Hukum membangun masjid dengan harta zakat merupakan salah satu topik yang menjadi kajian dalam kitab fikih. Sebab, tidak dipungkiri, membangun masjid merupakan amal shaleh yang mulia. Keutamaannya banyak. Pahalanya sangat besar. Manfaatnya mengalir ke banyak orang dalam waktu yang sangat lama.
Lantas, apa hukum membangun masjid dengan harta zakat? Pertanyaan ini kadang muncul dalam pikiran seseorang yang memiliki banyak harta zakat. Berikut penjelasannya:
Membangun Masjid dengan Harta Zakat Menurut Para Ulama
Terkait hukum membangun masjid dengan harta zakat berdasar penjelasan para ulama terpercaya ilmu dan agamanya berbeda pendapat. Kami hadirkan beberapa pendapat mereka:
1. Pendapat Prof. Dr. Wahbah az Zuhaili
Jumhur ulama dalam madzhab-madzhab bersepakat bahwa tidak boleh mendistribusikan zakat kepada selain yang disebutkan Allah SWT seperti membangun masjid, jembatan, ruangan, irigasi, saluran air, memperbaiki jalan, mengafani mayit, dan melunasi utang.
Juga, seperti untuk menjamu tamu, membangun pagar, mempersiapkan sarana jihad seperti membuat kapal perang, membeli senjata dan semisalnya yang termasuk dalam kategori ibadah yang tidak disebutkan Allah SWT dari sesuatu yang tidak mempunyai hak kepemilikan dalam hal zakat.
Karena, Allah SWT telah berfirman:
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [at-Taubah:60]
Kata “innama” dalam ayat tersebut berfungsi untuk membatasi dan menetapkan. Ayat tersebut menetapkan apa yang tersebut dan menafikan selainnya. Oleh karenanya, tidak boleh mendistribusikan zakat kepada ibadah-ibadah yang tidak tersebutkan di dalam ayat terserbut, karena sama sekali tidak didapati hak untuk memilikinya.
Akan tetapi, al-Kasani dalam al-Badaai’ menafsirkan bahwa sabilillah [jalan Allah) yang dimaksud di dalam ayat tersebut adalah semua macam ibadah. Dengan demikian, mencakup semua orang yang berusaha di jalan Allah dan kebaikan, jika dia membutuhkan.
Karena, “sabilillah” adalah umum dalam kepemilikan, yaitu mencakup pembangunan masjid dan semisalnya, sebagaimana yang telah disebutkan. Sebagian ulama Hanafiyyah menafsirkan kalimat “sabilillah” dengan mencari ilmu, sekalipun orang yang mencari ilmu tersebut kaya.
Anas dan Hasan berkata, “Zakat tidak diberikan untuk pembangunan jembatan dan jalan. Itu merupakan sedekah yang lampau.”
Malik berkata, “Jalan Allah (sabilillah) itu jumlahnya banyak. Akan tetapi aku tidak mengetahui perbedaan pendapat bahwa maksud sabilillah dalam ayat ini adalah berperang.”[i]
Baca juga: Hukum membangun masjid dengan harta haram.
2. Pendapat Syaikh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf Al Azazy
Syaikh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf Al Azazy berpendapat bahwa harta zakat tidak boleh dipergunakan untuk membangun masjid. Penjelasan beliau ini dimulai dengan menjelaskan maksud dari salah satu golongan penerima zakat yaitu Fii Sabilillah.
Berikut ini penjelasan beliau:
“Maksud (fii Sabilillah) adalah berinfaq dalam rangka untuk jihad, sehingga diberikan kepada kaum mujahidin dan untuk persenjataan meskipun ia orang yang kaya.
Sehingga yang termasuk dalam penyaluran ini adalah membeli persediaan amunisi, persenjataan, pendirian pangkalan militer, biaya upah orang yang menunjukkan kepada musuh.
Dan ini adalah madzhab asy-Syafi’iyyah, malikiyyah, hambaliyah, hanya saja asy-Syafi’iyyah dan al-Hambaliyyah mensyaratkan bahwa orang-orang yang berjihad termasuk sukarelawan yang tidak memiliki gaji dari baitul maal (kas Negara).
Adapun madzhab Al-Hanafiyyah mereka memperluas makna firman Allah “ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ” “Untuk fii sabilillah” (QS. at-Taubah: 60) sehingga mereka memandang bolehnya menyalurkan zakat untuk seluruh maslahat kebaikan.
Dan ini adalah pendapat yang lemah dan yang rajih adalah madzhab tiga imam yang telah terdahulu. Asy-Syaikh lbnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,” Adapun mengkhususkannya untuk jihad fii sabilillah, tidak diragukan lagi, berbeda dengan orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud fii sabilillah adalah semua amal kebaikan.” [Asy Syarhul Mumti’: 6/242]
Al-lmam Ahmad, al-Hasan, dan Ishaq berpendapat bahwa haji termasuk fii sabilillah, dan ini adalah madzhab Ibnu ‘Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan ini adalah pilihan Syaikhul Islam lbnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau berkata, “Dan barangsiapa yang belum berhaji dengan haji Islam, dalam keadaan dia seorang yang fakir maka ia diberi biaya haji dengan zakat.”
Berdasarkan hal ini maka tidak sah menyalurkan zakat untuk membangun masjid dan memperbaiki jalan, dan mencetak kitab, namun penyaluran untuk hal itu (bersumber) dari dana yang lain seperti wakaf, hibah, wasiat, dan yang lain.[ii]
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa hukum membangun masjid dengan harta zakat ada ikhtilaf di dalamnya. Dan yang kuat menurut Syaikh Adil bin Yusuf Al Azazi adalah tidak diperbolehkan sebagaimana pendapat jumhur ulama. Semoga bermanfaat
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa hukum membangun masjid dengan harta zakat ada ikhtilaf di dalamnya. Dan yang kuat menurut Syaikh Adil bin Yusuf Al Azazi adalah tidak diperbolehkan sebagaimana pendapat jumhur ulama.
Adapun pembahasan lain seperti seorang dermawan yang memiliki zakat kemudian membeli jam sholat digital masjid sebagai bentuk wakaf untuk masjid, kami belum bisa menjawabnya. Semoga kajian tersebut dapat segera kami hadirkan.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar apabila ada koreksi yang ingin disampaikan. Wallahu a’lam bish showab.
[i] Fiqih Islam wa Adillatuhu, Karya Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili, Penerbit: Gema Insani Press, Jilid 3, Hal. 287-288
[ii] Tamammul Minnah Shahih Fiqih Sunnah, karya Syaikh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf Al Azazi, Penerbit: Pustaka As Sunnah, Jilid 2. Hal. 418-419