Jam Istiwa’ memiliki sejarah panjang Indonesia. Adanya jam istiwa’ merupakan jejak Islam yang masih ada di sebagian masjid. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat tentang apa itu jam istiwa, sejarah, fungsi, urgensi serta bagaimana jam istiwa itu bekerja.
Selain itu juga dijelaskan tentang bukti sejarah telah digunakannya jam istiwa di indonesia dengan adanya sejumlah masjid di beberapa daerah di Indonesia yang sampai sekarang masih menggunakan jam istiwa untuk menentukan awal waktu shalat Zhuhur dan Ashar serta menentukan arah kiblat.
Apa itu Jam Istiwa’
Jam istiwa’ adalah istilah yang digunakan di Indonesia sebagai sebutan untuk alat penunjuk waktu yang mendasarkan pada gerakan matahari pada siang hari dan bayangan yang dihasilkannya. Seringkali disebut dengan jam matahari.
Bila mengacu kepada definisi dari jam matahari yang diberikan oleh Merriam Webster Dictionary, maka yang dimaksud dengan jam matahari (sundial) adalah suatu instrumen (alat) untuk menunjukkan waktu di siang hari melalui bayangan dari sebuah gnomon di sebuah piringan yang biasanya horisontal atau permukaan berbentuk silinder.[i]
Gnomon atau tongkat istiwa’ merupakan tongkat biasa yang ditancapkan tegak lurus pada bidang datar atau bidang dial di tempat terbuka yang memiliki fungsi untuk petunjuk jam pada bidang dial yang dihasilkan oleh bayangan matahari.
Sedangkan bidang dial sendiri merupakan bagian dari sundial yang berupa piringan atau dataran yang di atasnya tertulis angka-angka jam yang ditunjukkan oleh gnomon sebagai petunjuk bayangan matahari. Bidang dial dapat berbentuk horizontal, vertical, ataupun miring dengan berbagai sudut, yang mana sudut tersebut mengikuti lintang tempat suatu daerah tertentu.[ii]
Nama Lain Jam Istiwa’ Dalam Berbagai Bahasa
Jam istiwa memiliki beberapa sebutan di berbagai bahasa. Sebab, jam istiwa’ sudah sejak lama digunakan sebelum hadirnya jam analog maupun jam digital.
Berikut nama lain jam istiwa’ dalam berbagai bahasa:
1. Jam Matahari (Bahasa Indonesia)
Dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan jam matahari.
2. Jam Bencet (Bahasa Jawa)
Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah jam Bencet. Nama bencet merujuk pada logam berbentuk setengah lingkaran yang ditulisi deretan angka.
Di bagian tengahnya terdapat besi yang menghubungkan kedua titik pada bentuk setengah lingkaran tersebut. Di tengah besi itu dipasang jarum di sisi kanan dan kiri untuk menunjukkan angka-angka yang diartikan sebagai waktu. (Nu.or.id)
3. Sundial (Bahasa Inggris)
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Sundial.
4. al-Mizwalah atau As-Sa’ah Asy-Syamsiah (Bahasa Arab)
Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah المزولة atau الساعة الشمسية (al-Mizwalah atau As-Sa’ah Asy-Syamsiah).
Sejarah Jam Istiwa’ / Jam Bencet / Jam Matahari / Sundial
Menurut The Editors of Encyclopaedia Britannica, alat pertama yang menandakan waktu di siang hari kemungkinan adalah gnomon, tahun 3500 SM. Kaum Muslimin abad pertengahan sangat tertarik pada jam matahari, karena alat ini menyediakan sarana untuk menentukan waktu yang tepat untuk shalat.[iii]
Menurut Dr. Nizar Mahmud Qasim Asy-Syaikh – beliau adalah pakar Fikih Perbandingan, Anggota Al-ittihad Al ‘Arabi Li ‘Ulumil Qadha’ wal Falak – ilmuwan Muslim yang pertama kali menciptakan jam matahari adalah Ibnu Asy-Syathir ( 704-777 H / 1304-1375 M).
Nama lengkapnya adalah Abul Hasan ‘Alauddin Ali bin Ibrahim bin Muhammad bin Al-Hammam Ad Dimasqi Al-Anshari Al-Muwaqqit. Dia seorang Ahli ilmu Falak (Astronomi), Teknik dan Matematika. Dia lahir dan meninggal di Damaskus , Suriah.
Ibnu Asy-Syathir memberi nama jam mataharinya Al-Basith dan dia gantungkan di menara Masjid Jami’ Al-Umawi di Damaskus.[iv]
Macam-Macam Jam Istiwa’
Sebagai penunjuk waktu, sundial (jam istiwa’) memiliki tiga macam bentuk, yaitu: Sundial Equatorial, Sundial Horizontal, dan Sundial Vertikal.[v]
1. Sundial Equatorial
Sundial Equatorial adalah sundial atau jam Matahari yang memiliki bidang dial berbentuk miring yang sesuai dengan lintang suatu tempat dan mempunyai gnomon yang tegak lurus terhadap dataran bidang dial tersebut yang disesuaikan dengan lingkaran meridian.
Kemiringan bidang dial inilah yang menjadi ciri khas dari jenis sundial tersebut.
2. Sundial Horizontal
Gambar Sundial Horizontal.[vii]
Sundial Horizontal biasa dikenal dengan garden sundials karena peletakannya cukup di atas tanah. Sundial ini menerima bayangan sejajar dengan horizontal dan tidak tegak lurus dengan khatulistiwa.
Model ini lebih populer karena dapat digunakan sepanjang waktu dari terbit sampai tenggelamnya Matahari.
3. Sundial Vertikal
Picture 3: The vertical sundial at the Mihrimah Mosque in Uskudar.(2) (© Salim Aydüz). (Gambar sundial Vertikal di Masjid Mihrimah Uskudar, Turki.[viii]
Sundial Vertikal merupakan sundial yang biasa diletakkan pada dinding atau sesuatu yang dapat digunakan untuk menggantungkan sundial tersebut. Bentuk Sundial Vertikal ini memiliki bidang dial yang tegak lurus sejajar dengan garis vertikal.
Tidak seperti Sundial Equatorial yang memiliki bidang dial miring sebesar lintang tempat, namun hampir sama seperti Sundial Horizontal, perbedaannya hanya penempatannya saja.
Kelebihan Equatorial Sundial dibanding jenis sundial lainnya
Pada Sundial Equatorial, gnomon ditempatkan sejajar dengan sumbu rotasi bumi (polar style). Jenis sundial ini memiliki kelebihan dibandingkan dua jenis sundial sebelumnya, yaitu:
- Dapat menunjukkan panjang jam konsisten 60 menit yang dapat digunakan sepanjang tahun,
- Seluruh bayangan yang ada pada sundial menunjukkan jam (bukan hanya ujungnya).
Sehingga meskipun panjang bayangan berubah sesuai musim, namun bayangan tersebut tetap menunjuk ke arah yang sama pada waktu yang sama sepanjang tahun. Dengan demikian, sundial akan mampu menunjukkan waktu yang sama pada satu hari setiap tahun.
Sundial jenis equatorial yang masih ada hingga saat ini adalah sundial yang dibuat oleh Ibnu Syathir untuk Masjid Umayyah di Damaskus pada tahun 1371 M.
Sundial ini ditempatkan di salah satu menara masjid dan benar-benar digunakan sebagai pencatat waktu resmi dan waktu shalat sepanjang hari.
Ibnu Syatir membagi waktu dalam sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan pada musim panas waktu lebih panjang.[ix]
Komponen-Komponen Jam Istiwa’
Sundial atau jam Matahari adalah sebuah perangkat sederhana yang menunjukkan waktu berdasarkan pergerakan Matahari di meridian. Jam Matahari merupakan perangkat penunjuk waktu yang sangat kuno.
Apabila dilihat dari bentuknya, komponen terpenting yang ada pada Sundial adalah gnomon dan bidang dial. Sedangkan instrumen-instrumen lain biasanya sebagai pembantu dari kinerja Sundial.[xi]
Fungsi Jam Istiwa’ Dalam Islam
Fungsi jam istiwa’ dalam Islam pada dasarnya ada tiga, yaitu:[xii]
- Sebagai penunjuk waktu lokal.
Bayang-bayang matahari dapat menjadi patokan waktu lokal.
- Sebagai penunjuk waktu shalat zhuhur dan shalat Ashar.
Dua waktu shalat ini didasarkan pada pergerakan matahari di siang hari dan bayangan yang dihasilkannya. Sedangkan untuk waktu shalat yang lain tidak didasarkan pada pergerakan matahari dan bayangan.
Ini sebagaimana penjelasan Professor Thomas Djamaluddin, Pakar Astronomi, bahwa Jam Istiwa’ bisa untuk menentukan waktu Zhuhur dan waktu shalat Ashar saja, karena dua waktu itu berdasarkan pada bayangan Matahari.[xiii]
- Sebagai alat untuk menentukan arah kiblat.
Arah kiblat secara berkala dapat dikalibrasi dengan bantuan bayangan matahari. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan bayangan dari jam istiwa’. Cara lain adalah dengan menancapkan tongkat dan dilihat arah bayangan tongkat tersebut.
Untuk kalibrasi kiblat ini atau disebut Rashdul qiblat dapat terjadi dua kali dalam setahun, yaitu:
- Pada tanggal 28 Mei (atau 27 Mei di tahun kabisat) sekitar pukul 16.18 WIB &
- 16 Juli (atau 15 Juli di tahun kabisat) sekitar pukul 16.27 WIB.
Jam-jam tersebut merupakan waktu dhuhur untuk kota Makkah.
Pentingnya Belajar Jam Istiwa’
Belajar jam istiwa’ tetap penting dilakukan oleh umat Islam. Pengetahuan yang memadai tentang jam istiwa’ akan membantu umat Islam untuk bisa menentukan waktu lokal, waktu shalat (zhuhur dan Ashar) serta arah kiblat. Namun demikian, ini bukan termasuk ilmu fardhu ‘ain.
Hal ini akan bermanfaat terutama saat teknologi penanda waktu berupa jam mekanik maupun jadwal sholat digital masjid sedang tidak berfungsi. Kemungkinan untuk itu memang ada.
Bukan sekedar perkiraan orang biasa. Bahkan, Badan Antariksa Amerika Serikat NASA yang menyatakan urgennya memahami jam matahari. Artinya, pengetahuan tentang jam matahari tetap diperlukan di era modern ini.
Sundial (jam matahari) masih digunakan secara ilmiah oleh NASA dan jam matahari yang paling jauh dari bumi saat ini merupakan bagian penting dari Mars Rover (Wahana Penjelajah Planet Mars tanpa awak).
Jam matahari pada Rover tersebut selalu terlihat dari kamera dan digunakan sebagai alat navigasi pendukung jika perangkat yang lain gagal berfungsi.
Karenanya, NASA dapat mengetahui jam berapa sebuah foto diambil, mereka dapat mengkalkulasi arah wahana penjelajah (Rover) melalui di mana bayangan jatuh pada jam matahari tersebut.[xiv]
Karena pentingnya hal ini, beberapa sekolah / pesantren masih mengajarkan jam istiwa ini.
Cara kerja Jam Istiwa’
Ketika sinar Matahari jatuh pada permukaan Jam Istiwa’, maka bayangan jarum (Gnomon) akan menunjuk pada salah satu angka yang ada pada bidang dial.
Di antara jarak tiap angka terdapat 12 garis, dimana masing-masing garis bernilai 5 menit. Adapun waktu Zuhur berada di bagian tengah bidang dial.
Jarak antara satu garis dengan garis Jam Istiwa’ yang lainnya selalu tetap yaitu 15° atau 2 cm ( jarak sebenarnya), karena kedudukan dial table yang sejajar dengan equatorial langit dan kecepatan Matahari bergerak (semu) mengelilingi garis ekuator Bumi ialah 15° per-jam.
Bayang-bayang gnomon pada kedua permukaan dial table bergerak berlawanan. Pada permukaan dial table yang menghadap ke utara bayangan gnomon bergerak searah jarum jam sedangkan permukaan dial table yang menghadap ke selatan bayang-bayang gnomon-nya bergerak berlawanan dengan arah jarum jam.
Meskipun berlawanan angka jam yang dihasilkan akan selalu sama. Hal ini disebabkan pergerakan bayang-bayang gnomon yang berlawanan dengan pergerakan Matahari yaitu dari barat ke timur.[xv]
Awal mula penggunaan jam Istiwa’ di dunia Islam
Sejarah Keberadaan sundial di dunia Islam tidak lepas dari penaklukan Islam terhadap beberapa daerah yang pernah menjadi bagian dari Romawi (Helenistik) yang kental sekali dengan tradisi sundial.
Khalifah Abdul Aziz dari Bani Umayyah yang berkuasa di Damaskus sekitar tahun 700 M telah menggunakan sundial dari Romawi untuk mengatur waktu shalatnya.
Di wilayah Eropa, sundial pertama dari peradaban Islam (Sundial Equatorial) muncul di Cordoba pada abad ke-11 yang dibuat oleh Ibnu Safar. Pada sundial tersebut, ditampilkan garis untuk jam musiman, garis awal musim, dan garis penanda untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar.
Panjang gnomon vertikal sama dengan jari-jari lingkaran di piringan. Saat ini, sundial tersebut disimpan di Museum Arquelogico Provinicial de Cordoba. Sundial juga berkembang di daerah Timur seperti Cina dan Jepang. Namun tidak terdapat catatan sejarah yang membahasnya sebagaimana sejarah sundial di Barat.[xvi]
Bukti Sejarah Jam Istiwa’ di Indonesia
Bukti sejarah Jam istiwa’ di Indonesia bisa dilihat di Masjid Agung, Surakarta, JawaTengah. Sampai sekarang jam istiwa’ tersebut masih ada.
Jam Istiwa’ di Masjid Agung Surakarta tersebut diletakkan di atas sebuah tugu batu setinggi 1,5 meter dengan garis tengah 100 cm. Di tugu tersebut, terdapat angka yang menunjukkan tahun 1784 Jawa atau 1855 Masehi. Ini berarti jam istiwa’ ini dibangun pada masa Raja Pakubuwono VIII.[xvii]
Sementara di Masjid Tegalsari, Laweyan, Solo, Jawa Tengah, juga terdapat jam istiwa’ yang sampai sekarang bahkan masih dipakai oleh takmir masjid setempat. Jam istiwa’ di Masjid Tegalsari ini dibuat pada 28 Oktober 1928 bersamaan dengan dibangunnya Masjid Tegalsari.[xviii]
Baca juga: Khutbah Jum’at Singkat Terbaru
Dimana diletakkan Jam Matahari?
Posisi dari jam istiwa’ di masjid-masjid yang ada di Indonesia maupun yang ada di luar negeri itu berbeda-beda.
Secara umum diletakkan di halaman luar masjid, sebagaimana Masjid Al-Huda, Dusun Ngawinan, Desa Jetis, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, JawaTengah.
Sebagaimana disampaikan sebelum ini, jam istiwa’ pertama yang diciptakan oleh Ibnu Asy-Syathir digantungkan di menara Masjid Jami’ Al Umawi. Ini posisi di luar masjid namun bukan di halaman masjid.
Ada yang meletakkannya di sebuah ruang di masjid, tepatnya di sebuah serambi yang ada atapnya namun terdapat sebuah lubang kecil tempat masuknya sinar matahari. Ini sebagaimana di Masjid Tegalsari, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah.
Penggunaan Jam Istiwa di Indonesia
Penggunaan jam Istiwa’ di Indonesia secara umum bisa dikatakan sudah jarang dilakukan. Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat di masa kini, masyarakat Muslim secara umum tidak familiar dengan Jam istiwa’.
Apalagi setelah berhasil diciptakannya jam digital masjid yang bisa diprogram waktu-waktu shalat di dalamnya, mengacu kepada jadwal shalat yang telah dikeluarkan oleh lembaga hisab dan rukyah yang kredibel, kebanyakan masjid kini tidak lagi menggunakan jam istiwa’ dalam penentuan waktu-waktu shalat.
Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah kecil masjid yang kukuh memegang waktu jam istiwa’ sebagai acuan penetapan waktu shalat. Jam konvensional disesuaikan dengan jam istiwa’ tersebut dalam masalah penentuan waktu shalat.
Selain karena perkembangan teknologi, memang butuh keahlian tersendiri untuk bisa membuat, menggunakan dan merawat jam istiwa’. Tentu saja hal ini semakin memperkecil jumlah masjid yang setia dengan jam istiwa’.
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang cukup penting karena terkait dengan pelaksanaan shalat, seyogyanya penggunaan jam istiwa’ ini perlu dipertahankan.
Pengetahuan dan ketrampilan membuat, membaca dan merawat jam istiwa’ perlu diterus dilestarikan agar tidak punah ditelan zaman.
Daerah Pelestari Jam Istiwa’ di Indonesia
Daerah-daerah yang masih melestarikan Jam Istiwa’ di Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut:
- Kota Surakarta, Jawa Tengah, yaitu di Masjid Tegalsari dan Masjid Agung Surakarta.
- Kota dan Kabupaten Magelang, yaitu di Masjid Agung Kauman Kota Magelang dan Masjid Langgar Agung di Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang.
- Kabupaten Semarang, yaitu di Masjid Al-Huda Dusun Ngawinan Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
- Kabupaten Demak, di Masjid Baitun Nur, Desa Tedunan, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak.
- Kabupaten Jombang, di Pesantren Al-Mahfuzh, Seblak, Diwek, Jombang.
- Kota Salatiga, yaitu di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin, Kalibening, Salatiga.
- Kabupaten Kudus. Ada sekitar 10 masjid yang menggunakan jam istiwa’ di Kudus. Salah satunya adalah Masjid Qurotu Aini Fish Sholah di Desa Tenggeles, Kecamatan Jekulo, Kudus.
- Kabupaten Jember: Masjid Al Firdaus Semboro Kulon
Kemungkinan masih banyak daerah yang melestarikan jam istiwa’ hingga saat ini.
Daftar di atas hanyalah yang mampu kami telusuri dari berbagai website yang bertebaran di internet, baik berupa berita maupun karya ilmiah.
Solusi Ketika Mendung
Pada dasarnya, jam matahari (jam istiwa’) tidak bisa berfungsi saat malam hari atau ketika cuaca sangat mendung. Bahkan pada jam matahari yang dirancang dengan baik, beberapa hal telah mengurangi akurasi jam matahari sebagai perangkat penjaga waktu.[xix]
Namun ada beberapa solusi yang dapat digunakan:
1. Jam Kutub (Polar Clock)
Solusi ini diberikan oleh seorang ilmuwan Inggris bernama Charles Wheatstone. Untuk bisa memperkirakan waktu saat cuaca mendung dengan menggunakan alat yang mirip dengan jam matahari, yang disebut dengan jam kutub (polar clock).
Mike Follows, Ph.D, seorang guru Fisika di King Edward’s School, Birmingham, UK, mengatakan:
”Salah satu cara untuk mengetahui posisi matahari – dan dengan demikian untuk menyimpulkan waktu- saat kondisi mendung adalah dengan mengamati polarisasi cahaya yang tersedia. Fenomena ini adalah sesuatu yang dimanfaatkan serangga dan burung untuk navigasi.
Secara umum, cahaya yang tersebar terpolarisasi pada sudut kanan matahari. Jadi, saat matahari berada pada titik tertingginya, cahaya hampir terpolarisasi secara horizontal di sepanjang cakrawala. Ketika matahari terbenam tepat di barat, langit akan terpolarisasi secara vertikal di ufuk ke utara dan selatan.
Pada tahun 1848, penemu Inggris Charles Wheatstone mempresentasikan “Polar Clock” (jam kutub), perangkat seperti jam matahari yang dapat digunakan saat mendung. Dengan mengarahkan tabung ke Kutub Utara, dan memutar prisma di lensa mata sampai cahaya menghilang, sudut relatif polarisasi siang hari yang tersedia dapat disimpulkan, memberikan posisi matahari dan juga perkiraan waktu.
Ada juga yang mengatakan bahwa Viking menggunakan “batu matahari” kristal untuk menemukan matahari ketika tertutup awan atau tepat di atas cakrawala.”[xx]
2. Jam Analog
Jam ini yang selalu ada di masjid sekarang ini. Dengan harga yang terjangkau, hampir semua masjid memilikinya. Perawatan yang mudah juga menjadi faktor kemudahannya. Meskipun, tetap ada kekurangannya, yakni harus mengecek jadwal sholat secara manual.
3. Jam Digital
Dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya kesadaran umat islam, maka lahirkan produk jadwal sholat digital. Salah satu Produsen Jam Digital Masjid Terpercaya adalah PabrikJamMasjid.com.
Kelebihan jam ini adalah dapat disetting dengan mudah dan disesuaikan waktu sholat setempat. Ini dapat menjadi pengganti jam matahari ketika mendung. Saat matahari tidak terlihat, jam ini tetap dapat bekerja dengan baik.
Bahkan, ketika mati lampu, settingan jam ini tidak berubah.
Video Terkait Jam Istiwa’
Demikian tadi uraian singkat tentang sejarah jam istiwa’ atau jam matahari di Indonesia. Semoga penjelasan ini bermanfaat.
Bila ada kebenaran di dalam tulisan ini maka itu karena Allah Ta’ala semata. Bila ada kesalahan atau penyimpangan maka itu dari kami dan dari setan. Semoga Allah berkenan mengampuni segala kesalahan kami dan kaum muslimin.
Tulisan Jam Istiwa Pertama kali diunggah pada 23 Oktober 2020
Referensi Penulisan
[i] https://www.merriam-webster.com/dictionary/sundial
[ii] SUNDIAL HORIZONTAL DALAM PENENTUAN PENANGGALAN JAWA PRANATA MANGSA, Skripsi-S-1 dalam Ilmu Syariah dan Hukum, Muhammad Himmatur Riza, Jurusan Ilmu Falak, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 2018.
[iii] https://www.britannica.com/technology/sundial
[iv] Dauru Ulamail Muslimin Fi tathwiiri Ma’ayiiril Falakiyyah Lidauratai Asy-Syams wal Qamar, Dr. Nizar Mahmud Qasim Asy-Syaikh,
[v] SUNDIAL HORIZONTAL DALAM PENENTUAN PENANGGALAN JAWA PRANATA MANGSA, Skripsi-S-1 dalam Ilmu Syariah dan Hukum, Muhammad Himmatur Riza, Jurusan Ilmu Falak, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 2018. (dengan diringkas)
[vi] https://www.waymarking.com/waymarks/WMF58Y_Equatorial_Sundial_Henderson_CO
[vii] https://docplayer.info/148354092-Sundial-tongkat-istiwa.html / https://docplayer.info/docs-images/101/148354092/images/13-0.jpg
[viii] https://muslimheritage.com/principle-and-use-of-ottoman-sundials/
[ix] SUNDIAL HORIZONTAL DALAM PENENTUAN PENANGGALAN JAWA PRANATA MANGSA, Skripsi-S-1 dalam Ilmu Syariah dan Hukum, Muhammad Himmatur Riza, Jurusan Ilmu Falak, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 2018.
[x] https://www.yardenvy.com/blog/sundials-101
[xi] Rene R. J. Rohr, Sundial: History, Theory, and Practice, (New York: Dover Publications, Inc., 1996), hlm. 5 di dalam SUNDIAL HORIZONTAL DALAM PENENTUAN PENANGGALAN JAWA PRANATA MANGSA, Skripsi-S-1 dalam Ilmu Syariah dan Hukum, Muhammad Himmatur Riza, Jurusan Ilmu Falak, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 2018.
[xii] SUNDIAL HORIZONTAL DALAM PENENTUAN PENANGGALAN JAWA PRANATA MANGSA, Skripsi-S-1 dalam Ilmu Syariah dan Hukum, Muhammad Himmatur Riza, Jurusan Ilmu Falak, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 2018. (dengan diringkas).
[xiii] Thomas Djamaluddin, Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat, Jakarta: LAPAN, 2011.
[xiv] https://www.bordersundials.co.uk/about/history-of-sundials/
[xv] STUDI AKURASI JAM ISTIWA’ SEBAGAI PENUNJUK WAKTU SALAT ZUHUR DAN ASAR DI MASJID AGUNG SURAKARTA, Skripsi S-1, Ahmad Noor Sholihin, Jurusan Ilmu Falak, Fakultas Syariah, IAIN Walisongo, Semarang, 2014.
[xvi] SUNDIAL HORIZONTAL DALAM PENENTUAN PENANGGALAN JAWA PRANATA MANGSA, Skripsi-S-1 dalam Ilmu Syariah dan Hukum, Muhammad Himmatur Riza, Jurusan Ilmu Falak, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 2018
[xvii] https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4029497/jam-matahari-di-solo-ini-masih-difungsikan-untuk-penanda-adzan
[xviii] https://www.nu.or.id/post/read/43707/jam-bencet-di-masjid-tegalsari
[xix] https://naaweb.org/images/STEMGems-SimpleSundials.pdf
[xx] https://www.newscientist.com/lastword/mg22630230-600-clouding-the-issue/