Khutbah Pertama
الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ اْلكِتَابَ. أَظْهَرَ اْلحَقَّ بِاْلحَقِّ وَأَخْزَى اْلأَحْزَابَ وَأَتَمَّ نُوْرَهُ، وَجَعَلَ كَيْدَ اْلكَافِرِيْنَ فِيْ تَبَاب
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ اْلعَزِيْزِ اْلوَهَّابَ. المَلِكُ فَوْقَ كُلِّ اْلمُلُوْكِ وَرَبَّ اْلأَرْبَابِ.غَافِرُ الذَّنْبِ وَقَابِلُ التَّوْبِ شَدْيْدُ اْلعِقَابِ
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمُسْتَغْفِرُ التّوَّاب.اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ وَعَلَى اْلآلِ وَاْلأَصْحَابِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا .يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أمَّا بعد
Urgensi Wara’
Jama’ah Jumat rahimakumullah,
Tema khutbah jumat hari adalah tentang wara’. Wara’ merupakan amal hati yang agung. Ia merupakan salah satu pilar dari agama ini. Wara’ mensucikan hati dari noda-noda, dan memurnikan jiwa dari segala kotoran. Ia merupakan buah dari iman.
Thawus bin Kaisan Al-Yamani rahimahullah – seorang ulama Tabi’in dari Yaman- berkata, “Iman itu ibarat sebuah pohon. Akarnya adalah syahadat. Batang dan daunnya demikian juga. Buahnya adalah wara’. Pohon yang tidak ada buahnya adalah pohon yang tidak memiliki kebaikan. Demikian pula tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak memiliki sikap wara’.” [As-Sunnah, Abdullah bin Ahmad: 635]
Al-Qasim bin ‘Utsman rahimahullah berkata, “Wara’ adalah tiang agama.” [Tarikh dimasyq: 49/122]
Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi berkata, “Wara’ adalah pokok pangkal dari ketaatan.” [Hilyatul Auliya’: 10/76]
Wara’ merupakan tanda kebaikan seorang hamba. Umar dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
لاَ تَنْظُرُوْا إِلَى صِيَامِ أَحَدٍ وَلَا إِلَى صَلَاتِهِ، وَلَكِنْ انْظُرُوْا إِلَى مَنْ إِذَا حَدَّثَ صَدَقَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ أَدَّى، وَإِذَا أَشْفَى -أَيْ هُمْ بِاْلمَعْصِيَةِ- وَرَعَ
“Janganlah kalian melihat shalat seseorang dan tidak pula puasanya. Namun lihatlah kepada kejujuran perkataannya saat berbicara, dan kepada amanahnya apabila diberi amanah serta kepada wara’nya bila ada keinginan maksiat dia bersikap wara’.” [Syu’abul Iman: 5278 dan 5281][i]
Pengertian Wara’
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Lantas apakah sebenarnya wara’ itu? Al-wara’ secara bahasa berarti التَّحَرُّجُ (at-taharruj), yang berarti menjauhi dengan menanggung kepayahan dan kesempitan.
Asal makna wara’ adalah menahan diri dari yang haram kemudian dipakai dengan makna menahan diri dari yang mubah dan halal. [Lisanul ‘Arab: 8/388]
Adapun secara istilah, para ulama berbeda-beda ungkapannya dalam mendefinisikan wara’.
- Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Wara’ adalah menjauhi perkara-perkara yang haram.” [Hilyatul auliya’: 8/91]
- Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata , “Wara’ adalah meninggalkan segala syubhat (perkara yang tidak jelas halal haramnya) dan meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat bagimu serta meninggalkan hal-hal yang berlebihan.” [Madarijus salikin: 2/21]
- Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan definisi, “Wara’ adalah meninggalkan apa saja yang dikhawatirkan akan menimbulkan madharat di akhirat.” [Al-Fawaid: 118]
- Az-Zarqani rahimahullah berkata, “Wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang hukumnya boleh dilakukan sebagai bentuk sikap waspada agar tidak terjerumus ke dalam dosa.” [Tarikh Dimasyq: 54/257]
- Al-Jurjani rahimahullah berkata, “Wara’ adalah menjauhi syubhat karena khawatir terjerumus ke dalam perkara-perkara yang diharamkan.” [At-Ta’rifaat: 325][ii]
Baca juga: Khutbah Jumat Fitnah Dunia
Keutamaan Wara’
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Wara’ dengan arti meninggalkan perkara-perkara yang haram merupakan tingkatan wara’ yang paling rendah. Ini hukumnya wajib bagi setiap Muslim.
Adapun tingkatan di atasnya hukumnya adalah disunnahkan. Rasulullah ﷺ bersabda menjelaskan keutamaan sikap wara’ dalam beberapa hadits:
- Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Hai Abu Hurairah! Jadilah orang yang wara’, kamu akan menjadi orang yang paling sempurna ibadahnya.” [Hadits riwayat Ibnu Majah (4317) dan dishahihkan oleh Al-Albani]
- Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik agama kalian adalah wara’.” [Hadits riwayat al-Hakim (314) dan disepakati oleh adz-Dzahabi.]
- Semisal ini juga diriwayatkan dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu.” [ Hadits riwayat Al-Hakim (317) dan ath-thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (3960) dan dishahihkan oleh Al-Albani.]
- Dari Amru bin Qais al-Mallaai radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Unsur paling asasi dari agama kalian adalah wara’.” [Mushannif Ibnu Abi Syaibah (26115) dan al-Wara’ li ibni Abi Ad-Dunya (14)]
Para ulama Salaf juga mengingatkan tentang keutamaan wara’ ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya agama ini bukanlah suara bacaan di akhir malam akan tetapi agama adalah sikap wara’.” [Az-Zuhd, Imam Ahmad: 125]
- Al Hasan rahimahullah berkata, “Ibadah yang paling utama adalah tafakkur (berfikir) dan wara’.” [Al- Wara’, Ibnu Abid Dunya: 37] Dia juga mengatakan bahwa hikmah adalah wara’. [Tafsir Al-Baghawi (1/334) dan tafsir Al-Qurthubi (3/313).
- Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata, “Ibadah adalah bersikap wara’ dari apa saja yang Allah haramkan dan berfikir tentang perintah Allah.” [Tafsir Al-Qurthubi: 3/301]
- Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir rahimahullah berkata, “Sebaik-baik agamamu adalah wara’.” [Tafsir Ath-Thabari: 12/17]
Dia juga berkata, “Sungguh kamu akan menjumpai dua orang yang salah satunya lebih banyak puasa dan shalat serta sedekahnya, sedangkan yang satunya lebih utama darinya dengan keutamaan yang sangat jauh.”
Lalu dia ditanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Orang kedua itu jauh lebih wara’ karena Allah dari hal-hal yang Allah haramkan.” [Tafsir Ath-Thabari: 12/17 dan Mushannaf Ibni Abi Syaibah (35491)]
- Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “Amal yang paling utama adalah wara’.” [Syu’abul Iman (8149)][iii]
Gambaran Wara’ Orang Shalih
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Untuk memberikan gambaran yang lebih praktis, kami sampaikan kisah yang sungguh menakjubkan tentang wara’ namun terjadi di masa sebelum Islam.
Hal sebagaimana dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, di berkata, “Nabi ﷺ bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang membeli sebidang tanah dari orang lain kemudian laki-laki yang membeli tanah itu mendapatkan sebuah guci yang di dalamnya ada emas. Maka orang yang membeli tanah itu berkata; “Ambillah emas milikmu karena aku hanya membeli tanah dan bukan membeli emas”.
Lalu orang yang menjual rumahnya berkata, “Yang aku jual adalah tanah ini dan apa yang ada didalamnya”. Akhirnya kedua orang itu meminta pendapat kepada seseorang, lalu orang yang dimintai pendapat itu berkata, “Apakah kalian berdua mempunyai anak?. Laki-laki yang satu berkata, “Aku puya anak laki-laki”. Dan yang satunya lagi berkata: “Aku punya anak perempuan”.
Maka orang yang dimintai pendapat berkata,”Nikahkanlah anak laki-laki itu dengan anak perempuan itu dan berilah nafkah untuk keduanya dari emas tadi dan juga shadaqahkanlah.” [Hadits riwayat Al-Bukhari no. 3213][iv]
Kisah kewara’an dari khalifah Umar bin Abdul Azis rahimahullah, seorang ulama Tabi’in, cucu Khalifah rasyidin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu juga sangat mashyur. Umar bin Abdul Azis sangat terkenal dengan keadilan, kezuhudan dan kewara’annya.
Di antara bukti sikap wara’nya yang sangat mengagumkan adalah sebagaimana dikisahkan dari Amr bin Muhajir, dia berkata, “Sesungguhnya Umar bin Abdul Azis mempunyai lilin yang digunakannya untuk mengurus permasalahan kaum Muslimin. Jika telah selesai bekerja, maka dia akan mematikannya dan menyalakan lampunya sendiri.” [Sirah Umar bin Abdul Azis, Ibnul Jauzi, hal. 98].
Contoh berikutnya adalah tentang sikap wara’ seorang ulama Tabi’in lainnya bernama Muhammad bin Sirin rahimahullah.
Dari Al-Humaid bin Abdillah bin Muslim bin Yasar, dia berkata, “Ketika Ibnu Sirin dipenjara, salah seorang penghuni lembaga itu berkata, “Jika malam telah datang maka pergilah Anda kepada keluarga Anda dan jika hari menjelang pagi, maka kembalilah kemari.”
Kemudian Ibnu Sirin berkata, “Demi Allah, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak mau membantu anda mengkhianati pemerintah.” [Tarikh Baghdad: 5/331][v]
Buah Wara’
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Wara’ memiliki buah yang sangat banyak sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran dan as-Sunnah. berikut sebagian dari buah-buah wara’ berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid:
- Wara’ adalah sebab keberuntungan
Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), [Al-A’la: 14]
Qatadah rahimahullah mengatakan, “Beramal secara wara’.” [Tafsir Ath-Thabari: 12/546]
- Wara’ merupakan sebab diringankannya hisab pada hari kiamat.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Zuhudlah kamu niscaya Allah akan memperlihatkan kepadamu kejelekan dunia ini dan bersikaplah wara’, niscaya Allah Akan meringankan hisabmu.” [Hilyatul Auliya: 7/20]
- Wara’ adalah sebab keberkahan amal dan banyaknya kebaikan.
Seorang pria bertanya kepada Abu Abdurrahman Al-‘Umari, “Nasehatilah saya.” Abu Abdurrahman lalu mengambil secuil tanah sebesar kerikil kemudian berkata, “Wara’ sebesar ini yang masuk ke dalam hatimu itu lebih baik daripada sholat penduduk bumi ini.” [Hilyatul Auliya’: 8/286]
- Wara’adalah sebab dari perbaikan niat.
Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Wara’ seorang mukmin itu tidak akan membiarkannya hingga dia melihat kepada apa yang dia niatkan. Apabila niatnya sudah baik maka yang selain niat akan lebih layak untuk menjadi baik.” [Hilyatul Auliya’: 5/230]
- Wara’ adalah sebab menjaga diri dari syubhat.
Abu Abdillah al-Anthaki rahimahullah berkata, “Siapa yang takut maka dia akan bersabar. Siapa yang bersabar, maka dia akan bersikap wara’ dan siapa yang wara’ maka dia akan menahan diri dari syubhat.” [Hilyatul Auliya’: 9/290]
- Wara’ adalah sebab dikabulkannya doa.
Muhammad bi Wasi’ rahimahullah berkata, “Wara’ yang sedikit sudah cukup bagi doa (agar terkabul) sebagaimana cukupnya garam bagi masakan dalam satu panci.” [Syu’abul Iman: 1149]
- Wara’ adalah sebab diperolehnya ilmu.
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Mencari ilmu itu tidak akan sempurna kecuali dengan empat hal: yaitu dengan mendedikasikan waktu sepenuhnya, harta, menghafal dan wara’.” [Syu’abul Iman: 1732]
- Wara’ merupakan sebab berkahnya ilmu.
Al-Qannuji rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu harus bersikap wara’ agar ilmunya lebih bermanfaat dan faedahnya lebih banyak.” [Abjadul ‘Ulum: 1/248]
- Wara’ adalah sebab untuk memperbaiki aib diri sendiri.
Seseorang ketika bersikap wara’ dia akan sibuk dengan aib-aib dirinya bukan sibuk dengan aib orang lain. Hal itu menyebabkannya sibuk untuk memperbaiki aib-aib dirinya.
- Wara’ adalah sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Ada lima hal yang merupakan komponen kebahagiaan: keyakinan di hati, wara’ dalam agama, zuhud di dunia, rasa malu dan ilmu.” [Hilyatul Auliya’: 10/216][vi]
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِمَامُ الأَنبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
أَمَّا بَعْدُ
Bagaimana Cara Kita Menjadi Orang Wara’?
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Kita sudah mengetahui berbagai keutamaan dan buah-buah dari wara’. Lantas bagaimanakah caranya agar kita bisa menjadi orang yang wara’ dalam agama?
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid mengatakan bahwa wara’ itu merupakan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.
Di sana ada sebab-sebab yang membantu seorang hamba untuk bisa mencapai tingkatan yang agung dan tinggi ini. Di antaranya adalah:
- Menjauhi semua perkara yang diharamkan.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jauhilah apa yang telah diharamkan atas dirimu niscaya kamu akan menjadi orang yang paling wara’.” [Syu’abul Iman: 201 dan dishahihkan oleh Ibnul Jauzi]
- Bermuamalah yang baik dalam masalah uang.
HaI ini sebagaiman dalam sebuah atsar, ada seseorang di dekat Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu yang bersaksi dengan sebuah kesaksian. Umar berkata, “Aku tidak mengenal dirimu. dan tidak ada masalah dengan dirimu jika aku tidak mengenalmu. Datangkan orang yang mengenalmu.”
Lalu seseorang dari kaum tersebut berkata, “Aku mengenalnya.” Umar bertanya kepadanya, “Dengan apa kamu mengenalinya?” Dia menjawab, “Dengan ‘adalah dan keutamaan (maksudnya dia orang yang baik dan memiliki keutamaan).”
Apakah dia tetanggamu terdekat yang kamu ketahui siang dan malamnya, masuk dan keluarnya?” Dia menjawab, “Bukan.” Umar bertanya, “Apakah kamu bermuamalah dengan dirinya dalam hal uang dinar dan dirham yang bisa menjadi sarana pembuktian atas kewara’annya?” Dia menjawab, “Tidak.”
Umar bertanya lagi, “Apakah kamu pernah menyertainya dalam safar yang bisa menjadi jalan untuk menunjukkan atas kebaikan akhlaknya?” Dia menjawab, “Tidak.” Umar lalu berkata, “Kamu tidak mengenalnya.” Kemudian Umar berkata kepada orang yang pertama tadi, “Datangkanlah orang yang mengenalmu.” [Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra (201187) dan dishahihkan oleh Al-Albani]
Abu Abdillah Al-Anthaki rahimahullah berkata, “Rasa takut itu akan menghasilkan wara’.”Hilyatul Auliya’: 9/290]
- Menjaga sunnah dan meninggalkan bid’ah
Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Kami benar-benar telah membahas bahwa tidaklah seseorang itu membuat suatu kebid’ahan kecuali wara’nya terampas.” [Ahadits dzammil kalam wa ahlih: 5/127]
- Mengamalkan ilmu
Sahl bin Abdillah rahimahullah berkata, “Apabila seorang mukmin mengamalkan ilmunya, hal itu akan menunjukkan dirinya kepada wara’. Apabila dia bersikap wara’ maka hatinya akan bersama Allah.” [Hilyatul Auliya’: 10/205]
- Zuhud terhadap dunia
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ” Aku tidak melihat seorang pun yang bersikap wara’ kecuali dia adalah orang yang membutuhkan (miskin).” [Tahdzibul Kamal (28/340)]
Mayoritas orang wara’ adalah orang yang miskin. Siapa saja yang tidak bersikap zuhud di dunia maka dia tidak akan mampu bersabar untuk bersikap wara’.
- Menjauhi amarah
Abu Abdillah As-Saji rahimahullah berkata, “Apabila amarah sudah merasuki akal maka pergilah wara’.” [Hilyatul Auliya’: 9/317]
- Sedikit makan dan mengendalikan syahwat
Al-Ghazali rahimahullah berkata, “Kunci zuhud dan iffah serta wara’ adalah sedikit makan dan mengendalikan syahwat.” [Ma’arijul Qudsi: 81]
- Sedikit bicara
Dari Abdullah bin Abi Zakaria rahimahullah dia berkata, “Siapa yang banyak bicaranya, banyak kesalahannya, dan siapa yang banyak kesalahannya akan sedikit wara’nya dan siapa yang sedikit wara’nya Allah akan mematikan hatinya.” [Hilyatul Auliya’: 5/ 149]
- Menjauhi apa saja yang membuat waktunya hilang sia-sia.
Sahl bin Abdillah rahimahullah berkata, “Siapa yang anggota badannya sibuk dengan selain apa yang Allah perintahkan kepadanya, wara’diharamkan atas dirinya.” [Syu’abul Iman: 5056]
- Memelihara rasa malu.
Umar bin Al Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata, ” Siapa saja yang sedikit rasa malunya akan sedikit pula wara’nya. Dan siapa yang sedikit wara’nya maka matilah hatinya.” [Al-Mu’jam Al-Ausath: 2/370][vii]
Demikian tadi cara-cara yang bisa dilakukan untuk menjadi orang yang wara’. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita semua sikap wara’ yang benar dan tulus karena Allah dan berkenan menutup kehidupan kita dengan husnul khatimah.
Doa Penutup
Marilah kita berdoa kepada Allah Subahanhu wa Ta’ala
إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَى خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
[i] Al-Wara’, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Majmu’atuz Zaad, Saudi Arabia, 1430 H / 2009 M, cetakan pertama. Hal. 7-8.
[ii] Ibid, hal. 9-11 secara ringkas.
[iii] Ibid, hal. 13-15.
[iv] https://carihadis.com/Shahih_Bukhari/3213
[v] 60 Biografi Ulama Salaf, Syaikh Ahmad Farid, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, hal. 74 dan 129.
[vi] Al-Wara’, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Majmu’atuz Zaad, Saudi Arabia, 1430 H / 2009 M, cetakan pertama. Hal. 36-41 secara ringkas.
[vii] Ibid, hal. 41-48 secara ringkas.
Baca Juga Tentang Khutbah Jum’at:
– Materi Khutbah Jum’at Terbaru
– Khutbah Jumat Tentang Tawakkal