Membaca isi Dunia Baru (majalah al Arqam Malaysia rasanya kurang etis di beberapa bagian tampak tema yang emosional, serangan terhadap pemahaman Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab begitu tampak, seolah olah Muhammad bin Abdul Wahab adalah pembawa aliran baru.
Padahal yang sesungguhnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidaklah demikain, beliau adalah alim besar yang mengembalikan citra Qur’an wa sunnah secara murni. Jadi, bukan aliran baru, bukan pula faham tanpa alasan jelas.
Celakanya, sang pencaci sendiri sebelum mengkaji karya besar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sudah keburu membenci duluan. Dengan merasakan bahwa faham yang diyakininyalah yang benar, cara berfikir seperti ini sudah involed duluan sebelum mengkaji karya ilmiah seorang alim besar. Dalam dunia modern jelas tak mungkin bisa diterima, sebab sudah salah sejak awal, (Subyektifisme).
Sebagai kelompok yang lagi trend tentunya punya banyak peluang untuk mengkaji karya alim Muhamamd bin Abdul Wahab tanpa dirasuki rasa kebencian sebelumnya. Karena latar belakang kebencian menjadikan cara berfikir tidak jernih, malah menjadikan keruhnya suasana, sehingga analisa tidak obyektif.
Demikian juga kepada kelompok lain yang memiliki anggapan sama, Muhammad bin Abdul Wahab adalah hamba Allah alim besar, patut dikaji hasil karyanya tanpa punya maksud jahat. Sebagai anggota masyarakat akademis, tentu sangat tidak logis bila penilaian atas karya ulama besar dibarengi kebencian yang buahnya tak jauh dari cemoohan belaka.
Sebenarnya, bagi intelektual yang jujur tentu dapat mengambil ibrah dari perjalanan syariat yang hampir memasuki abad 16 Hijriyah ini, dari sekian jumlah pertentangan yang ada tentu bisa dicari sebab musababnya. Agar kelak di kemudian hari tidak mengulangi hal serupa, seperti yang dialami oleh sebagian besar dunia Islam.
Di satu sisi ummat Islam mengharapkan abad kebangkitan, di sisi lain benturan dari dalam kita sama-sama alami. Persepsi yang beragam atas syariat yang satu sebenarnya menjadi tanda tanya, sebab Islam sudah sempurna baik materi maupun metodologi pemahamannya, Rasulullah SAW, adalah ikutan yang baik.
Di sini, sikap juur di kalangan para alim Islam perlu tumbuh, terlepas soal menyatu tidaknya suatu pemahaman. Tugas utama kita adalah menyeru dengan cara Rasulullah SAW, menyeru, yang ditindak lanjuti oleh generasi sesudah beliau, hingga batas waktu dan generasi tertentu sejalan dengan ketentuan syari’at Islam.
Baca juga: Memotret Tantangan Pers Islam
Ada beberapa hal yang barangkali perlu difikirkan bersama, dengan penuh keikhlasan tanpa ada maksud apa-apa:
- Ketulusan murni, semata-mata karena Allah, tidak ada unsur luar dari itu, ini hanya akan terbentuk apabila aqidah yang diyakini adalah aqidah shahihah, sebagaimana difahami ahli Makkah dan ahli Madinah generasi pertama.
- Tidak melepaskan diri dari metodologi pemahaman ulama generasi pertama, baik ahli Makkah maupun Madinah dalam seluruh kontektual ayat dan hadits. Karena qurun mereka adalah qurun terbaik yang dimungkinkan pemahaman ke-Islaman mereka jauh lebih murni, sebagaimana dijamin oleh Quran dan hadits sendiri.
- Mampu mempelajari berbagai aliran pemikiran ke-Agamaan, Filsafat dan sejenisnya, karena kekotoran agama bila sudah berbaur, antara faham Qur’an sunnah manhaj salaf dengan pola-pola baru pemikiran, jadinya lepas dari ketentuan metodologi pokok yang tak menutup kemungkinan banyaknya faham yang saling bertolak belakang.
Selalu obyektif dalam kajian merupakan modal utama untuk mendapatkan keutuhan al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Tidak ada ruginya selalu jujur dan obyektif dalam mengkaji ke-Islaman, toh kita dinilai oleh Allah SWT.
Soal jadi pimpinan tidaknya terserah Allah, manusia tidak punya wewenang memaksakan diri jadi orang yang terkemuka, sadarilah hal itu insya’Allah ummat Islam kembali ke masa kejayaannya. Amien..
Hamba Allah, Al Muslimun Nomo 312 Tahun XXVI (42) Syawal / Zulqaidah 1416 Hijriah/Maret 1996