Ummat Islam memberikan kontribusi terbesar dalam tegaknya Orde Baru. Apakah kedekatan pemerintah sekarang merupakan politik balas budi?
Siapapun pun tak bisa membantah adanya fakta bahwa perjuangan ummat Islam selalu seiring dengan perjuangan bangsa Indonesia. Ini terjadi sejak zaman penjajahan kolonial hingga terakhir ini. Perjuangan ummat Islam merupakan soko guru dan sekaligus garda depan perjuangan bagnsa.
Para syuhada Islam yang dikenal maupun tidak merupakan bukti betapa perjuangan beliau tak dapat dipisahkan dari semangat mempertahankan Islam di dalam jiwa bangsa Indonesia. Karena itu sungguh terasa ahistoris jika kemudian hari muncul pendapat bahwa nasionalisme kini telah pudar seiring dengan maraknya kiprah ummat.
Pendapat demikian bukan saja tidak ilmiah, tidak faktual, melainkan juga merupakan propaganda politik murahan.
Demikian halnya ketika Orde Baru lahir pada tahun 1966-1968. Ummat Islam merupakan tumpuan perjuangan sekaligus motor penggalangan massa berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang pro-komunis.
Rasanya tak berlebihan bila kita tilik sejarah saat itu bahwa hanya kekuatan Islam saja yang benar-benar murni melakukan perlawanan terhadap komunis. Sedangkan kekuatan-kekuatan lain, termasuk militer, tampaknya kurang solid karena di tubuh mereka juga sudah kesusupan unsur-unsur komunis, seperti Kolonel Untung yang menjadi komandan pembantaian para jendral pada 30 September 1965.
Sejarah membuktikan bahwa kekuatan militer yang anti komunis pun pada akhirnya harus menggalang aliansi dengan kekuatan Islam untuk mengganyang sisa-sisa PKI sampai ke akar-akarnya.
Dalam perjalanannya kemudian, aliansi itu ternyata tidak bertahan lama. Semula ummat Islam berharap, kerjasama itu akan membuahkan hasil yang positif dan berkesinambungan.
Sayang, tampilnya tokoh-tokoh Orde Baru yang alergi, kaalu bukan anti Islam telah memupus harapan itu. Mula-mula beberapa tokoh Islam mengharapkan kalau pemerintah Orde Baru mau merehabilitasi Partai Islam Masyumi yang membubarkan diri pada tahun 1960 akibat tekanan rezim Soekarno.
Namun, Presiden Soeharto rupanya tak berkehendak dengan niat sebagian mantan Masyumi. Lebih jelas lagi, ketika Mr. Moh. Roem yang terpilih dalam Kongres Parmus tahun 1970 di Malang dianulir pemerintah melalui telegram sekneg yang waktu itu dijabat Alamsyah Raturperwiranegara.
Insiden politik di awal Orde Baru itu bagaikan pil pahit yang terpaksa harus ditelan setelah sekian lama bersakit-sakit menolong orang lain dari penderitaan. Ummat Islam harus berpikir realistis dan menyusun peta perjuangan baru.
Di saat-saat kebingungan mencari format baru itulah muncul sikap-sikap ekstrem sekuler seperti yang ditunjukkan oleh Nurcholis Madjid dengan ide kontroversialnya, “Islam Yes, Partai Islam No”.
Dalam beberapa kesempatan Nur Cholish dan kawan-kawannya di HMI juga berkali-kali menuduh perjuangan Masyumi telah gagal dan tidak realistis. Akan tetapi, dalam tealaah yang lebih mendalam pemikiran Nurcholish saat itu tak bisa dilepaskan dari hubungan diam-diam yang dibangun bersama Ali Moertopo arsitek pembaharuan politik Orde Baru yang terkenal dengan konsepnya “Akselerasi Modernisasi Pembangunan Indonesia”.
Pidato Nurcholish pada 3 Januari 1970 yang terkenal, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integritas Bangsa” ternyata juga banyak mendapat insprasi dari visi Ali Moertopo tersebut.
Babak selanjutnya hubungan ummat Islam dengan pemerintah selalu diwarnai dengan perasaan kecurigaan. Entah disengaja atau tidak, fusi parpol-parpol Islam dalam PPP pada tahun 1973 oleh banyak pihak dipandang sebagai bagian integral dari politik de-parpolisasi (baca:de-Islamisasi) yang mencapai klimaks dengan disahkannya UU Keormasan Juni 1985 yang mengharuskan ormas-ormas berasas tunggal Pancasila.
Baca juga: Menyongsong Perjuangan Ummat Dalam Sertifikasi Halal
De-Islamisasi itu tak sekedar menyentuh segi-segi ideologis semata, melainkan seluruh identitas dan simbol-simbol keagamaan yang memiliki efek psikologis, seperti keharusan mengganti lambang PPP dari Ka’Bah menjadi bintang.
Berbagai insiden dan aksiden politik juga mewarnai konflik antara pemerintah dan Ummat Islam. Peristiwa Komando Jihad dengan tokoh misteriusnya H. Ismail Pranoto, Teror Warman, Gerakan Imran, Gerakan NII, GPK Aceh, Tanjung Priok, GPK Lampung, dan lain-lain seolah-olah telah mengesahkan pandangan bahwa setelah komunis berakhir, bahaya laten selanjutnya adalah kekuatan Islam yang mencita-citakan Negara Islam.
Banyak tokoh dan aktivis Islam yang terpaksa masuk hotel prodeo dengan tuduhan melakukan makar terhadap negara dan aksi subversif suatu tuduhan yang sulit dibuktikan faktanya sampai sekarang.
Dalam analisis lebih tajam, kasus-kasus politik tersebut tampaknya lebih merupakan hasil rekayasa daripada kejadian alamiah. Bahkan sebagian besar tak lepas dari pertarungan elite kekuatan itu sendiri.
Misalnya, ketika peristiwa Malari meledak tahun 1974, beredar buku kecil versi pemerintah yang menyebutkan bahwa aksit itu didalangi oleh tokoh-tokoh eks partai PSI dan Masyumi. Lagi-lagi tokoh Masyumi menjadi kambing hitam.
Sejarah kemudian membuktikan, melalui beberapa memoar dan otobiografi belakangan ini, peristiwa Malari itu tak lebih dari dampak persaingan tajam antara Ali Moertopo dan Jendral Soemitro yang saat itu menjadi Pangkopkamtib. Kedua jendral itu baku tuduh di depan Presiden Soeharto.
Mereka membuat rencana. Allah pun membuat rencana. Tapi, sebaik-baik rencana adalah perencanaan Allah juga. Umamt berangsur-angsur melek politik dan makin piawai.
Pada Desember 1990 sekelompok anak muda menggelar Muktamar Cendikiawan Muslim Nasional pertama di Universitas Brawijaya Malang yang kemudian melahirkan organisasi ICMI. ICMI lahir di tengah sisa-sisa sikap anti-Islam.
Betapapun ia ditakdirkan harus lahir. Kini semuanya berubah. Ada yang mengatakan ini semuanya berubah. Ada yang mengatakan ini fenomena alamiah. Ada pula pendapat ini semacam kooptasi. Pertanyaannya, apakah ini politik balas budi?
Al Muslimun Nomor 312 Tahun XXVI (42) Syawal / Zulqaidah 1416 Hijriah/Maret 1996