Hadits Shahih Dan Contohnya – Hadits bila dilihat dari kuat lemahnya, terbagi menjadi hadits maqbul dan mardud. Hadits maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat untuk dapat diterima sebagai dalil hukum dan landasan beramal.
Artikel Pengertian Hadits Shahih Dan Contohnya mencakup arti bahasa, definisi istilah, pembagian shahih lidzatihi & shahih lighairihi, penjelasan syarat hadis shahih.
Sedangkan hadits mardud adalah sebaliknya. Hadits yang tertolak, tidak memenuhi syarat qabul. Hadits maqbul ini terdiri dari hadits shahih dan hasan. Sedangkan hadits mardud dinamai juga dengan hadits dha’if.
Tulisan berikut ini membahas tentang hadits shahih, pengertiannya, hukumnya, pembagiannya, serta contoh-contohnya.
Pengertian Hadits Shahih Adalah
Pengertian hadits shahih dilihat dari segi bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:
Arti shahih secara bahasa
Secara bahasa, kata الصَّحيحُ ash – shahih (sehat) berarti lawan dari kata السقيم as-saqiim (sakit). Shahih berarti terbebas dari segala aib dan keraguan.
Adapun ungkapan أرض صحيحة ardhun shahihah berarti tidak ada wabah di wilayah tersebut dan tidak banyak penyakit di dalamnya.
Dalam kitab Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa syair yang shahih berarti syair yang bebas dari kekurangan, sedangkan perkataan yang shahih berarti perkataan yang bisa dijadikan pegangan atau sandaran.[i]
Definisi Hadits Shahih secara istilah
Adapun definisi hadits shahih secara istilah, ada banyak definisi yang diberikan para ulama hadits. Di antara yang paling terkenal adalah definisi yang diberikan oleh Imam Ibnu Ash-Shalah:
هو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا ولا معللا
”Hadits yang bersambung sanadnya dengan dinukilkan oleh perawi yang adil lagi dhabith dari perawi yang adil dan dhabith juga, hingga ke akhir sanadnya, serta hadits tersebut tidak syadz, juga tidak memiliki ‘illah (cacat).” [Lihat Ulumul Hadits: 11-12][ii]
Yang dimaksud dengan dhabith, secara bahasa merupakan isim fa’il dari ضَبَطَ – يَضْبطُ dhabatha – yadhbithu yang berarti menghafalnya dengan pasti.
Adapun secara istilah, Dhabith adalah perawi yang riwayatnya sesuai dengan riwayat-riwayat perawi tsiqat yang dhabith dalam lafazh atau dalam makna walau secara umum. Dengan kata lain dhabit adalah hafizh yang teliti.[iii]
Baca juga: Pengertian Hadits Hasan
Syarat & Kriteria Hadits Shahih
Dari pengertian hadits shahih tersebut menjadi jelas bahwa syarat-syarat shahih yang wajib dipenuhi agar suatu hadits itu menjadi shahih ada lima buah:
- Sanad yang bersambung.
- Para perawinya adil.
- Para perawinya dhabith.
- Tidak mempunyai ‘illah (cacat).
- Tidak ada syadz.
Apabila salah satu dari lima syarat ini tidak ada , maka hadits terebut tidak dinamakan sebagai hadits shahih.[iv]
Penjelasan dari syarat-syarat hadits shahih di atas adalah sebagai berikut:
1. Sanad hadits harus bersambung.
Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima hadits secara langsung dari perawi yang berada di atasnya dari awal sampai akhir sanad dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai sumber hadits tersebut.
Hadits-hadits yang tidak bersambung sanadnya tidak dapat disebut hadits shohih, yaitu seperti hadits Munqathi’, Mu’dhal, Mu’allaq, Mudallas dan lain-lainnya yang sanadnya tidak bersambung.
2. Perawinya adil
‘Adalah Ruwat atau Setiap perawi hadits tersebut harus bersifat adil. Yaitu memenuhi kriteria: Muslim, baligh, berakal, taat beragama, tidak melakukan perbuatan fasik dan tidak rusak muruahnya.
3. Perawinya dhabith
Artinya perawi hadits tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadits, memahami apa yang ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima hadits tersebut sampai pada masa ketika ia meriwayatkannya.
Atau, ia mampu memelihara hadits yang ada di dalam catatannya dari kekeliruan atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan dan sebagainya yang dapat mengubah hadits tersebut.
Ke-dhabith-an seorang perawi dengan demikian dapat dibagi menjadi dua, yaitu dhabith shadran (kekuatan ingatan atau hafalannya) dan dhabith kitaaban (kerapian dan ketelitian tulisan atau catatannya).
4. Hadits tersebut tidak syadz
Artinya hadits tersebut tidak menyalahi riwayat perawi yang lebih tsiqat dari dirinya. (Baca selengkapnya: Pengertian Hadits Syadz)
5. Hadits tersebut tidak memiliki ‘illah (cacat)
Hadits tersebut selamat atau bebas dari ‘illah yang merusak. Yang dimaksud dengan ‘illah dalam suatu hadits adalah sesuatu yang sifatnya samar-samar atau tersembunyi yang dapat melemahkan hadits tersebut.
Sepintas terlihat seperti hadits shahih. Namun apabila diteliti lebih lanjut akan terlihat cacat yang merusak hadits tersebut.
Umpamanya, hadits Mursal dan Munqathi’ (terputus sanadnya), dinyatakan sebagai hadits Maushul (bersambung sanadnya), atau hadits Mauquf dinyatakan sebagai hadits Marfu’ dan sebagainya.[v]
Hukum Hadits Shahih
Mengenai hukum hadits shahih Dr. Sayyid Abdul Majid Al-Ghouri mengatakan, ”Wajib beramal dengan hadits shahih berdasarkan ijma’ para ahli hadits dan ahli Ushul Fikih serta para Fuqaha yang telah menjadi panutan.
Hadits merupakan salah satu hujjah syara’. Tidak seorang Muslim pun yang boleh meninggalkan beramal dengan hadits shahih.” [Lihat Taisir Mushthalah Al-Hadits: 34-36][vi]
Pembagian Hadits Shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua macam, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
– Hadits Shahih Lidzatihi
Hadits Shahih Lidzatihi Yaitu hadits yang mencapai derajat shahih dengan dirinya sendiri tanpa membutuhkan kepada dukungan untuk menguatkannya.[vii]
Dengan kata lain, bila sebuah hadits dapat memenuhi lima syarat hadits shahih secara sempurna berupa sanad yang bersambung, perawinya adil, perawinya dhabith, tidak syadz dan tidak memiliki ‘illah maka hadits tersebut dinamakan dengan shahih lidzatihi.[viii]
– Hadits Shahih Lighairihi
Pada asalnya, hadits shahih lighairihi merupakan hadits hasan lidzatihi yang diriwayatkan dari sanad yang lain yang sama kedudukannya atau lebih kuat kedudukannya darinya dengan lafazh yang sama atau makna yang sama.
Maka, dengan sebab keberadaan sanad yang lain ini, telah menguatkannya dan menaikkannya dari derajat hasan menuju ke derajat shahih dan dinamakan dengan shahih lighairihi.[ix]
Contoh Hadits Shahih Arab dan Artinya
Berikut contoh hadis shahih lidzatihi dan hadis shahih lighairihi:
Contoh Hadits Shahih / Shahih Lidzatihi
Untuk memperjelas, berikut ini contoh dari hadits shahih lidzatihi:
– Hadits Shahih Tentang Nabi ﷺ membaca surat ath-Thur saat shalat Maghrib
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya, ia berkata,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
”Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata, ‘Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya, ia berkata, ”Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ dalam shalat Maghrib membaca “Ath-Thur.”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya, dalam Kitab Al-Adzan, no. 765]
Hadits di atas dapat dinyatakan sebagai hadits shohih karena telah memenuhi syarat-syarat ke -shahih-an suatu hadits sebagaimana terlihat dalam keterangan berikut:
- Sanad hadits tersebut bersambung.
Dalam hal ini masing-masing perawinya mendengar langsung dari gurunya. Adapun penggunaan ‘an’anah (yaitu “dari” dalam sanad hadits) yang digunakan oleh Malik, Ibnu Syihab dan Ibnu Jubair itu dihukumkan sebagai bersambung, disebabkan perawi-perawi tersebut tidak bersifat mudallis (menyembunyikan keburukan sanad).
- Para perawi hadits tersebut adalah adil dan dhabith.
Hal tersebut telah diteliti oleh para ulama Jarh wa Ta’dil, dengan perincian keterangannya sebagai berikut:
- Abdullah bin Yusuf adalah orang yang tsiqah dan mutqin.
- Malik bin Anas: Imam, Hafizh.
- Ibnu Syihab Az-Zuhri: Faqih, Hafizh, disepakati kebesarannya dan kesempurnaan keahliannnya (itqan).
- Muhammad bin Jubair: Tsiqah.
- Jubair bin Muth’im: sahabat nabi ﷺ . Para sahabat telah disepakati oleh para ahli hadits sebagai orang yang adil.
- Hadits tersebut tidak syadz karena tidak dijumpai hadits lain yang lebih kuat yang berlawanan dengannya.
- Tidak terdapat ‘illah sama sekali di dalam hadits tersebut.[x]
Contoh Hadits Shahih Lighairihi
Berikut ini satu contoh hadits shahih lighairihi mudah-mudahan bisa memberikan gambaran yang lebih jelas:
- Hadits tentang orang yang paling berhak mendapat kebaktian terbaik
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad-nya, dia berkata,
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا بَهْزٌ بْنُ حَكِيمِ حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ جَدِّى قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ
“Telah bercerita kepada kami Yahya bin Sa’id, ia berkata,’Telah bercerita kepada kami Bahz bin Hakim,’ Ia berkata,’Ayahku telah menceritakan kepadaku dari kakekku, ia berkata, ”Aku bertanya,
”Wahai Rasulullah ! Siapakah orang yang aku harus paling berbakti kepadanya?” Rasulullah ﷺ menjawab, ”Ibumu.” Aku bertanya lagi, ”kemudian siapa?” Rasulullah ﷺ menjawab, ”Kemudian Ibumu.”
Aku bertanya lagi, ”Lalu siapa lagi?” Rasulullah ﷺ menjawab, ”Ibumu kemudian ayahmu kemudian yang paling dekat kekerabatannya denganmu dan yang di bawah itu.”
Hadits ini sanadnya bersambung, tidak ada syadz di dalamnya serta tidak ada ‘illah yang merusak karena tidak terdapat dalam rangkaian ini ikhtilaf apa pun di antara para perawi dan tidak pula dalam matan.
Imam Ahmad dan syaikhnya, yaitu Yahya bin Sa’id Al-Qathan adalah dua orang imam yang agung. Bahz bin Hakim termasuk orang yang jujur dan memelihara diri (Ahlus Shidqi wa Ash -Shiyanah) sehingga Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, An-Nasai dan yang lainnya menyatakannya sebagai orang yang tsiqah.
Namun para ulama mendapati adanya masalah dalam sebagian hadits yang dia riwayatkan sehingga Syu’bah bin Al-Hajjaj berbicara tentang dirinya disebabkan oleh hal tersebut.
Namun hal ini tidak menghilangkan sifat dhabth. Hanya dirasakan dhabth-nya kurang. Al-‘Ajliyy dan Ibnu Hibban menyatakan Hakim ayah Bahz itu orangnya tsiqah. An-Nasa’i berkata, ”Laisa bihi Ba’sun.” (ini ungkapan dalam Jarh dan Ta’dil yang kurang lebih berarti: tidak ada masalah dengan dirinya.)
Maka hadits Bahz tersebut menjadi Shahih lighairihi.
Yang jelas, sesungguhnya orang yang kurang jelas yang bertanya kepada Nabi ﷺ adalah Muawiyah kakek dari Bahz.
Telah diriwayatkan penggunaan “مَنْ أَبَرُّ ” di sebagian jalurnya dalam riwayat Muslim. Sehingga menguatkan hadits Bahz ini dengan riwayat Muslim tersebut. Maka hadits ini menjadi Shahih Lighairihi.”[xi]
Yang dimaksud dengan dhabth (bukan dhabith) menurut para ahli hadits adalah seorang perawi yang disifati dengan sifat sadar dan tidak lalai, hafal apabila menyampaikan dari hafalannya, itqan (sangat bagus/sempurna) bila menyampaikan dari kitabnya, serta menguasai makna jika meriwayatkan hadits tanpa lafazhnya. [Lihat At-Tabshirah wa At-Tadzkirah 1/293 dan Tadrib Ar-Rawi 1/201 dan Fathul Mughits 1/ 286][xii]
Urutan Riwayat Hadits Shahih
Sebagian ulama hadits membagi tingkatan hadits shahih berdasarkan kepada kriteria yang dipedomani oleh para Mukharrij (perawi terakhir yang membukukan ) hadits shahih tersebut kepada tujuh tingkatan, yaitu:
- Hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim.
- Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja.
- Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim saja.
- Hadits yang diriwayatkan menurut persyaratan Al-Bukhari dan Muslim.
- Hadits yang diriwayatkan menurut persyaratan Al-Bukhari.
- Hadits yang diriwayatkan menurut persyaratan Muslim.
- Tingkatan selanjutnya adalah hadits shahih menurut imam-imam hadits lainnya yang tidak mengikuti syarat Al-Bukhari dan Muslim, seperti Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. [Taisir Musthalah Al- Hadits, Ath-Thahan: 42-42][xiii]
Tanya Jawab Seputar Hadits Shahih:
Pertanyaan berikut ini sering dicari jawabnya oleh sebagian kalangan. Untuk itu, kami coba untuk memberikan penjelasan tentang masalah tersebut.
Apa maksud Ini hadits shahih atau Tidak shahih?
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menjawab pertanyaan tentang perbedaan antara ungkapan ini hadits shahih dan hadits ini isnadnya shahih, beliau menjawab,
”Para ahli hadits (muhaddits) telah menetapkan bahwa hadits shahih yang secara umum diyakini kepastian penisbahannya kepada Nabi ﷺ adalah hadits yang terkumpul padanya lima syarat berikut:
- Masing-masing perawinya adil.
- Masing-masing perawinya dhabith.
- Sanadnya bersambung dari awal sanad hingga akhir sanad.
- Hadits tersebut selamat dari syadz dalam sanad maupun matannya.
- Hadits tersebut selamat dari ‘illah (cacat) dalam sanad maupun matannya.”
Sedangkan hadits dikatakan isnadnya shahih bila hadits tersebut memenuhi tiga syarat pertama dari hadits shahih di atas dan tidak mencakup syarat keempat dan kelima.[xiv]
Sedangkan yang dimaksud dengan ungkapan hadits ini ghairu shahih maksudnya menurut para ahli hadits adalah hadits yang belum memenuhi syarat-syarat keshahihan hadits atau hasan, pada kedua jenis dari hadits hasan atau shahih tersebut secara zhahir.
Ungkapan tersebut bukanlah berarti hadits tersebut telah dipastikan ketidakshahihannya pada tataran realita karena bisa jadi seorang pendusta itu kadang bicara benar dan orang yang banyak keliru itu kadang tepat kata-katanya. [Lihat: Hasyiyah Ar-raf’u wa at-takmil hal. 189][xv]
Demikianlah pembahasan tentang hadits shahih dan contohnya. Semoga bermanfaat. Bila ada kebenaran dalam tulisan ini maka itu dari Allah Ta’ala karena rahmat dan fadhilah-Nya.
Dan bila ada kesalahan di dalamnya maka dari kami dan setan. Semoga Allah Ta’ala mengampuni semua kesalahan kami dan kaum Muslimin.
[i] Mu’jam Al-Musthalah Al-Haditsiyyah, Dr. Sayyid Abdul Majid Al-Ghouri, Dar Ibni Katsir, Beirut, 1428 H / 2007 M, Cetakan pertama, hal. 437.
[ii] Ibid.
[iii] Ibid, hal. 453.
[iv] Ibid. hal. 438.
[v] Ulumul Hadis, Dr. Nawir Yuslem, M.A., hal. 220-221.
[vi] Mu’jam Al-Musthalah Al-Haditsiyyah, Dr. Sayyid Abdul Majid Al-Ghouri, Dar Ibni Katsir, Beirut, 1428 H / 2007 M, Cetakan pertama, hal. 438.
[vii] Mu’jam Al-Musthalah Al-Haditsiyyah, Dr. Sayyid Abdul Majid Al-Ghouri, Dar Ibni Katsir, Beirut, 1428 H / 2007 M, Cetakan pertama, hal. 441.
[viii] Ulumul Hadits, Dr. Nawir Yuslem,M.A., hal. 221.
[ix] Mu’jam Al-Musthalah Al-Haditsiyyah, Dr. Sayyid Abdul Majid Al-Ghouri, Dar Ibni Katsir, Beirut, 1428 H / 2007 M, Cetakan pertama, hal. 442.
[x] Lihat: Mu’jam Al-Musthalah Al-Haditsiyyah, Dr. Sayyid Abdul Majid Al-Ghouri, Dar Ibni Katsir, Beirut, 1428 H / 2007 M, Cetakan pertama, hal. 438-439 dan Ulumul Hadis, Dr. Nawir Yuslem, M.A., hal. 222-223.
[xi] Lihat: Mu’jam Al-Musthalah Al-Haditsiyyah, Dr. Sayyid Abdul Majid Al-Ghouri, Dar Ibni Katsir, Beirut, 1428 H / 2007 M, Cetakan pertama, hal. 442.
[xii] Ibid, hal. 454.
[xiii] Ulumul Hadits, Dr. Nawir Yuslem, M.A., hal. 224-225.
[xiv]https://islamqa.info/ar/answers/122507/%D8%A7%D9%84%D9%81%D8%B1%D9%82%D8%A8%D9%8A%D9%86%D9%82%D9%88%D9%84%D9%87%D9%85%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB%D8%B5%D8%AD%D9%8A%D8%AD%D9%88%D9%82%D9%88%D9%84%D9%87%D9%85%D8%A7%D8%B3%D9%86%D8%A7%D8%AF%D9%87-%D8%B5%D8%AD%D9%8A%D8%AD.
[xv] Mu’jam Al-Musthalah Al-Haditsiyyah, Dr. Sayyid Abdul Majid Al-Ghouri, Dar Ibni Katsir, Beirut, 1428 H / 2007 M, Cetakan pertama, hal. 306.