Melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid saat masuk ke dalam masjid merupakan salah satu adab di dalam masjid.
Seorang Muslim menunaikan shalat dua rakaat saat memasuki masjid sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan kepada Allah ﷺ dan kepada tempat ibadah.
Bila demikian halnya, lantas apakah hukum shalat Tahiyyatul Masjid itu? Apakah sunnah ataukah wajib?
Berikut ini penjelasan para ulama:
Sebab Dinamakan Shalat Tahiyatul Masjid
Sebab dari penamaan shalat Tahiyatul Masjid (arti harfiyahnya: penghormatan terhadap masjid) adalah karena orang yang masuk ke dalam masjid memulai aktifitasnya dengan melakukan kedua rakaat shalat ini.
Sebagaimana orang yang menemui suatu kaum memulai aktifitasnya dengan memberikan tahiyyah (penghormatan).
Dalil Disyariatkannya Shalat Tahiyatul Masjid
Pensyariatan shalat Tahiyyatul Masjid ditunjukkan oleh hadits Abu Qatadah As Sulami, ia berkata,” Nabi ﷺ bersabda:
إذا دخَلَ أحدُكم المسجدَ، فلا يجلسْ حتى يركعَ ركعتينِ
“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk hingga dia melakukan shalat dua rakaat.”
Dan dalam riwayat lain:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid maka hendaklah dia melakukan shalat dua rakaat sebelum duduk.”[HR Al Bukhari no. 433 dan Muslim no. 714]
HUKUM SHALAT TAHIYATUL MASJID
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Tahiyyat al-Masjid. Ada dua pendapat:
1. Hukum Shalat Tahiyatul Masjid itu Sunnah
Jumhur ulama (mayoritas ulama) sepakat bahwa shalat Tahiyyatul Masjid termasuk ibadah sunnah yang dianjurkan dan bukanlah ibadah wajib.
Ibnu Hajar berkata,’ Para Imam fatwa sepakat bahwa perintah terkait ini menunjukkan sunnah.” [Fathul Bari (I/537).
Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata,’Jumhur sepakat atas tidak diwajibkannya dua rakaat shalat ini.” [ Ihkamul Ahkam (II/467).
An Nawawi berkata,’Hal itu (tidak diwajibkannya sholat Tahiyatul Masjid) adalah ijma’ kaum Muslimin.” [Syarh Muslim (V/233)
Namun, penukilan adanya ijma’ dalam hal ini masih perlu ditinjau, karena Ibnu Bathal menukil pendapat para ulama penganut madzhab Zhahiriyyah yang mewajibkannya. [Syarh Ibnu Bathal ‘ala Shahih Al Bukhari (II/93)]
Hal itu diriwayatkan oleh Qadhi ‘Iyadh dari Dawud dan pengikutnya.[ Syarh Al Qadhi ‘iyadh ‘ala Shahih Muslim (III/49)]
Namun yang ditegaskan oleh Ibnu Hazm adalah pendapat yang bertentangan dengan pendapat wajib itu. [Al Muhalla (II/321]
2. Hukum Shalat Tahiyatul Masjid itu Wajib
Ibnu Daqiqil ‘Ied mengomentari hadits Abu Qatadah, dia berkata,’Tidak diragukan lagi bahwa zhahir perintah adalah wajib, sedangkan zhahir larangan adalah pengharaman. Jadi siapa saja yang mengalihkan keduanya dari (makna) zhahirnya maka dia membutuhkan dalil.’
[Ihkamul Ahkam (IV/468]
Ash- Shan’ani berkata dalam kitab Hasyiyah-nya terhadap Syarh Ibnu Daqiqil ‘Ied,’Saya katakan, inilah yang benar dan mewajibkannya (sholat Tahiyatul Masjid) adalah hal yang sesuai dengan tuntutan sebuah perintah dan larangan.’
[Hasyiyah Ash- Shan’ani (IV/468)]
Asy-Syaukani berkata,’ Jika kamu telah mengetahui hal ini – yaitu bantahan-bantahan yang telah disebutkan – maka tampaklah bagimu bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang dikemukakan oleh para penganut madzhab Zhahiriyah, yaitu shalat Tahiyyatul Masjid itu wajib.’
[Nailul Authar (III/790]
Dalil Hukum Shalat Tahiyatul Masjid adalah Sunnah
Dalil yang dijadikan dasar argumentasi jumhur ulama tentang tidak diwajibkannya shalat Tahiyatul Masjid adalah:
1. Hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu
Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anu berkata,’Seorang laki-laki datang seraya melangkahi leher orang-orang pada hari Jumat, ketika Nabi ﷺ sedang berkhutbah. Beliau ﷺ lalu bersabda kepadanya,’ Duduklah, sungguh kamu telah mengganggu (orang lain).” Dalam riwayat lain disebutkan: “Dan kamu datang terlambat,”i yang artinya terlambat dan telat.
Adapun bentuk argumentasi hadits ini adalah Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada orang itu untuk duduk dan beliau ﷺ tidak memerintahkannya shalat Tahiyyatul Masjid. Hal itu menunjukkan sholat Tahiyatul Masjid tidak berhukum wajib.
2. Hadits Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu
Hadits Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah seorang Arab Badui – yaitu Dhimam bin Tsa’labah – yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai shalat yang diwajibkan atasnya, lantas beliau ﷺ menjawab: “Shalat lima waktu.”
Orang itu bertanya lagi,”Apakah ada shalat lainnya yang diwajibkan kepadaku?” Beliau menjawab,’ Tidak, kecuali jika kamu melakukan shalat tathawu’ (sunnah).’ [HR Al Bukhari no. 46 dan Muslim no. 11]
Dalil Hukum Shalat Tahiyatul Masjid adalah Wajib
Para ulama yang berpendapat bahwasannya hukum shalat Tahiyyatul Masjid adalah wajib berdalil dengan hadits berikut:
1. Hadits Abu Qatadah di atas
Yang sabda Rasulullah pada hadits tersebut menggunakan perintah: “maka hendaklah dia shalat dua rakaat.”, juga menggunakan kalimat larangan: “maka janganlah dia duduk.”
Pada hadits ini, kalimat perintah yang diungkapkan secara mutlak itu menunjukkan kewajiban, sementara larangan yang diungkapkan secara mutlak itu menunjukkan keharaman.
Adapun hadits Thalhah radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah Arab Badui sebelumnya tidak layak dijadikan sebagai nash pengubah (dari hukum wajib menjadi sunnah).
2. Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu
Jabir Radhiyallahu ‘anhu bertutur, ’Seorang laki-laki masuk (ke dalam masjid) pada hari Jumat ketika Rasulullah ﷺ sedang berkhutbah. Beliau ﷺ bertanya,’Apakah kamu telah shalat?” Orang itu menjawab,’Belum.”
Beliau ﷺ bersabda,’ Shalatlah dua rakaat.’ Laki-laki itu adalah Sulaik al-Ghathafani radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana namanya disebutkan dalam Shahih Muslim. [HR Al Bukhari no. 930 dan Muslim no. 785]
Bentuk argumentasi hadits ini adalah bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan Sulaik untuk sholat Tahiyatul Masjid, yaitu setelah Sulaik duduk. Beliau memotong khutbahnya hanya untuk mengajukan pertanyaan pada Sulaik dan memerintahkannya agar shalat Tahiyyatul Masjid. Hal ini menunjukkan adanya penekanan atas kewajiban shalat ini.
Seandainya shalat Tahiyatul Masjid itu dapat digugurkan pada satu kondisi, maka kondisi ini adalah yang lebih utama dalam menggugurkannya, sebab Sulaik diperintahkan untuk menyimak khutbah.
Akan tetapi tatkala menyimak khutbah ditinggalkan demi melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid, maka hal itu menunjukkan bahwa shalat ini amat ditekankan oleh beliau.
Pendapat yang Rajih (Kuat) Menurut Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan mengatakan,” Yang benar, pendapat yang mewajibkan shalat Tahiyatul Masjid merupakan pendapat yang kuat karena kekuatan dalil-dalil pendukungnya, juga karena yang menyebabkan wajibnya shalat ini adalah masuk ke dalam masjid.
Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Tahiyatul Masjid dan dalil yang menunjukkan bahwa selain dari shalat lima waktu (fardhu) adalah termasuk dalam shalat tathawwu’ (sunnah).
Tetapi jika ada yang mengatakan bahwa shalat Tahiyyatul Masjid termasuk sunnah muakkadah maka ungkapan itu hampir benar. Sesungguhnya ilmu yang sebenarnya berada di sisi Allah ﷻ .”
Kapan Melakukan Sholat Tahiyatul Masjid?
Sebagaimana namanya yang memiliki arti harfiyah “penghormatan terhadap masjid“, shalat ini dilakukan ketika masuk ke dalam masjid. Tidak hanya terbatas dan terikat dengan sholat wajib 5 waktu.
Apabila dirinci, maka ada 3 waktu sholat tahiyyatul masjid:
1. Masuk masjid di luar waktu Sholat
Kapanpun, ketika masuk masjid di luar waktu sholat. Maksudnya, di luar waktu menjelang sholat fardhu 5 waktu.
2. Ketika menjelang Sholat Fardhu
Ini dapat dilakukan setelah adzan dikumandangkan. Di era sekarang, untuk membantu jama’ah bisa melakukan sholat tahiyatul masjid, para takmir memberi jam adzan iqomah digital yang dapat dilihat.
Sehingga, jama’ah yang masuk masjid, dapat memperkirakan, apakah waktunya masih cukup untuk shalat ataukah tidak.
Jangan sampai ketika dipertengahan sholat sunnah, kemudian iqomah didirikan, sehingga harus memutus sholat sunnah.
3. Waktu Terlarang Sholat
Di dalam hadits nabi, disebutkan beberapa waktu terlarang untuk sholat sunnah. Adapun untuk sholat tahiyatul masjid di waktu terlarang ini, ada ikhtilaf antara ulama. Selengkapnya, kami bahas dalam sub bab dibawah ini
HUKUM SHALAT TAHIYYATUL MASJID DI WAKTU TERLARANG
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Tahiyyatul Masjid pada waktu yang dilarang untuk melakukan shalat sunnah. Misalnya seseorang masuk ke dalam masjid setelah shalat Shubuh atau sebelum shalat Maghrib kemudian dia melakukan shalat itu.
Dua Pendapat di Kalangan Ulama Tentang Shalat Tahiyatul Masjid di Waktu Terlarang
1. Pendapat pertama: shalat Tahiyatul Masjid boleh dilakukan pada waktu yang dilarang.
Ini adalah pendapat yang paling shahih menurut ulama madzhab Syafi’i dan satu riwayat dalam madzhab Imam Ahmad.
Inilah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan muridnya, Ibnul Qayyim rahimahullah. Bahkan Ibnu Taimiyah rahimahullah membeberkan dalil-dalil dari pendapat ini dan dia menguatkannya dengan sesuatu yang tidak pernah ditambahkan oleh orang lain. ii
2. Pendapat kedua: shalat Tahiyatul Masjid tidak boleh dilakukan pada waktu yang dilarang
Menurut pendapat kedua, shalat Tahiyatul Masjid tidak boleh dilakukan pada waktu yang dilarang. Ini adalah madzhab ulama madzhab Hanafi dan ulama madzhab Maliki serta satu riwayat dari Imam Ahmad.iii
Sebab Perbedaan Pendapat
Penyebab perbedaan pendapat tersebut adalah bertentangannya dua dalil umum. Yaitu keumuman hadits-hadits tentang shalat Tahiyyatul Masjid yang memerintahkan shalat kepada siapa saja yang masuk ke masjid tanpa adanya perincian dan keumuman hadits – hadits yang melarang shalat pada waktu-waktu yang dilarang, seperti sabda beliau ﷺ:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
“ Tidak ada shalat setelah (shalat) shubuh hingga matahari meninggi dan tidak ada setelah (shalat ) ‘Ashar hingga matahari terbenam.” [HR Al Bukhari no. 586 dan Muslim no, 827]
Hadits ini berlaku umum pada semua shalat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh bentuk kalimat nafi (negasi) – dengan menggunakan huruf لا (tidak ada) – yang menunjukkan peniadaan jenis, sehingga shalat Tahiyyatul Masjid termasuk ke dalam keumuman dalil yang menggunakan kalimat yang menegasikan hal tersebut.
Hujah Pendapat yang Membolehkan Shalat Tahiyyatul Masjid di Waktu Terlarang
Para ulama yang melontarkan pendapat pertama berkata bahwa keumuman hadits: ”Tidak ada shalat setelah (shalat) Shubuh….” tersebut di-takhshish (dikhususkan) oleh hadits tentang shalat Tahiyatul Masjid.
Lalu mereka mengecualikan shalat itu dari keumuman hadits ini sehingga shalat Tahiyatul Masjid boleh dilakukan pada waktu-waktu yang dilarang. Ketentuan ini dikarenakan lafazh hadits: “Tidak ada shalat” dikhususkan untuk selain sholat Tahiyatul Masjid.
Di antara dalil yang menguatkan pengecualian shalat Tahiyyatul Masjid dari keumuman hadits yang melarang shalat sunnah, adalah bahwa Nabi ﷺ memerintahkan shalat Tahiyyat al-masjid sewaktu beliau sedang berkhutbah.
Padahal larangan melakukan shalat pada waktu khutbah jumat itu lebih kuat, sebab pendengar atau mushalli dilarang melakukan apa pun yang memalingkannya dari mendengarkan khutbah, termasuk shalat, sehingga syara’ memerintahkan agar melakukan shalat secara singkat dalam kondisi demikian.
Oleh karena itu, manakala shalat Tahiyyatul al-Masjid boleh dilakukan sewaktu khutbah sedang dilaksanakan, maka hal itu menunjukkan bahwa melakukan shalat Tahiyatul Masjid pada semua waktu selainnya tentu lebih dibolehkan lagi.iv
Pendapat yang Rajih (Kuat)
Syaikh Abdullah bin Shalih Al fauzan menjelaskan bahwa shalat Tahiyyatul Masjid itu sifatnya seperti beberapa shalat lain yang memiliki sebab tertentu yang akan hilang jika diakhirkan dari waktu-waktu terlarang, yang bisa menyebabkan ia kehilangan pahalanya.
Hal ini berbeda dengan shalat sunnah mutlak. Karena ketika seorang mukallaf dilarang melakukannya pada waktu yang dilarang, maka pada waktu-waktu lainnya dia diberi keleluasaan untuk melakukannya sehingga larangan itu tidak mempersulit dirinya dan dia pun tidak akan kehilangan pahala.
Justru kadang larangan shalat pada waktu-waktu tertentu itu mengandung maslahat bagi mukallaf, yaitu ia bisa mengistirahatkan dan mempersiapkan diri untuk melakukan ketaatan dengan penuh semangat. Ini merupakan fakta.v
Atas dasar itulah, hadits -hadits yang melarang shalat pada beberapa waktu yang telah disebutkan sebelumnya, dipahami sebagai larangan mengerjakan shalat yang tidak memiliki sebab, seperti shalat sunnah mutlak.
Sedangkan shalat yang memiliki sebab tertentu seperti shalat Tahiyyat al-Masjid, dikecualikan dari larangan tersebut. Inilah pendapat yang representatif, Insya Allah. Pendapat inilah yang dapat mengkompromikan berbagai dalil dan membuat semua dalil-dalil itu dapat diamalkan.vi Wallahu a’lam.
Demikian tadi penjelasan para ulama mengenai hukum shalat Tahiyatul Masjid dan shalat tahiyatul masjid di waktu terlarang. Di dalamnya ada ikhtilaf di kalangan ulama.
Berapa Lama Batas Sholat Tahiyatul Masjid dan Iqomah?
Sebenarnya, tidak ada batasan waktu jarak adzan dan iqomah yang ditentukan oleh Syari’at. Pembatasnya adalah iqomah. Ketika iqomah didirikan, maka tidak ada sholat sunnah lagi.
Sebab, iqomah merupakan hak imam. Ketika imam datang, dia berhak meminta muadzin untuk mendirikan sholat.
Perbedaan waktu, menjadi kebijakan ta’mir masjid setempat sesuai dengan kultur masyarakat atau jama’ah masjid serta kebijakan imam.
Meskipun bersifat sunnah, hendaknya orang yang shalat tahiyatul masjid tetap menggunakan sutrah shalat. Tujuannya, agar tidak dilewati oleh orang yang kurang perhatian atau tergesa-gesa masuk ke masjid.
Semoga memberikan tambahan wawasan hukum Islam kepada siapa saja yang membaca tulisan ini. Semoga Allah memberi kemanfaatan bagi siapa saja yang membacanya.
Footnote Artikel Shalat Tahiyyatul Masjid
i HR Abu Dawud (III/467), An Nasa’i (III/103), Ahmad (IV/188) dan tambahan ini miliknya dan Ibnu Khuzaimah (III/156). Sanad hadits ini hasan karena memiliki beberapa syahid.
ii Lihat Majmu’ Al Fatawa (XXIII/ 178-199, 210-217)
iii Lihat Al Inshaf (II/208)
iv Lihat Majmu’ Al Fatawa (XXIII/ 192-193)
v Lihat Majmu’ Al Fatawa (XXIII/ 187 dan 196)
vi Lihat fathul Bari, (II/59) dan komentar Syaikh Abdul Azis bin Baz rahimahullah terhadapnya.
Sumber: Fikih Seputar Masjid, Karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan, Penerbit: Pustaka Imam Syafi’i, Desember 2018, cetakan ketiga, hal. 150-156. (Dengan sedikit diringkas dan dengan perubahan format penulisan.)