Dalam artikel ini akan dibahas tentang pengertian aqiqah baik dari segi bahasa maupun istilah syar’i, sejarah aqiqah sejak masa sebelum Islam, dalil penamaan aqiqah dalam Islam serta sejumlah hikmah dari disyariatkannya aqiqah dalam Islam.
Pengetahuan tentang hal ini diharapkan bisa menambah wawasan tentang aqiqah secara lebih luas, bukan hanya sekedar mengetahui bahwa aqiqah itu sebuah sunnah yang sangat ditekankan.
Semoga hal ini bisa menambah kokoh pijakan ilmu masing-masing dari kaum Muslimin terhadap sunnah yang agung ini.
Pengertian Aqiqah
1. Secara bahasa
Aqiqah secara bahasa diambil dari kata: عَقَّ يَعُقُّ عَقًّا yaitu memecah dan memotong, dari sinilah rambut bayi dinamakan dengan aqiqah. Dan binatang sembelihan dinamakan dengan aqiqah karena ia disembelih pangkal kerongkongannya, kerongkongannya dan urat (pembuluh darah) lehernya.
[lihat: Tajul ‘Arus karya Az Zubaidi (26/171), Al-‘Ain karya Al Khalil (1/62), Subussalam karya Ash Shan’ani (4/97)]
2. Secara istilah Syar’i
Aqiqah secara istilah adalah hewan yang disembelih karena bayi yang dilahirkan. Ada yang mengatakan aqiqah adalah makanan yang dibuat dan orang diundang untuk memakan makanan tersebut karena lahirnya bayi.
[Lihat: Al Mughni karya Ibnu Qudamah (9/458), Al Majmu karya An Nawawi (8/426), Fathul Bari karya Ibnu Hajar (9/586)][i]
Sejarah Aqiqah
Aqiqah sudah dikenal di kalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Al-Mawardi mengatakan, ”Aqiqah adalah kambing yang disembelih pada hari kelahiran anak yang bangsa Arab sudah melakukannya sebelum datangnya Islam.” [Al-Hawi Al-Kabir: 15/126]
Waliyullah Ad-Dahlawi mengatakan, ”Perlu diketahui bahwa bangsa Arab biasa melakukan aqiqah untuk anak-anak mereka. Aqiqah adalah perkara yang biasa dilakukan dan merupakan sunnah yang ditekankan pelaksanannya (sunnah muakkadah).
Pada aqiqah terdapat berbagai kemaslahatan finansial, psikologis dan sosial. Oleh karena itu, Nabi ﷺ membiarkannya, mengerjakannya dan menganjurkan masyarakat untuk ikut melakukannya.”
Hal ini ditunjukkan dalam hadits dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya. Abdullah berkata, ”Aku mendengar bapakku (Buraidah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu) berkata:
“Di zaman jahiliyah, apabila salah seorang dari kami memperoleh anak, dia menyembelih seekor kambing lalu melumuri kepala anaknya dengan darah kambing tersebut.
Setelah datangnya Islam, kami menyembelih kambing dan mencukur rambut si anak, lalu mengolesi kepalanya dengan minyak za’faran.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, An-Nasa’i dan Al Baihaqi. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Talkhish Al Habir mengatakan, ”Sanadnya Shahih.”
Syaikh Al-Albani mengatakan, ”Hasan Shahih.” Dishahihkan juga oleh Al Hakim dengan komentar, ”Sesuai dengan syarat periwayatan Al Bukhari dan Muslim.”
Komentarnya ini disepakati oleh Imam Adz Dzahabi. Syaikh Al-Albani mengatakan, ”Hanya sesuai dengan syarat periwayatan Muslim saja.”
[Sunan Abi Dawud berikut syarahnya ‘Aunil Ma’bud: 8/33, Shahih Sunan Abi Dawud 2/548, At-Talkhish Al-Habir: 4/147, Sunan Al Baihaqi: 6/101, Al-Mustadrak: 4/238, Irwaul Ghalil: 4/389]
Dalil yang lain adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang aqiqah. Dia berkata, ”Masyarakat jahiliyah biasa mengambil darah hewan aqiqah dengan kapas lalu mengoleskannya ke kepala bayi. Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mengganti darah ini dengan minyak wangi.”
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi. An-Nawawi berkata, ”Sanadnya shahih.” [Sunan Al-Baihaqi: 9/303; Al-Majmu’: 8/428; Irwaul Ghalil: 4/389; Al-Ihsan: 12/124]
As-Suyuthi mengatakan bahwa Abdul Muthalib (kakek Nabi ﷺ) mengaqiqahi beliau di hari ke tujuh kelahiran beliau. [Al-Hawi lil Fatawa: 1/196]
Dia berkata, ”Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, ”Ketika Nabi ﷺ dilahirkan, Abdul Muthalib mengaqiqahi beliau dengan seekor domba dan memberi nama beliau Muhammad.
Ditanyakan kepadanya, ”Wahai Abul Harits, mengapa engkau beri nama Muhammad dan tidak engkau beri nama yang sama dengan nama-nama leluhurnya?” Dia menjawab, ”Aku ingin agar Allah memujinya di langit dan seluruh manusia memujinya di bumi.” [Al Khashaish Al Kubra 1/134. Lihat juga As-Sirah Al-Halabiyyah: 1/128]
Aqiqah juga dikenal dalam syariat Nabi Musa ‘alaihis salam. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, ”Sesungguhnya orang-orang Yahudi mengaqiqahi anak laki-laki tapi tidak mengaqiqahi anak perempuan. Aqiqahilah anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing.”
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abid Dunya dengan komentar pentahqiqnya, ”Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abu Hafsh Asy Sya’ir dan bapaknya. Kedua orang ini tidak dikenal.”
Diriwayatkan juga oleh al Bazzar. Disebutkan juga oleh Al Hafizh Ibnu Hajar tanpa komentar.[ Syu’abul Iman: 6/391, As-Sunan Al-kubra 9/302, Kitab Al’Iyal: 1/212. Lhat: Majma’uz Zawaid: 4/58 dan Fathul Bari: 12/9.
Syaikh Al Albani mengatakan, ” Hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang seluruh rawinya tsiqat. Tetapi di dalamnya terdapat ‘an’anah[ii] Ibnu Juraij. Namun, dalam riwayat Ibnu Hibban dia menegaskan riwayatnya ini dengan lafal tahdits.[iii] Sehingga dapat dipastikan bahwa hadits ini shahih, walhamdulillah.” [Irwaul Ghalil: 4/389]
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dengan komentar dari Syu’aib al Arnauth, ”Sanadnya Shahih.” [Al Ihsan: 12/124][iv]
Sebab Penamaan Aqiqah
Apa yang disembelih karena bayi yang lahir disebut dengan Aqiqah. Penamaan ini berdasarkan kesepakatan empat madzhab fikih:
Menurut Madzhab Hanafi
Mereka menegaskan penamaan aqiqah di kitab-kitab mereka, Syarh Ath Thahawi karya Al Jashash (7/292), Al Fatawa Al Hindiyah (5/362).
Menurut Madzhab Maliki
Lihat kitab Al Kafi karya Ibnu Abdil Barr (1/425), Mukhtashar Khalil (hal. 80).
Menurut Madzhab Syafi’i
Lihat kitab Mughni Al Muhtaj karya Asy-Syarbini (4/293), Al-Ghurar Al Bahiyyah karya Zakariya Al Anshari (5/171), Hasyiyah Asy-Syirwani ‘ala Tuhfatil Muhtaj (9/369).
Menurut Madzhab Hanbali
Lihat kitab Al-Inshaf karya Al Mardawi (4/80), Syarh Muntahal Iradat karya Al Buhuti (1/614)
Dan diceritakan adanya ijma’ dalam persoalan ini. [Ibnu Abdil Barr berkata, ”Aku tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat (khilaf) di antara para ulama dalam penamaan hal itu dengan aqiqah.” (Al Istidzkar: 5/313).
Ibnu Al Qathan berkata, ”Aku tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat (khilaf) dalam penamaan hal itu dengan aqiqah.” (Al-Iqna’ fi Masailil Ijma’ (1/307)]
Penamaan Aqiqah dari As Sunnah
عن سَلْمانَ بنِ عامرٍ الضَّبِّيِّ رضي الله عنه، قال: سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقولُ: ((مع الغلامِ عَقيقةٌ، فأَهْريقوا عنه دَمًا، وأَمِيطوا عنه الأذَى))
Dari Salman bin ‘Amir Adh-Dhabbiyyi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ”Bersama (dengan lahirnya) anak itu ada aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya dan singkirkanlah kotoran darinya.”
[Diriwayatkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq (ada bagian sanad yang tidak disebutkan,pent) dengan sighah jazm (pernyataan yang bersifat tegas, yaitu dengan kata kerja aktif, pent) (5472), dan diriwayatkan secara bersambung oleh Abu Dawud (2839), At-Tirmidzi (1515), Ibnu Majah (3164) dan ini lafazh mereka. Kemudian An Nasa’i (4214), Ahmad 916238) dengan sedikit perbedaan.
At Tirmidzi berkata, ”Hasan Shahih.” Ibnu Abdil Barr di dalam At Tamhid (3164) 4/306; dan Ibnul ‘Arabi di dalam Al Qabs: 2/649, berkata: Tsabit. Al Albani menshahihkannya di dalam shahih Sunan Ibni Majah.]
عنِ الحَسنِ، عن سَمُرةَ رضِي اللهُ عنه، قال: قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((الغلامُ مُرتَهَنٌ بعَقيقتِه؛ يُذبَحُ عنه يومَ السَّابعِ))
Dari Al Hasan, dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Rasulullah ﷺ bersabda, ”Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh kelahirannya.”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2837), At-Tirmidzi (1522), dan ini lafazhnya, dan An Nasa’i (4220), Ibnu Majah (3165), Ahmad (20139) dan Ibnul ‘Arabi berkata di dalam kitab ‘Aridhatul Ahwadzi (5/431), ”Riwayat yang paling shahih dan dishahihkan isnadnya oleh An Nawawi di dalam Al Majmu’ (8/435) dan Ibnu Daqiq Al ‘Id menshahihkannya di Al iqtirah (121), dan Ibnu Mulaqin di Albadru Al Munir (9/333) dan Ibnu Hajar mempercayai rijalnya di Fathul Bari (9/507).
Asy Syaukani berkata di As Sail Al Jarrar (4/89), ”Tidak ada cacat di dalamnya.” Dan Ibnu Baz menshahihkan isnadnya di Majmu’ Al Fatawa (18/49), dan Al Albani menshahihkannya di Shahih Sunan At Tirmidzi (1522) dan Al Wadi’i di Ash Shahih Al Musnad (455)][v]
Hikmah Disyariatkannya Aqiqah
A. Hikmah aqiqah dalam Al-Mausu’ah Al Fiqhiyyah
Di dalam Al-mausu’ah Al Fiqhiyyah (Ensiklopedi Fikih) di bawah bimbingan Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As Saqqaf disebutka bahwa di antara hikmah disyariatkannya aqiqah adalah sebagai berikut:
1. Syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat berupa anak.
[Fatawa Nur ‘ala Darb, karya Ibnu Baz (18/221)]
2. Bersikap lembut dalam menyebarkan nasab dari anak.
[Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar AL-Hatami (9/369), Hujjatullahil Balighah, karya Waliyullah Ad Dahlawi (2/223)]
3. Mengambil teladan dari Ibrahim Al Khalil ‘alaihis salam
Mengambil teladan dari Ibrahim Al Khalil ‘alaihis salam ketika menyembelih kambing jantan yang Allah jadikan sebagai tebusan bagi anaknya, Ismail. Ini menjadi sunnah anak-anaknya sesudah Ismail: salah seorang dari mereka menebus anaknya ketika kelahirannya dengan sebuah sembelihan.
Jadi, seolah terbayang pada dirinya bahwa dia telah mengorbankan anaknya di jalan Allah sebagaimana dilakukan oleh Ibrahim ‘alaihish shalatu was salam. Dalam hal itu terdapat motivasi terhadap makna-makna kebaikan dan ketundukan.
[Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud, karya Ibnul Qayyim hal 64]
4. Aqiqah itu akan menjadi perlindungan bagi bayi tersebut dari setan
Aqiqah itu akan menjadi perlindungan bagi bayi tersebut dari setan setelah kelahirannya sebagaimana menyebut nama Allah ketika meletakkannya di dalam rahim itu menjadi perlindungan baginya dari kejahatan setan.
[Hujjatullahil Balighah, karya Waliyullah Ad Dahlawi (2/223)]
5. Aqiqah itu membebaskannya dari gadai kelahiran.
Ibnul Qayyim berkata, ”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan menyembelih hewan karena kelahiran anak sebagai sebuah sebab bagi terbebasnya bayi tersebut dari gadainya dari setan yang melekat padanya ketika dia keluar ke dunia dan setan menusuk pinggangnya.
Aqiqah itu menjadi tebusan dan pembebasan baginya dari penahanan setan terhadap dirinya, dan pemenjaran setan dalam tawanannya dan penghalangan setan terhadap dirinya dari usahanya untuk maslahat akhiratnya yang menjadi tempat kembalinya.”
[Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hal. 74]
Ibnu Hajar berkata, ”Al Khaththabi berkata,’Ulama berbeda pendapat dalam persoalan ini. Pendapat yang paling bagus dalam masalah ini adalah pendapat dari Imam Ahmad. Dia berkata, ”Ini tentang syafa’at.”
Yang dia maksud adalah bahwa bayi itu bila belum diaqiqahi kemudian meninggal dunia dalam keadaan masih anak-anak maka tidak bisa memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya.” [Fathul Bari, (9/594)]
Ibnu Hajar juga berkata, ”Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah aqiqah itu sebuah keharusan yang mesti dilakukan, maka keharusan aqiqah terhadap bayi tersebut dan tidak terlepasnya dia dari aqiqah itu menyerupai gadai di tangan yang menggadaikan.
Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan wajibnya aqiqah. Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah bayi tersebut tergadai dengan kotoran rambutnya. Oleh larena itu disebutkan dalam sebuah hadits: “singkirkanlah kotoran darinya.”][vi]
Aqiqah memiliki bermacam hikmah dan manfaat sebagai berikut:
1. Kemaslahatan finansial, psikologis dan sosial.
Waliyyullah Ad-Dahlawi berkata, ” Pada aqiqah terdapat berbagai kemaslahatan finansial, psikologis dan sosial. Oleh karena itu, Nabi ﷺ membiarkannya, mengerjakannya dan menganjurkan masyarakat untuk ikut melakukannya.”
Salah satu manfaat aqiqah adalah berlemah lembut dalam mengumumkan kabar tentang garis keturunan si bayi. Sebab, hal ini memang harus diberitahukan kepada khalayak supaya tidak terjadi fitnah di kemudian hari.
Manfaat yang lain adalah memupuk sikap kedermawanan dan menekan sifat kikir. Hikmah yang lain, bahwa tindakan ini di masa awal kelahiran menunjukkan bahwa seakan – akan orang tua menyerahkan anaknya di jalan Allah seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
Hal ini menggerakkan rangkaian kebaikan dan ketaatan sebagaimana yang telah kami sebutkan pada sa’i antara Bukit Shafa dan Marwa.” [Hujjatullahil balighah: 2/261]
2. Berterimakasih dan bersyukur kepada Allah
Berterimakasih dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas anugerah kenikmatan berupa anak. Sebab anak merupakan kenimatan duniawi terbesar. Anak adalah perhiasan dunia.
Allah Ta’ala berfirman:
ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” [Al Kahfi: 46]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menanamkan rasa gembira dalam diri manusia dan bangga atas kelahiran bayi. Oleh karena itu, setiap orang sudah sepatutnya bersyukur kepada Allah Sang maha Pencipta dan Maha Pemberi.
Ada atsar dari Husain radhiyallahu ‘anhu tentang ucapan selamat atas kelahiran bayi. Yaitu dengan mengucapkan:
بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي المَوهُوبِ لَكَ، وَشَكَرْتَ الوَاهِبَ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ
“Semoga Alla memberkatimu pada karunia-Nya kepadamu sehingga engkau bersyukur kepada Dzat yang telah memberimu karunia ini dan semoga anak ini dapat mencapai usia baligh dan engkau diberi rezeki dengan baktinya (kepadamu).” [Al-Adzkar, halaman 246]
Aqiqah adalah salah satu bentuk ungkapan rasa syukur dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Aqiqah adalah pembebasan dan penebusan anak
Aqiqah adalah pembebasan dan penebusan anak seperti Allah Subhanahu wa Ta’ala menebus Ismail ‘alaihis salam dengan seekor domba.
Masyarakat jahiliyah juga melakukannya dan menamakannya aqiqah. Mereka melumurkan darah di kepala si bayi. Aqiqah ini diakui dalam Islam, tapi dengan catatan tanpa melumurkan darah di kepala si bayi.
Nabi ﷺ memberitahukan bahwa hewan yang disembelih untuk bayi sepatutnya dilakukan dengan tujuan ritual, seperti qurban dan hadyu.[vii]
Beliau bersabda,“Barangsiapa dari kalian yang ingin melakukan ritual (tanasuk) penyembelihan hewan untuk anaknya, silakan melakukannya.”
Beliau menjadikannya seperti qurban yang Allah jadikan sebagai ritual penebusan Ismail ‘alaihis salam dan sarana mendekatkan diri kepada Allah Subahnahu wa Ta’ala.
Dapat diperkirakan bahwa hikmah Allah dalam syariat dan ketentuan-Nya dapat menjadi faktor penentu ketetapan hati sang anak dan keselamatannya sepanjang hidup di bawah perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari godaan setan.
Setiap organ tubuh hewan aqiqah menjadi tebusan bagi setiap organ tubuhnya. [Lihat: Tuhfatul Maulud, halaman 54-55]
4. Pengumunan dan pemberitahuan bahwa seseorang baru mendapatkan anak
Pengumunan dan pemberitahuan bahwa seseorang baru mendapatkan anak dan dia beri nama. Kemudian berita tersebut diketahui oleh masyarakat yang terdiri dari karib kerabat, tetangga dan handai taulan. Kemudian mereka semua datang untuk memberi selamat dan menghadiri aqiqahnya. Semua itu dapat menambah erat ikatan cinta dan persaudaraan dalam tubuh kaum Muslimin.
5. Bentuk solidaritas sosial dalam Islam.
Orang-orang yang melaksanakan aqiqah anaknya, akan menyembelih hewan dan membagi-bagikan dagingnya untuk fakir miskin, karib kerabat dan tetangga.
Atau dia akan mengundang mereka untuk makan bersama. Hal ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam upaya meringankan beban penderitaan kaum fakir miskin.
[Al Ahkam Adz Dzabaih, hal. 169 dan tarbiyatul Aulad fil Islam: 1/99-100][viii]
Permasalahan Lain Terkait Aqiqah
- Tata Cara Aqiqah
- Syarat Hewan Aqiqah
- Waktu Pelaksanaan Aqiqah
- Niat Aqiqah
- Hukum Aqiqah
- Aqiqah Anak Kembar
- Aqiqah Diri Sendiri Setelah Dewasa
- Aqiqah Yang Sudah Meninggal
- Ceramah Aqiqah
- Acara Walimah Aqiqah
- Mematahkan Tulang Hewan Aqiqah
- Menjual Bagian Aqiqah
- Berhutang Untuk Aqiqah
- Aqiqah Anak diluar Nikah
- Menerima Amplop Uang / Kado
Demikian penjelasan singkat tentang pengertian aqiqah, sejarah dan hikmah disyariatkannya dalam Islam.
Artikel tentang aqiqah ini juga dapat menjadi materi khutbah jum’at singkat dengan beberapa perubah. Semoga bermafaat.
[i]Lihat:https://dorar.net/feqhia/3862/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A8%D8%AD%D8%AB%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%88%D9%84:%D8%AA%D8%B9%D8%B1%D9%8A%D9%81%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%82%D9%8A%D9%82%D8%A9
[ii] Riwayat hadits yang menggunakan kata penghubung “عن” (dari) pada mayoritas mata rantai sanadnya tanpa adanya penegasan dengan lafal “telah menceritakan kepada kami” (حَدَّثَناَ/haddatsanâ). Apabila para perawinya tsiqat (terpercaya) tidak jadi masalah. Tetapi kalau perawi pertama atau salah satu perawi yang meriwayatkan hadits tersebut adalah seorang mudallis, maka riwayat hafits tersebut diklasifikasikan sebagai hadits dha’if. Lihat: Ma’rifatu ulumil hadits karya Al Hakim An Naisaburi, halaman: 78, penerbit Darul Kutub Al-ilmiyyah 1977 M-1397 H, pent.)
[iii] Periwayatan dengan lafal: “telah menceritakan kepada kami” (حَدَّثَناَ)
[iv] Lihat: Ensiklopedi Aqiqah, karya Dr. Husamudin bin Musa ‘Afanah. Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta, 2010. Hal. 19-22.
[v]Lihat:https://dorar.net/feqhia/3864/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A8%D8%AD%D8%AB%D8%A7%D9%84%D8%AB%D8%A7%D9%86%D9%8A:%D8%AA%D8%B3%D9%85%D9%8A%D8%AA%D9%87%D8%A7%D8%A8%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%82%D9%8A%D9%82%D8%A9
[vi]Lihat:https://dorar.net/feqhia/3874/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A8%D8%AD%D8%AB%D8%A7%D9%84%D%D8%A7%D9%86%D9%8A:%D8%A7%D9%84%D8%AD%D9%83%D9%85%D8%A9%D9%5%D9%86%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%82%D9%8A%D9%82%D8%A9
[vii] Hewan sembelihan yang disembelih mengikuti pelaksanaan haji qiran (umrah yang dilaksanakan secara langsung setelah pelaksanaan ibadah haji) atau tanathu’ (haji yang dahului oleh pelaksanaan umrah, pent)
[viii] Lihat: Ensiklopedi Aqiqah, karya Dr. Husamudin bin Musa ‘Afanah. Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta, 2010. Hal. 53-56.