Memotret Tantangan Pers Islam

Sulit dipungkiri bahwa dunia saat ini tengah dilanda perkembangan dan kemajuan pesat di bidang teknologi dan informasi. Dari fenomena ini tak heran bila muncul opini publik yang menegaskan bahwa siapa yang menguasai informasi, dialah yang akan menguasai masa depan.

Barangkali ini merupakan isyarat yang mesti dijadikan titik pijak bahwa informasi dalam era sekarang amatlah penting.

Memperbincangkan era informasi dan keberadaannya juga tidak terkecuali tantangannya, merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Tentu bukan tanpa alasan bila masalah ini dipandang mutlak.

Pertama, berkait dengan peran dan kontribusi pers Islam dalam mewarnai era informasi masih dapat digolongkan minim, dan nyari tak berpengaruh.

Tak heran bila kenyataan ini berimplikasi buruk terhadap citra Islam dan ummatnya di muka bumi ini. Kondisi dapat kita ketahui bagaimana getolnya pers Barat menyudutkan Islam dan ummatnya ke posisi yang sangat tidak menguntungkan.

Sebutan “Islam militan”, “Islam Fundamentalis”, dan setumpuk gelar yang berkonotasi buruk lainnya masih mewarnai pers-pers Barat. Ironisnya, banyak ummat Islam yang terjebak dan terjerat oleh julukan yang dituduhkan Barat itu.

Kedua, berkait dengan peran besar yang mesti dimainkan pers Islam, yakni mengajak kepada kebajikan, mencegah kepada kemungkaran, dan menyeru kepada keimanan kepada Allah.

Peran besar ini sebenarnya merupakan tanggungjawab pers Islam yang mesti diemban. Tanpa peran ini mampu direfleksikan oleh pers Islam, maka dalam era informasi bukanlah hal mustahil ummat Islam akan terjajah, baik secara ideologi, politik, maupun kultural.

Ini penting dilakukan pers Islam, mengingat bahwa dalam dunia eprs dikenal apa yang disebut dengan istilah crusade yakni pers yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu. Pers Barat, misalnya memperjuangkan nilai-nilai kapitalisme; pun demikian pers-pers lainnya yang mengemban misi “ajaran” tertentu.

Di sinilah pers Islam tertantang bukan hanya untuk menjaga citra islam yang positif dan mulia, tetapi juga mengarahkan ummat manusia ke dalam kebenaran.

Dalam konteks ini, tak mengherankan bila kemudian Jalaluddin Rahmat (1989), memandang bahwa para jurnalis Islam adalah sebagai mujahid. Ia (baca: jurnalis Islam) adalah pejuang yang berusaha keras mendorong perkembangan Islam, menghidupkan citra Islam dan ummat Islam yang positif, menggairahkan pengamalan Islam di tengah-tengah masyarakat, memasukkan ruh jihad pada tubuh ummat yang mati atau hampir mati.

Tantangan Eksternal Pers Islam

Tantangan Internal Pers Islam
Sumber: https://apiideologi.files.wordpress.co

Tiupan badai revolusi informasi yang terkandung dalam prediksi Alvin Toffler (The Third Wave, 1980) memang tampak tengah menggetarkan sendi-sendi kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Goncangannya pun semakin terasa di semua negara yang sedang berkembang, termasuk negara-negara Islam.

Harus diakui kecanggihan teknologi informasi Barat telah menembus berbagai sistem informasi di dunia internasional. Bahkan seperti dikatakan A. Muis (1989), banyak tradisi dan adat istiadat atau pranata-pranata lama mulai digeser oleh informasi internasional. Terutama melalui media massa Barat yang teknologinya semakin modern.

Bagi dunia Islam, ini merupakan tantangan berat yang harus segera diantisipasi. Karena seperti ktia ketahui, pers Barat sebagai salah satu media massa menang memang memiliki daya pengaruh yang besar dalam merombak norma masyarakat Muslim.

Juga memiliki peran yang tidak kecil dalam merusak citra Islam dan ummatnya. Beragam bukti dan fakta tentang ini terlalu panjang untuk diutarakan. Namun yang pasti, dan patut menjadi catatan kita, bahwa pers Barat tidaklah bebas nilai seperti yang diduga banyak orang.

Tak aneh bila Islam dan ummatnya, senantiasa digambarkan pers Barat begitu kelam. Tak heran emmang bila kita mencoba melacak penilaian merak demikian buruk terhadap Islam. Karena mereka sejak awal telah dijejali literatur-literatur Barat yang bertendensi negatif terhadap Islam dan ummatnya. Sebagai misal, dapat diungkapkan bahwa dalam literatur itu Islam dideskripsikan para penulis Barat sebagai agama tokoh penyamun padang pasri.

Pers Barat dengan “didikan” semacam itu, tentu saja berimplikasi kuat dalam memojokkan dan menyudutkan Islam. Fenomena demikian merupakan tantangan berat yang harus disikapi pers Islam. Tantangan yang bersifat eksternal ini dipercepat dengan watak pers Barat yang mengagungkan freedom of information tanpa kendali.

Di Barat seperti diprihatinkan sejumlah guru besar Amerika dan Eropa, bahwa pelaksanaan kebebasan informasi dan pers telah berubah menjadi kebebasan tanpa tanggungjawab sosial dan moril; media masa khususunya pers sudah bebas berkata benar dan tidak benar (negatif freedom).

Karena itu menurut mereka, sebagaimana diungkapkan A.Muis, media massa khususnya pers memikul kewajiban baru (new obligatin) terhadap para pemakai jasa pers (pembaca) yang memiliki suatu hak baru (new right). artinya, industri pers yang semakin memonopoli sumber-sumber informasi tidak boleh lagi sesukanya, membohongi masyarakat dan di lain pihak masyarakat berhak memperoleh informasi yang benar dan tidak miring (bias).

Kasus buku SETAN yang dikarang oleh pembangkan “Muslim” Salman Rushdie, menurut A. Muis, guru besar pasca sarjana Unhas ini, dengan jelas menggambarkan faham kebebasan informasi yang berlebihan dari sistem komuniasi Barat (Non Muslim).

Tidak satu negara Baratpun yang memasalahkannya baik dari segi kode etik, maupun undang-undang. Padahal negara Barat pun mengenal undang-undang tentang penghinaan agama (Godblashphemy) maupun penghinaan terhadap lembaga-lembaga dan golongan orang (public libel).

Di sini terlihat bagaimana Barat begitu tidak adil dan bersikap picik terhadap dunia Islam. Prilaku Pers Barat dalam kasus ini sebagai bukti tak terbantahkan atas sikap Barat yang kehilangan sportifitas dan obyektifitasnya. The New York Time, salah satu surat kabar profesional di Barat, juga turut dapat dijadikan sampel ketidakobyektifan dalam menyikapi kasus ini. Hal ini terbukti dengan memuat rubrik Words for Salman Rushdie yang isinya 99% memuat komentar yang mendukung pengarang dan buku yang menghebohkan itu. (M. Syafi’i Anwar, 1989)

Tantangan eksternal itu juga diperberat dengan kuatnya jaringan informasi yang dimiliki Barat. Sementara pihak kita, pers Islam, masih juah kalah dibanding pers mereka. Untuk ini, ada baiknya kita pun melacak sisi kekurangan dan kelemahan pers Islam, sebagai tantangan internal yang mesti dicarikan solusinya.

Baca juga: Stempel Wahabi Cara Pikir Tidak Jernih

Tantangan Internal Pers Islam

Tangan External Pers Islam
Sumber: https://imgix.bustle.com/

Dengan hadirnya kekuatan pers Barat, tak arif seandainya kita tidak melacak sisi kekurangan dan kelemahan pers Islam itu sendiri. Memang harus diakui di tengah gempuran dan hantaman pers Barat, secara internal pers Islam masih bergelut dengan beragam kekurangan dan kelemahan.

Kelemahan pers Islam secara internal, ternyata bukan hanya menyangkut managerial skill dan profesionalisme semata. Namun juga lemah dalam menguasai informasi. Dalam konteks yang terakhir ini, pers Islam belum maksimal melakukan usaha dan uapnya yang aktif, kritis, tajam, dan kontinyu dalam melibatkan diri serta mengambil peran dalam proses management informasi dunia (management of word information).

Padahal pelibatan diri dan pengambilan peran ini merupakan upaya kualitatif untuk melakukan transpormasi, menyaring, menyeleksi, dan memberikan interpretasi kritis terhadap masuknya informasi dari seluruh penjuru dunia.

Persoalan ini mengisyaratkan pentingnya pers Islam dikelola oleh sumber daya manusia yang berkualitas, berkompeten, dan memiliki kemampuan profesionalisme yang tinggi.

Dalam kata lain, pers Islam yang berbobot tidak hanya dapat mengandalkan faktor idealisme semata, namun profesionalisme pun menjadi faktor mutlak yang mesti dikedepankan.

Tanpa profesionalisme, seperti dikatakan Jalaluddin Rakhmat, media Islam yang seharusnya membawa pencerahan malah menimbulkan pengeruhan; yang seharusnya menjadi rujukan ummat, malah menjadi yellow paper yang menyedihkan.

Bila ini terjadi, maka pers Islam akan terpuruk pada kegagalan yang fatal. Bukan hanya gagal secara ideal dan komersial, tetapi juga gagal secara profesional.

Tentang pers Islam, memang masih muncul kritis tajam yan gpatut dijadikan intropeksi. AM. Saefuddin, misalnya, memandang bahwa media ummat Islam dalam bentuk majalah dan koran memang masih sangat lemah dan redup. Penampilannya belum profesional.

Oplahnya masih memprihatinkan, ditambah dengan artikel dan beritanya tidak menarik, tidak aktual, tidak lengkap, dan kadaluarsa.

Sekalipun apa yang beliau ungkapkan tidak seluruhnya benar, namun hal itu patut kita jadikan “suntikan” dan dorongan bagi pers Islam untuk terus meningkatkan kualitasnya. Ini penting mengingat misi dan tugas pers Islam dalam era informasi ini tidaklah ringan.

Selain untuk membendung hantaman pers Barat yang memojokkan Islam, juga penting dalam mengemban misi da’wah; amar ma’ruf nahyi mungkar.

Dalam menutup tulisan, sebagai urun rembug dalam peningkatan kualitas pers Islam, dan kesiapannya menghadapi tantangan yang cukup berat, penulis ingin mengutip nasehat Ali bin Abi Thalib ra: “Siapa yang merasa aman menghadapi zaman, zaman akan menipunya. Siapa yang tinggi hati menghadapinya, zaman akan merendahkannya. Siapa yang bersandar pada tanda-tanda zaman, maka zaman akan menyelamatkannya.”

Ditulis ulang oleh Pabrik Jam Digital Indonesia

Leave a Comment