seterusnya.
Hal ini, meskipun orang yang mengucapkannya selamat dari kekafiran, namun hal itu termasuk perkara yang diharamkan.
Ucapan selamat terhadap hari raya non Muslim itu posisinya sebagaimana mengucapkan selamat atas sujudnya orang non Muslim tadi kepada salib.
Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya non Muslim itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai oleh Allah daripada ucapan selamat terhadap tindakan meminum khamr, membunuh orang, melakukan zina dan semisalnya.
Banyak orang yang terjerumus dalam perkara ini dari kalangan orang-orang yang tidak mengagungkan agama Islam.
Banyak yang tidak mengetahui betapa buruknya apa yang telah dia lakukan. Siapa saja yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena kemaksiatan yang dia lakukan atau kebid’ahan atau kekafiran, maka dia akan mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah.”[iii]
Bila demikian halnya, hendaknya kita tidak perlu mengucapkan selamat terhadap hari raya agama non Muslim apa pun agar tidak melanggar ijma’ ulama ini.
Hal itu sama sekali bukan bentuk intoleransi, namun bentuk ketaatan terhadap Allah Ta’ala, walaupun mungkin oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bentuk intoleransi, karena beda parameter dan perspektif yang dipakai.
Hendaknya kita berlapang dada atas tuduhan-tuduhan semacam itu dan terus memohon kepada Allah keteguhan di atas ajaran Islam dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Doa Penutup
Marilah kita tutup khutbah tentang hari natal dalam kacamata Islam dengan berdoa kepada Allah Ta’ala.
إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَى خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
عِبَادَ اللهِ
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
[i] https://dokumen.tips/documents/kebangkitan-dunia-baru-islamdocx.html
[ii] https://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/05.-Perayaan-Natal-Bersama.pdf
[iii] Mukhtashar Ahkam Ahlidz Dzimmah lil Imam Ibnil Qayyim rahimahullah, Diringkas oleh Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Darul Qasim,Riyadh, 1425 H, hal. 28.
Baca Juga Tentang Khutbah Jum’at:
– Kumpulan Khutbah Jum’at Lengkap
– Khutbah Jumat Tentang Tahun Baru Hijriyah
– Khutbah Jumat Hari Raya Imlek