Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Dari Masa ke Masa

Sejak nabi Adam AS diciptakan, manusia sudah bergelut dengan ilmu pengetahuan. Bahkan kemampuan manusia untuk mengetahui sesuatu dengan sistematik adalah merupakah hal yang diperlihatkan Allah kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain.

Tadinya malaikat hanya mampu melihat sosok kebinatangan manusia, yakni sebagai makhluk penumpah darah. Namun ternyata ada sisi lain, yang merupakan keunggulan manusia, lepas dari pengamatan malaikat.

Malaikat hanya terpaku saja ketika Allah memerintahkannya menyebut berbagai ungkapan di alam ini, suatu pekerjaan yang mudah dilakukan Nabi Adam AS.

Kemampuan NabiAdam AS hanya dimungkinkan oleh adanya suatu lembaga yang disebut “Akal”. akal adalah sumber ilmu, tempat timbul dan sendi ilmu. Ilmu itu berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon kayu, sinar dari matahari dan penglihatan dari mata1. Karakteristik manusia adalah akalnya, sehingga dengannya manusia lebih mulia dari benda mati, tumbuhan dan hewan.

Benda mati hanya memiliki materi dan energi, baik yang aktual maupun potensial. Tumbuhan mampu memproses energi menjadi materi dan sebaliknya melalui perangkat metabolisme yang dimilikinya.

Namun, ia tak memiliki kemampuan untuk menangkap hakikat sesuatu di luar dirinya sehingga kepekaannya menjadi aktif dan dinamis.

Hewan mempunyai kesanggupan itu, meskipun pengetahuan hewan tidak bersifat akumulatif. Pengetahuan hewan yang disbeut instink bertahan sepanjang masa tanpa perubahan apapun, meski pengalaman hidup hewan senantiasa bertahan dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Pengetahuan manusia bersifat akumulatif.

Manusia dapat memetik pengalaman ilmiahnya menjadi intisari pengetahuan yang seiring dengan berjalannya waktu terus bertambah. Sangat dinamis dan labil, senantiasa berubah mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya dan kebutuhan yang dihadapinya.

Usaha pendefinisian Akal oleh Imam Al Ghazaly

Sumber: twimg.com

Banyak pendapat yang timbul dalam usaha mendefinisikan akal. Al Ghazaly berpendapat bahwa akal itu ialah suatu nama yang bersereikat kepadanya empat arti.

  1. Akal adalah suatu lembaga yang berkemampuan menerima berbagai macam ilmu nadhari (memerlukan pemikiran, analisis).
  2. Hakikat akal itu ialah ilmu pengetahuan yang timbul ke alam wujud pada diri anak kecil yang dapat membedakan tentang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustahilan barang yang mustahil. Akal adalah sebagian ilmu dharuri (ilmu yang tak memerlukan analisis).
  3. Akal itu ialah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dengan berlakunya berbagai macam keadaan
  4. Bahwa kekuatan dari gharizah itu berpenghabisan sampai kepada mengetahui akibat dari segala hal dan mencegah hawa nafsu yang mengajak kepada kesenangan yang dekat dan menundukkannya.

Selanjutnya, menurut Al Ghazaly, dua yang pertama hadir dengan karakter (tabiat) dan dua yang penghabisan adalah dengan diusahakan2). Jaid, kemampuan akal seseorang ditentukan oleh kemampuan menangkap sesuatu hakikat (teoritis) dan kegunaan serta penggunaan dari pengetahuannya itu (aplikatif).

Baca juga: Sejarah Imperialisme Barat di Dunia Islam

Perbedaan Ilmu Pengetahuan

Pada beberapa klasifikasi, pengetahuan dibedakan dari ilmu dan filsafat. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat dihayati manusia atau suatu perpaduan antara subyek yang diketahuai.

Pengetahuan adalah lambang kesadaran manusia akan diri dan posisi dari dalam lingkungannya.

Ilmu adalah pengetahuan yang telah disistemaltisir sehingga membentuk kerangka tertentu. Sistimatika pengetahuan tentang suatu fenomena dimungkinkan oleh kegiatan observasi, riset, atau eksperimen.

Filsafat adalah usaha untuk menangkap hakikat sesuatu secara integral, universal, dan radikal dengan perangkat pengetahuan-pengetahuan yang ada.

Filsafat berpisak pada pengamatan dan penelitian tetapi analisisnya dapat menembus apa saja yang dapat difikirkan.

Kerangka Filsafat

Kerangka filsafat menurut Al Ghazaly dibangun dari cabang-cabang ilmu ukur, ilmu berhitung, ilmu mantiq (logika), ilmu ke-Tuhanan (teologi) atau ilmu kalam dan ilmu-ilmu alam.3

Filsafat dibangun dari bahan-bahan yang berkembang di dunia ilmu. Dengan demikian, filsafat modern, merangkum lebih banyak lagi cabang-cabang ilmu, yang saat ini telah berkembang dengan amat pesatnya.

Ilmu manusia telah berkembang dari zaman ke zaman. Kita yakin bahwa Nabi Adam AS adalah peletak dasar ilmu pengetahuan manusia, namun penentuan waktu hidupnya amat sulit ditelusuri.

Baca juga: Khutbah Jum’at Bulan Ini

Periodesasi Filsafat dan Ilmu

Periodisasi sejarah keilmuan telah dibuat beberapa ilmuan dengan mengambil bahan peninggalan sejarah yang ada. Di antara periodisasi filsafat dan ilmu yang ada ialah apa yang dinyatakan L.W.H Hull (1950) dalam bukunya “History and Philosophy of Science”.

1. Periode FIlsafat Yunani (Abad 6 SM- 0M)

Sumber slidesharecdn.com

Dalam periode ini tercatat, antara lain: Thales seorang ahli filsafat, astronomi dan geometrika. Ia menggunakan pendekatan deduktif. Phytagoras menggunakan pendekatan mistis dan matematis dalam geometrika dan aritmatika. Aristoteles sebagai tokoh filsafat dan ilmu empiris, menggunakan pendekatan induktif, dan Plato, sebagai ahli filsafat dan ilmu rasional, menggunakan pendekatan deduktif.

2. Periode Kelahiran Nabi Isa AS (Abad 0-6M)

Pada abad-abad ini terjadi pertarungan sengit antara Kristen dan FIlsafat. Ilmu pengetahuan menjadi beku dan mundur secara drastis karena Raja Roma menekan kebebasan berfikir. Raja dan gereja adalah pemegang otoritas kebenaran dan membekuk ilmu

3. Periode Kebangkitan Islam (Abad 6-13 M)

Periode Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Islam
Sumber: https://www.skylife.com/

Periode ini dikenal pula sebagai Abad Kegelapan Kristen Eropa atau Abad Pertengahan. Setelah masa kenabian Muhammad SAW. Bermunculan para ahli Muslim dalam bidang filsafat dan ilmu, dengan buku-buku monumental mereka.

Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i sebagai ahli-ahli hukum; al-Kindi ahli filsafat; al-farabi, ahli astronomi, dan matematika; al Khawarizmi penemu aljabar (algoritma) Ibnu Sina penulis The Canon of Medicine; Anzahel, ahli dan penemu peredaran platen.

Al Ghazaly merupakan puncak sintesis antara iman, intelektual atau filsafat empirik, mistik atau sufisme, dalam buku momentalnya “Ihya Ulumuddin”. Ibnu Rusy ahli filsafat dan fisika, kedokteran dan hukum dengan pendekatn empiris.

Dan Ibnu Khaldun ahli filsafat sejarah, sosiologi, politik, ekonomi, sosial dan kenegaraan. Sampai terjadi perang Salib yang mengakibatkan kekalahan ummat Islam, merajalelanya penjajahan oleh bangsa Eropa atas bangsa-bangsa dan negara-negara lain, terjadilah kemunduran ummat Islam.

Contoh lain kebangkitan sains adalah dengan jam istiwa’. Sejarah Jam istiwa’ dalam islam merupakan salah satu bukti kemajuan dalam bidang iptek.

4. Periode Kebangkitan Eropa (Abad 14-20 M)

Penerjemahan Buku The Canon Medicine Avicena di Eropa
Sumber: shopify.com

Abad ini dikenal pula sebagai abad kehancuran Kristen, atau Abad Kemunduran Islam, atau Abad Pemikiran. Filsfat Yunani andalan empirisme Aristoteles, dan andalan rasionalisme Plato, bangkit kembali mewarnai peradaban eropa dan dunia dewasa ini.

Muncullah Gerard van Cremona yang menyalin buku Ibnu Sina, The Canon Medicine; Fransiscan Roger Bacon, yang menganut filsafat realisme empirisme, dan penentang otoritas gereja dan penguasa; Copernicus dan Galileo menjadi tumbal ilmunya sendiri, sampai menyebabkan pecahnya kristen menjadi Protestan dan Katolik.

Revolusi ilmu pengetahuan berlangsung terus melalui dua jalu; Revolusi Keteknikan dan Revolusi Intelektual. Tokoh-tokoh berikutnya adalah Newton dengan Teori Gravitasi; John Locke yang menumbuhkan hak-hak asasi, hak hidup, hak merdeka, hak berfikir, hak berbicara dan menentang kekuasaan gereja Rousseau, dalam bukunya, (Social Contract, mengecam pedas raja-raja Barat penginjak hak-hak asasi manusia, sebagai revolusi sosial menentang gereja, sehingga akhirnya ortodoksi gereja dikalahkan oleh kemerdekaan berfikir atau ilmu.

Emmanuel Kant, ahli filsafat yang mewarnai proses ilmu, pemikiran skeptis, dan filsafat materialisme makin galak menyerang Kristen Darwin ahli teori evolusi, tak percaya lagi kepada Injil. Ia hanya percaya kepada hukum-hukum alam. Lalu ia menjadi atheis sebagaimana Huxley dan Haeckel. Gerakan anti agama terus berjalan sampai munculnya Karl Marx dan Frederich Engles (keduanya penganut filsafat dialektika materialisme sebagaimana tampak dalam bukunya Manifesto Komunis).

Dominasi filsafat materialisme melahirkan madzhab liberalisme dan komunisme/sosialisme ilmiah. Sementara ilmu-ilmu terbagi menurut pola berfikir yang berbeda; empirisme (kesan panca indera), rasinalisme (dengan akal), realisme (sesuai dengan kenyataan, atau obyektif), dan idealisme (ilmu tak mungkin sesuai denga nkenyataan, atau subyektif), serta kombinasi-kombinasinya.

Periode filsafat Yunani Kedua ini terus berkembang dan filsafat empiris Aristoteles, filsafat rasionalis Plato ke teori relativitas Einstein dan prinsip ketidakpastian Heisenberg, yang semuanya merupakan filsafat materialisme. Akhirnya, sejarah memasuki tahap kesadaran baru; keterbatasan akal, krisis teori dan krisis-krisis kehidupan, taqlid dan kejumudan ilmuan yang tak mau membaca dan mencari konsep alternatif dari ilmu.

Sementara periode ini berjalan, Muhammad bin Abdul Wahab menyeru dunia untuk kembali kepada Al Qur’an dan Hadits, untuk mengatasi krisis peradaban yang disebabkan oleh konsep ilmu yang menyimpang. Dan muhammad bin Abduh menyerukan penggalakan kekuatan berfikir (ijtihad) dan pengikisan taqlid (jumud) untuk menemukan cahaya dan kekuatan ilmu dari sumber Islam.

Sampai kita menemukan beberapa nama mutakhir seperti; E.F. Schumacher (technology with humanface), Eugene Lovell (Humanomics), Abdus Salam (Sains dan Dunia Islam, pemenang hadiah Nobel Fisika 1979), yang dengan rendah hati mengungkapkan bahwa ilmu ternyata tidak harus bebas nilai.

Kesadaran akan keterbatasan akal dan FIlsafat

Dalam periode ini, kesadaran tentang keterbatasan akal dan filsafat materialisme, yang menghasilkan ilmu yang gersang, merupakan landasan kuat bagi perlunya filsafat Islami tentang ditumbuhkannya ilmu ini, sebagai alternatif dari filsafat-filsafat ilmu ini, sebagai alternatif dari filsafat-filsafat ilmu yang ada yang umumnya sekuler.

Dapat kita catat, bahwa beberapa ilmuwan telah mulai merintis pemikiran filsafat islami tentang ilmu, misalnya Sayyid Hossein Nasr (filsafat Islam tentang ilmu-ilmu kealaaman), Ismail R. Faruqi (filsafat Islami tentang ilmu-ilmu sosial) dan Naquib al Attas (filsafat Islami tentang ilmu-ilmu humaniora)4)

Sejarah telah memberitahu kita bahwa dalam kenyataannya manusia tidak senantiasa searah dalam penggunaan akalnya, terutama dalam aspek yang disebut al Ghazaly sebagai aspek ketiga dan keempat dari hakikat akal. Periode Kebangkitan Eropa yang berlaku sampai abad ini memperlihatkan kekayaan yang amat besar dari penggunaan aspek ketiga, namun sangat miskin dalam penggunaan aspek keempat.

Apalagi jika diteropong melalui nilai-nilai keIslaman, sebagaimana yang telah berlaku pada periode sebelumnya. Masa ini adalah masa suburnya apa yang disebut sekularisasi pemikiran yang pada saatnya kini menimbulkan berbagai macam problema kehidupan.

Baca juga: Khutbah Jum’at Generasi Muda

Krisis pemikiran

sumber wikimedia.org

Krisis pemikiran yang berjangkit periode kebangkitan Eropa bermula dari krisis yang terjadi antara ilmuwan dan gereja. “Dalam Zaman Tengah lapangannya (akal) yang terbesar penuh dengan kepercayaan-kepercayaan yang dituntu oleh yang dipercayai supaya dipaksakan sebagai hal yang benar, dan akal seolah-olah ditiadakan.

Tetapi akal tidak dapat mengakui larangan-larangan atau rintangan-rintangan yang kebetulan, dengan tidak berbohong terhadap diri sendiri. Dunia pengalaman adalah daerah akal dan karena bagian-bagiannya bersatu padu dengan yang lain dan saling pengaruh mempengaruhi maka tidak mungkin baginya untuk mengaui setiap daerah dimana ia tidak boleh masuk, atau menyerahkan salah satu daripada haknya kepada yang layak dipercayai yang surat-surat kepercayaannya tidak pernah diselidiki atau disetujui.

Tuntutan akal yang penuh atas hak-haknya yang mutlak atas seluruh daerah pikiran disebut rasionalisme, dan sedikit cacat yang masih melekat pada perkataan itu mencerminkan hebat serta pahitnya perjuangan melawannya. Istilah ini dibatasi kepada lapangan ilmu agama (teologi), karena justru dalam lapangan itulah tuntunan supaya akal dihargai ditentang dengan sangat hebat dan tabah.

Demikian pula kemerdekaan berfikir, penolakan fikiran untuk diawas-awasi oleh kekuasaan manapun kecuali dia sendiri, mempunyai arti keagamaan tertentu. Di dalam seluruh pertikaian tersebut, kepercayaan selalu mempunyai keuntungan yang besar.5)

Keraguan kepada kebenaran agama karena adanya doktrin-doktrin agama yang bertentangan dengan hasil kajian ilmu pengetahuan merasuki pemikiran ilmuwan Eropa pada saat itu. Mereka menyatakan: “Kita dapat menyangkal, bahwa kepercayaan mempunyai daerah yang sah, yang berupa ajaran-ajaran yang berada di luar pengalaman manusia dan karena itu tidak dapat dibuktikan atau diuji, tetapi dalam pada itu juga tak dapat dibuktikan bahwa ia tidak benar.

Tentu saja dapat ditemukan beberapa pendapat yang tiada dapat dibuktikan ketidakbenarannya dan terserah kepada orang yang mempunyai kepercayaan yang berlebihan-lebihan untuk mempercayainya; tetapi seorang pun tidak akan mempertahankan, bahwa semua itu selayaknya harus dipercayai selama kepalsuannya belum dibuktikan.

Dan jika hanya beberapa orang saja yang layak dipercayai, siapakah selain daripada akal yang akan menentukan mana yang dapat dipercayai? Jika jawabannya berbunyi, kepercayaan, maka kita menghadapi kesulitan bahwa banyak kepercayaan-kepercayaan agama yang didukung oleh kepercayaan pada akhirnya telah dibantah kebenarannya dan umumnya dilepaskan.

Sekalipun demikian beberapa orang berkata seolah-olah kita tiada berhak melemparkan sesuatu ajaran keagamaan sebelum kita dapat membuktikan kepalsuannya. Tetapi kewajiban membuktikannya tidak terletak pada orang yang menolaknya.6)

Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan ilmuwan Yunani Kuno memberi semangat yang demikian khusus bagi ilmuwan Renaissance Eropa untuk menentang agama. “Jika kita diminta untuk menyebut dengan teliti atas jasa-jasa apakah peradaban harus berterimakasih kepada bangsa Yunani, maka denga nsendirinya kita akan menyebut pada pertama kalinya hasil-hasil gemilang yang diperoleh mereka di lapangan kesusastraan dan kesenian.

Tetapi jawaban yang lebih benar adalah barangkali bahwa kita sangat berterimakasih kepada mereka sebagai pelopor berfikir dan berbicara. Sebab kemerdekaan jiwa ini bukan hanya syarat buat renungan mereka dalam filsafat, buat kemajuan mereka dalam ilmu, buat percobaan-percobaan mereka dalam lembaga-lembaga politik; ia adalah juga suatu syarat untuk keunggulan mereka di lapangan kesusastraan dan kesenian.

Untung sekali bangsa Yunani tidak mempunyai kitab Injil, dan kenyataan ini adalah cerminan serta syarat yang penting daripada kemerdekaan mereka. Syair-syair Homerus merupakan syair keduniaan, dan tidak merupakan syair-syair keagamaan dan dapat diterangkan pula, bahwa syair-syair tersebut lebih bebas dengan kesusilaan dan kebiadaban daripada buku-buku suci maupun yang dapat orang sebut. Pengaruhnya besra sekali; tetapi tidak mengikat seperti pengaruh sesuatu buku suci, dan dengan demikian kecaman terhadap Homerus tidak pernah dihalang-halangi seperti kecaman terhadap Injil.7)

Pertentangan yang sengit antara gereja dan ilmuwan dapat dilihat dalam kisah Galileo. Setelah penyelidikannya dengan menggunakan teleskop berhasil menemukan berbagai bulan mengelilingi Jupiter, Galileo sampai pada kesimpulan membenarkan teori Copernicus yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya.

Pendapat ini sangat ditentang gereja yang menganggap bumi adalah pusat tata surya sebagaimana pendapat Ptolomeus. Setelah mengalami berbagai macam tekanan gereja, akhirnya Galileo membatalkan dukungannya terhadap Copernicus. Pada bulan-bulan yang penghabisan dalam hidupnya ia menulis kepada seorang temannya sebagai berikut: “Kepalsuan sistem Copernicus tak dapat disangsikan lagi, terutama oleh kita kaum Katolik.

Sistem itu dibatalkan oleh kekuasaan Kitab Suci yang tidak dapat dibantah. Buah pikiran Copernicus dan pengikut-pengikutnya semuanya batal karena satu-satunya alasan yang kuat: Kekuasaan Allah yang tiada berhingga dapat berlaku dengan berbacam macam cara. Jika pada penglihatan kita sesuatu nampak terjadi dengan satu cara yang tertentu, kita jangan mengurangi kekuasaan Allah dan berkeras pada sesuatu pendapat, di mana kita mungkin keliru.8)

Setelah menguraikan berbagai macam penemuan abad pertengahan dan modern yang dikonfrontir langsung dengan pendapat gereja, Bury menulis: … kita telah memperbincangkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan kritik, yang menyebabkan agam-agama ortodok tidak dapat dipertahankan lagi.9)

Dalam syair yang berjudul The Hymn of Man (nyanyian pujaan terhadap manusia) yang terbit pada tahun 1871, Swinburne menulis:

“Atas namamu yang tertulis dalam api neraka, dan dibakar pada ujung pedangmu, Kau tercampak, oh Tuhan, kau terlempar, kematianmu sudah tiba, oh Tuhan.

Dan berkumandanglah nyanyian gembira dari dunia dibawa oleh angin dari segala penjuru waktu kau menghembuskan nafas penghabisan.

Segala puja kepada manusia! Sebab manusialah yang menguasai semuanya.”

Syair itu adalah suatu nyanyian kemenangan melawan TUhan dari kaum pendeta, diilhami oleh keruntuhan kekuasaan keduniaan dari Paus.10)

Renaissance (kebangkitan) sebenarnya adalah suatu pukulan yang hebat terhadap agama Kristen. Dan selama agama Kristen memegang kekuasaan politik ia memberikan reaksi keras dengan segala kekuasaan yang ada padanya. Konsekuensi akhir dari semuanya ini adalah pemimpin-pemimpin abad Kebangkitan menjadi musuh sejati gereja kristen. Permusuhan terhadap gereja ini menjelma menjadi permusuhan terhadap agama kristen, dan mencapai puncaknya dengan membenci serta mengingkari terhadap semua agama dan akhirnya terhadap Tuhan sendiri.11)

Sekularisme tumbuh subur di Eropa dan pada saatnya menjalar ke berbagai negeri Muslim yang terjajah mereka selama berabad-abad di Asia dan Afrika. Bila kita mempelajari konsep sekularisme, kita menemukan dua pola pemikiran yang hampir sama, yaitu: (1) satu masyarakat boleh memiliki kepercayaan kepada Tuhan agama, tetapi ia harus memisahkan urusan keduniaan dari agama; (2) suatu bangsa tidak boleh percaya sama sekali kepada Tuhan dan agama. Dan sebagai akibatnya pandangan mereka terhadap semua persoalan sepenuhnya mereka terhadap semua persoalan sepenuhnya terlepasnya dari Tuhan dan materialistis.12)

Sekularisme telah menghidupkan suatu model kebudayaan yang khas. Christopher Lasch menganggap kebudayaan Barat secara esensial adalah suatu manifestasi individualisme dalam bentuknya yang sempurna. Dengan segala fasilitas fungsional yang memungkinkan kebudayaan Barat telah memberikan kesempatan kepada manusia barat modern untuk mencari harapan dan kedamaian.

Tapi pada akhirnya mereka gagal. Kebudayaan Barat adalah suatu pandangan hidup yang telah mati. Di atas abu kebudayaan yang telah mati ini, suatu kebudayaan baru telah muncul. Sedangkan hall menyatakan bahwa dalam kebudayaan Barat manusia telah menjadi korban proyeksi dan eksistensi yang dimilikinya.

Kebudayaan baginya adalah pemindahan eksistensi. Kebudayaan Barat telah mengembangkan suatu perluasan di sekeliling manusia modern sampai pada suatu tingkat di mana dia menemukan dirinya tidak mampu mengontrol raksasa yang dia ciptakan sendiri.13)

Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
sumber time.com

Karakteristik Kebudayaan Barat:

Maryam Jamilah menilai karakteristik kebudayaan Barat adalah:

  1. Pengingkaran terhadap hari kemudian;
  2. Penghambaan diri kepada manusia;
  3. Pembangkangan terhadap nilai-nilai ketuhanan;
  4. Memperlemah keluarga;
  5. Hubungan kelamin yang tidak sah;
  6. Kurangnya penghargaan terhadap orang tua dan
  7. Tiadanya pandangan hidup yang komprehensif14 )

Desekularisasi Pendidikan dan IPTEK

Usaha untuk mengembalikan peran ajaran Islam dalam mengatur berbagai bidang kehidupan bermula dari sistem pendidikan. Sistem pendidikan melalui berbagai perangkat lembaganya amat berperan dalam proses transformasi nilai dalam masyrakat. Penjajahan barat atas negara-negara Muslim menimbulkan beberapa masalah pendidikan yang sampai saat ini masih dirasakan, yakni:

  1. Ambivalensi Orientasi Pendidikan

Ke arah manakah pendidikan hendak ditujukan? Sementara ini dengan sistem pendidikan pesantren, masih dirasakan adanya semacam kekurangan dalam program pendidikan yang diterapkan. Dalam hal muamalah yang mencakup penguasaan berbagai disiplin ilmu dan ketrampilan, terdapat anggapan bahwa seolah-olah merupakan garapan sekuler.

  1. Kesenjangan antara Sistem Pendidikan dan Ajaran Islam

Sistem pendidikan yang masih bersifat ambivalen mencerminkan pandangan dikhotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama dari ilmu-ilmu dunia.

  1. Integrasi Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan Nasional

Keinginan untuk menyatukan penanganan dalam satu sistem pendidikan secara nasional, betapapun baik dan wajarnya keinginan tersebut, seringkali masih merupakan kerumitan tersendiri. Permasalahan terletak dalam kekhawatiran akan jaminan penanganan yang sungguh-sungguh dan fungsional, jika pendidikan agama tersebut tidak ditangani oleh pihak kaum agama sendiri.

  1. Usaha penyempurnaan pendidikan islam

Usaha untuk menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan Islam selalu menggunakan sistem pendidikan barat sebagai tolok ukur kemajuan. Dalam kenyataannya, cara pandang semacam ini senantiasa memunculkan pendekatan dengan suatu hypotesis defisit, seolah-olah sistem pendidikan Islam itu selalu dalam keadaan terbelakang.

  1. Desentegrasi Pendidikan Islam

Sampai saat ini boleh dikatakan bahwa dalam pendidikan Islam, yang dilaksanakan baik secara vertikal maupun horisontal, tidak atau kurang terjadi perpaduan. Kenyataan ini diperburuk oleh ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama sendiri, dan kesenjangan antara wawasan guru-guru agama dan kebutuhan anak didik dalam sekolah-sekolah umum.15)

Strategi pembangunan ummat mengambil kampus sebagai pusat kegiatan. Berdasarkan pengamatan, di dalam masyarakat dewasa ini sedang bekerja lima macam kekuatan besar yang berbeda, yang akan mengarah kepada perubahan besar model kampus di hampir seluruh negara di dunia ini. Lima macam kekuatan itu adalah 16:

  1. Masyarakat tengah berproses dalam peninjauan kembali terhadap nilai-nilai dan gaya hidup. Nilai dan sikap baru akan mengganti nilai dan sikap lama, pandangan-pandangan yang berubah sejak periode Yunani Kuno, Zaman Keemasan Islam, sampai periode modern ini. Dalam hal ini, kampus akan sangat bereaksi, bereaksi, serta bersintesis dengan masyarakat, sebagaimana ditunjukkan pada Kampus Yunani Kuno, kampus Islam dan Kampus Modern, yang memiliki karakter dan penampilan berlainan.
  2. Revolusi harapan yang meningkat terhadap kesempatan memperoleh pendidikan tinggi dan kesempatan kerja, tengah mencapai klimaksnya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perubahan kampus yang beranjak dari status elitis atau menara gading, ke massa. Kini bahkan sedang bergerak ke arah model kampus yang lebih universal, yaitu kampus yang memiliki karakter dan penampilan yang sesuai dengan keperluan dan tujuan hidup manusia.
  3. Arah arus perkembangan IPTEK sedang berubah, lebih tertuju kepada tingkah masyarakat, yaitu IPTEK yang berorientasi kepada nilai-nilai, dan menyatu dengan sumber-sumber daya insani dan alami; suatu IPTEK yang lebih asasi untuk jalannya sejarah kehidupan manusia, peristiwa kemasyarakatan dan perseorangan. Kampus adalah titik pusat produksi dan pengembangan IPTEK atau pusat kebudayaan.
  4. PErubahan sikap dan penampilan vicitas academica semakin deras. Banyak di antara mereka berasal dari lingkungan yang lebih longgar, atau laisser faere, dibandingkan dengan masa lalu; kurang bersedia disosialisasikan kepada pola/nilai-nilai yang ditetapkan kampus atau masyarakat. Dan kampus merupakan bagian penting kehidupannya dalam pengambilan keputusan dan menetapkan arah hari esoknya. Kampus menjadi ajang pertumbuhan manusia dewasa.
  5. Gerakan sosial yang halus dari para cendikiawan dan ahli pikir kampus melawan status quo-isme masyarakat dan IPTEK. Kampus menjadi arena baru bagi pakar, ilmuwan atau sarjana dalam merumuskan arah dan laju perubahan sosial yang komprehensif dan ditopang oleh kemajuan IPTEK.

Kampus adalah pusat kultur dan sarana pembinaan kepemimpinan sosial di masa depan. Khususnya dalam rangka pengembangan etika sosial yang mantap dan pada dasarnya merupakan sarana pelaksana fungsi-fungsi pendidikan tertentu bagi masyarakat, untuk meletakkan dasar-dasar tanggungjawab sosialnya.

Proses yang mengarah kepada pembentukan kualitas pribadi dan sekaligus sikap sosial ini, mengandung faktor-faktor determinan. Faktor-faktor penentu itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling mengait, dengan titik ujung tibulnya perubahan sikap mental dan prilaku masyarakat sebagai suatu proses transformasi sosial yang dihasilkan oleh kampus semisal tumbuhnya disiplin, dedikasi, ketekunan, produktivitas, hemat dan berorientasi ke masa depan, sikap bertanggungjawab terhadap diri sendiri, Allah, dan alam sekitar.17)

Potensi dan wewenang yang terdapat dalam kampus memungkinkan dicetuskannya gagasan Ismail R. al-Faruqi tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dikumandangkan beberapa tahun yang lalu.

Ilmu dalam islam berdasarkan intelek, yang mengarahkan rasio untuk membentuk ilmu yang bertopang pada kesadaran dan keimanan terhadap kekuasaan Allah. Inilah ilmu yang menjadi petunjuk (hidayah) dari kegelapan menuju terang (nur). Dan nur itu berasal dari Allah. Indera mata, tanpa nur tak akan dapat melihat, memperhatikan atau pun mengukur fenomena. Bila kita menginginkan hidup akhirat yang baik, sebagai hasil baik kehidupan di dunia, maka tujuan yang baik harus dicapai dengan sarana yang baik pula.18)

KONSEP IPTEK ISLAMI

Konsep IPTEK yang Islami, mempunyai tiga karakter pokok19, yakni:

  1. Sains harus berorientasi kepada dasar nilai-nilai. Di balik sains, mengenai wawasan dunia yang nyata yang selalu berubah, harus ada kebenaran nilai-nilai terluhur yang merupakan dasar pembahasan sains. Nilai-nilai ini dapat ditemukan melalui metode ilmiah ataupun metode profetik, yang dihubungkan dengan konsep segitita piramida: Allah – Manusia – Alam. Yang demikian adalah visi utama IPTEK dari manusia yang berperadaban tinggi, yaitu IPTEK yang dapat dijelaskan dengan metode ilmiah atau fakultas fikir dan metode profetik atau fakultas dzikir.
  2. Dengan IPTEK Islami ini, kampus akan memiliki tujuan penemuan dan pengukuhan paradigma dan premis intelektual yang berorientasi kepada nilai, dan membaktikan dirinya kepada pembaruan dan pembangunan masyarakat, yang bergerak ke depan melalui penemuan ilmiah, yang akan dapat menunjang terwujudnya cetak biru masa depan ummat manusia.
  3. IPTEK Islami, yang berdomisili di dalam maupun di luar kampus harus berguna bagi tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kebenaran, dan berada dalam posisi fungsi terdepan untuk menunjang perubahan dan pembangunan serta membantu memperbaiki dunia.

Dalam kaitannya dengan aspek aksiologis, yakni teknologi, Islam juga mengambil perannya yang khusus. Teknologi mengandung arti cara dan masukan yang dipergunakan dalam usaha produksi. Kegiatan tafakkur yang menghasilkan rumusan-rumusan IPTEK dimanfaatkan sepenuhnya oleh manusia untuk memenuhu berbagai hajatnya. Desakan kebutuhan membuat manusia selalu berikhtiar untuk terus memajukan teknologi.

Pengembangan itu dilakukan lewat berbagai jalan, di antaranya dengan pengembangan IPTEK dan pengembangan cara dan masukan. Pengembangan cra dan masukan meliputi peningkatan kualitas, seleksi jenis, penyediaan masukan pelengkap, dan peningkatan mutu tata laksana. Tata laksana berperan dalam usaha pengaturan dan pelaksanaan proses produksi, sehingga produktifitas dapat meningkat dengan nilai ganti seefisien mungkin. Selain pada penetapan paradigma dan model IPTEK, Islam mengatur tata laksana dan cara masukan teknologi.

Pencarian masukan (input) kadang-kadang tiada mengindahkan martabat dan hak asasi manusia, sebagaimana yang dilakukan Barat pada waktu-waktu yang lalu bahkan sampai saat ini terhadap bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Suatu persoalan besar bagi martabat kemanusiaan, dalam memenuhi kebutuhan teknologi akan tata laksana adaalh bagaimana memadukan kemampuan mekanik manusia untuk menciptakan komponen tata laksana dengan pemeliharaan nilai-nilai fitriahnya sendiri. Robot, misalnya tidak boleh dipandang dari sisi tertentu saja, yakni sebagai manusia yang paling jujur, efisien serta berdedikasi super tinggi, tanpa memperhatikan pengaruhnya pada lingkungan sosial masyarakat.20

Dalam mengelola sumber daya alam, manusia harus memperhatikan beberapa hal; memberi tempat yang wajar kepada makhluk lainnya dan juga sesama manusia di bumi ini (QS. 17:20), tidak berlebih-lebihan atau rakus (QS 7:31), memelihara keseimbangan takaran yang telah ditentukan Allah (QS. 15:19), menggunakan akal (yang menghasilkan ilmu untuk manfaat) dan rasa (yang mencerminkan keindahan) yang bertujuan membawa manusia kepada tauhid sebagai prinsip asas Islam (QS. 87:1-2) dan diiringi rasa syukur (QS. 42:33)21

Proses Islamisasi di tengah-tengah sistem sekuler haruslah bersifat pelarutan bukan percampuran. Dengan menimba unsur-unsur yang positif dari peradaban Barat, hasil perpaduannya dengan unsur Islam akan berbeda secara substanstif maupun formatif dengan unsur pembentuknya semula.22

Unsur ini diupayakan sedemikian rupa sehingga tidak menyalahi suatu prinsip, yang disebut al-Faruqi sebagai kesatuan Kebenaran dan kesatuan Pengetahuan, yang memiliki tiga pokok, yaitu:

  1. Kesatuan kebenaran merumuskan bahwa, berdasarkan wahyu kita tidak boleh membuat klaim yang bertentangan dengan realitas. Pernyataan-pernyataan yang diajarkan wahyu tentulah benar, pernyataan-pernyataan itu harus berhubungan dan sesuai dengan realitas. Jika terjadi kelainan dengan realitas, maka oleh doktrin kesatuan kebenaran, seorang Muslim diperingatkan untuk menimbang kembali pemahamannya terhadap wahyu. Doktrin ini menjaganya agar tidak terburu-buru membuat penafsiran yang allegoris, atau memasukkan penafsiran-penafsiran makna esoteris berdasarkan otoritas pribadi seseorang.
  2. Kesatuan kebenaran yang merumuskan bahwa tidak ada kontradiksi, perbedaan atau variasi atau varisi di antara nalar dan wahyu, merupakan prinsip yang bersifat mutlak. Di dalam menyelidik alam dan usaha menemukan pola-pola hukum dari sang Pencipta di alam semesta sudah tentu kita mungkin saja membuat kesalahan-kesalahan, berilusi dan mengira bahwa kita telah memahami kebenaran, sedang sebenarnya kita salah. Keadaan seperti ini akan menciptakan ketidaksesuaian antara wahyu dan nalar. Dalam hal ini pengamat harus menimbang dan menyelidiki kembali data. Sebab ketidaksesuaian ini mungkin karena penemuan-penemuan sains atau nalar, di dalam hal ini masalahnya dapat dipecahkan dengan mengembalikan si pengamat data untuk diperiksanya kembali. Dan ketidaksesuaian ini barangkali juga karena pemahaman si pengamat terhadap wahyu, di dalam hal ini pun masalahnya dapat dipecahkan dengan menyuruh si pengamat kembali memeriksa data.
  3. Identitas hukum-hukum alam dengan pola-pola dari Sang Pencipta merumuskan bahwa tak ada pengamatan/penyelidikan ke dalam hakekat alam semesta dan setiap bagiannya dapat berakhir atau dapat dipecahkan. Pola-pola dari Tuhan adalah tidak berhingga. Oleh karena itu, sikap terbuka kepada bukti yang baru dan usaha pencarian yang terus menerus merupakan ciri-ciri yang diperlukan oleh alam pikiran Islam untuk menerima kesatuan kebenaran. Suatu sikap yang kritis terhadap semua klaim-klaim manusia, dan pencarian aktif terhadap hukum-hukum alam yang tak pernah berakhir, dalam waktu yang bersamaan merupakan syarat-syarat yang diperlukan Islamisitas dan sains yang sejati. Dengan pandangan yang seperti ini, kesimpulan yang terkuat selalu bersifat sementara, hanya sah (berlaku) sebelum bukti-bukti baru meragukan, menyangkal atau membenarkannya.23

Peran Imperatif Ilmu dan Ilmuwan

Prinsip diatas mensyaratkan seorang ilmuan Muslim sejati mesti menguasai aspek-aspek keilmuan setara integratif. Dengan adanya penyatuan ilmu dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan ambivalensi maupun desintegrasi akan dapat dicarikan jalan keluarnya. Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikhotomis, tetapi akan dibedakan (bukan dipisahkan) menjadi ilmu-ilmu yang menyangkut ayat-ayat tanziliyah (ayat-ayat yang tersurat dalam Al Qur’an) dan ilmu tentang ayat-ayat kauniyah (ilmu kealaman). di samping itu akan pula dibedakan antara ilmu-ilmu yang pada dasarnya menjadi fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu yang fardhu kifayah.24

Dalam Ihya, al-Ghazaly menyatakan bahwa pengetahuan yang fardhu ‘ain adalah ilmu tentang amal perbuatan yang wajib, baik wajib dikerjakan maupun ditinggalkan. Kewajiban mengetahui suatu ilmu, menurut al-Ghazaly, berkembang menuruti perkembangan usia dan keadaan-keadaan yang menyertai seseorang. Misalnya, fiqih tentang riba versus jual beli dan bagi hasil wajib dipelajari para pedagang.25

Dengan demikian ilmu yang fardhu ‘ain bagi seorang yang akan menekuni proses Islamisasi IPTEK, mencakup penguasaan sepenuhnya atas ilmu Qur’an (tafsir, asbabun nuzul, balaghah dsb) selain dari disiplin ilmu yang digelutinya sendiri.

Desekularisasi pendidikan IPTEK bertujuan untuk mewujudkan suatu cara berfikir ummat yang integratif. Paradigma dan epistemologi kehidupan harus bermuara kepada al-Qur’an sebagai sumber kebenaran yang sah. Paradigma dan epistamologi yang dimaksud adalah keesaan Allah, Kesatuan Alam Semesta, Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Pengetahuan, KEsatuan Hidup dan kesatuan ummat Manusia.26

Dengan demikian diharapkan tumbuh suatu masyarakat yang meletakkan dasar-dasar tauhid bagi kehidupan mereka, yang menolak segenap sistem perhambaan kecuali perhambaan kepada Allah saja. Dan dari pokok itulah mengalir hak-hak dasar manusia; kemerdekaan dan hak hidup. Pelembagaan sikap menuju masyarakat baru yang unggul tersebut dibina atas prinsip persiapan yang matang, penempaan jiwa yang tegas, dan pembinaan atas penerapan lembaga-lembaga sikap dan tindak secara sistematik dan terus-menerus27

Ditulis oleh Ahmad Muflih Saefuddin dalam majalah Al Muslimun Nomor 325 Tahun XXVIII (44) Dzulqo’dah/Dhulhijjah 1417 H / April 1997

Referensi Penulisan

1 Al Ghazaly, Ihya Ulumuddin (Terjemahan) Jilid 1, CV Faizan Jakarta, Hal. 306

2 Ibid, Hal. 312-315

3 Ibid, hal 102

4 AM. Saefuddin et. al, Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi, Mizan Bandung, 1987, hal. 25-28

5 JB. Bury, Sejarah Kemerdekaan Berfikir (terjemahan), PT. Pembangunan Jakarta Hal. 11-12)

6 Ibid, hal. 13

7 Ibid, hal. 17

8 Ibid, hal. 79-80

9 Ibid, hal. 208

10 Ibid, hal. 194-195

11 Fazlur Rahman Anshari, Islam dan Peradaban Barat, Risalah Bandung, hal. 5

12 Ibid, hal. 7

13 Anis Ahmad, Kebudayaan Barat dan Alternatif Islam, dalam: Islam dan peradaban Barat, Risalah Bandung, hal. 25

14 Maryam Jamilah, FIlsafat Modern: Ciri dan eksesnya, dalam; Islam dan Peradaban Barat, Risalah Bandung. Hal. 32-41

15 AM. Saefuddin. et.al, Desekularisasi Pemikiran, hal 32-41

16 Ibid, hal. 57-58

17 Ibid, hal. 74-75

18 Ibid, hal. 35-36

19 Ibid, hal. 60-61

20 Ibid, hal. 203-205

21 Ibid, hal 148-150

22 Ibid, hal. 114

23 Ismail raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan (terjemahan), Salman Bandung, hal. 66-72

24 AM. Saefuddin. et. Al, Desekularisasi, hal. 118

25 Al-Ghazaly, Ihya, hal. 78-82

26 AM. Saefuddin. et. al, Desekularisasi, hal. 84-89

27 Ibid, hal. 197

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Comment