Kebangkitan umat Islam di Indonesia merupakan gejala sosiologis-kultural dan bukan sekadar fenomena politik. Mengapa ada yang mengatakan gejala sektarian dan primordial?
Ada perkembangan baru yang menarik. Presiden Soeharto merestui dimasukkannya klausul sertifikasi halal dalam RUU Pangan yang kini tengah digodok pemerintah. “Pada saatnya nanti semua produk makanan kemasan harus disertakan label halal. Jika tidak, maka produk itu dilarang dipasarkan kepada umum”, jelas Menteri Negara Urusan Pangan Prof. Dr. Ibrahim Hasan.
“Hal ini perlu kami laporkan kepada presiden karena menyangkut masalah yang sensitif,” tambahnya.
Selama ini sertifikasi halal memang sudah dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Halal yang dibentuk oleh MUI Pusat bekerja sama dengan Departemen Kesehatan. Akan tetapi, tanpa ada kekuatan hukum yang mengikat dan definitif, sertifikasi itu lebih merupakan kesadaran para produsen sendiri daripada kewajiban yang memiliki sanksi hukum berat.
Hal ini juga dapat dinilai sebagai suatu keputusan yang positif karena bangsa Indonesia merupakan mayoritas Muslim yang memerlukan perlindungan dan jaminan hukum yang pasti.
Dalam konteks ini persetujuan Presiden Soeharto tersebut merupakan satu sikap positif lagi yang ditunjukkan kepada Ummat Islam, menyusul berbagai kemudahan-kemudahan yang diberikan setelah tokoh-tokoh ummat Islam melakukan lobby dan musyawarah berkali-kali.
Misalnya berdirinya Bank Muamala Indonesia (BMI), Asuransi Takaful, Lembaga Arbitrase Islam, dan rencananya lembaga semacam Tabungan Haji di Malaysia. Sebagai umat Islam tentu perkembangan ini patut disyukuri.
Di bidang ekonomi pemerintah juga kian menyadari betapa timpangnya kesenjangan sosial dan perbedaan pendapatan antargolongan. Berbagai kemudahan kini ditempuh di bidang perbankan dan bantuan dana pinjaman murah untuk pengusaha kecil.
Terakhir, Presiden membentuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang akan mengelola dana sumbangan para konglomerat yang akan didistribusikan kepada keluarga miskin dan mereka yang memerlukan bantuan permodalan usaha. Tak kurang dari Rp. 250 Milyar telah terkumpul. Yang dipertanyakan banyak pihak kini adalah bagaimana sistem manajemen dan auditnya?
Di bidang keumatan juga tengah berlangsung proses pembudayaan Islam secara pelan tapi pasti. Mulai dari menjamurnya TK al Qur’an yang memungkinkan anak-anak kita melek huruf al Qur’an sejak dini sampai terbentuknya berbagai forum kajian Islam baik dalam bentuk tarbiyah dan ta’lim maupun LSM-LSM yang berorientasi ke-Islaman.
Dalam bidang ini kontribusi ormas-ormas Islam juga sangat besar dalam menciptakan iklim da’wah yang menciptakan suasana Islami di tengah-tengah komunitas Muslim. Betapapun masih ada kekurangannya, namun perkembangan ini patutlah dinilai sebagai langkah maju seiring dengan makin tingginya rata-rata tingkat pendidikan kaum muslimin.
Di balik itu ternyata ada saja mereka yang merasa iri kemudian menghembuskan pemikiran dan informasi yang menyesatkan kepada ummat. Mereka menyatakan, dengan maraknya perkembangan islam ni, maka tumbuh kembali apa yang disebut politik aliran yang sudah diharamkan dalam konsep politik Orde Baru.
Selain itu, mereka juga menyebut gejala ini sebagai gerakan sektarian dan promordialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Anehnya, banyak juga tokoh dan pakar islam yang terkecoh dengan propaganda politik murahan ini.
Baca juga: Potret Tantangan Pers Islam
Tumbuhnya beberapa organisasi berkedok nasionalis, seperti PCPP, PNI-Baru dan YKPK, Parkindo Baru dapat dianggap sebagai reaksi sekaligus refleksi dari pemikiran politik tadi. Secara politis, hadirnya kelompok baru ini merupakan lawan-lawan politik islam baru yang mendompleng mantan-mantan pejabat tinggi negara.
Toh, pada kenyataannya para mantan petinggi tersebut saat berkuasas sama sekali tak pernah menguntungkan Islam, kalau tidak malah menohok Islam dengan kekuasaannya. Apa yang dijualnya dengan slogan nasionalisme itu hakekatnya tak ubah seperti tukang obat di pinggir jalan. Mereka berusaha meyakinkan masyarakat Islam yang kini makin pandai dan kritis ini.
Apa yang ingin dicapai kelompok sekular itu tak lain adalah kekuasaan pula. Sekiranya cita-cita itu tercapai, maka apa yang akan dilakukan nanti sudah bisa dibaca: menghancurkan nilai-nilai Islam dan membodohkan ummat Islam sebagaimana politik Snouck Hurgronye dulu.
Buktinya sudah jelas, selama beberapa dekade mereka berkuasa pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru hasilnya sangat mencolok; ummat Islam terpuruk secara politik dan ekonomi.
Para kiai dan tokoh Islam meringkuk dalam tahanan dan penjara tanpa alasan yang jelas. Anehnya, mereka kini bersikap munafik. Problema sosial yang kompleks dewasa ini seolah-olah bukan karena rekayasanya. Itulah politik yang menghalalkan segala cara.
Paparan demikian tidak berarti lantas kita membuat kesimpulan bahwa apa yang terjadi sekarang ini sudah dapat dikatakan islami. Masih jauh dari kesimpulan itu. Perkembangan akhir-akhir ini yang sebagian pengamat menyatakan sebagai bulan madu pemerintah dan umamt Islam masih harus dicermati lebih jauh.
Sikap Islami atau bukan tidak dapat diukur semata-mata dari segi kelembagaan Islam. Jika ini menjadi ukurannya tentu dapat menggembirakan. Masih harus dilihat lebih jauh bagaimana akhlak penyelenggara pemerintahan, kebijakan ekonomi, dan peraturan perundangan. Jangan sampai kita menjadi silau atau kabur.
Yang penting, jangan kita hanya menjadi pengamat dan penonton. Kita sendiri harus menjadi aktor utama yang aktif. Bukan figuran. Apalagi cuma bisa menyesali keadaan. Bersiaplah untuk perjuangan babak baru.
Al Muslimun Nomor 312 Tahun XXVI (42) Syawal / Zulqaidah 1416 Hijriah/Maret 1996