Pengertian Hadits Dhaif dan Contohnya, Hukum, & Tingkatannya

Hadits dha’if adalah hadits mardud yaitu hadits yang tidak diterima atau tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum.

Tulisan berikut ini akan mengulas secara ringkas tentang pengertian hadits dha’if dari segi bahasa maupun istilah, tingkatan hadits dha’if, contohnya, hukum meriwayatkan dan mengamalkannya serta buku-buku terkenal yang ditulis ulama tentang hadits dha’if.

Pengertian Hadits Dhaif Adalah

Pengertian hadits dhaif arti bahasa dan istilah definisi hadis dhoif

Pengertian hadits dha’if secara bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:

Arti Dhaif Secara Bahasa

Kata ضَعِيْف ‘dha’if yang artinya lemah, lesu, rubuh, tidak bersemangat, mati kutu, tak berdaya[i] merupakan lawan kata (antonim) dari قَوِيّ – Qowiyy yang berarti yang kuat, kuasa, mampu, keras, bertenaga, potensial, kokoh, perkasa, sempurna, tabah, keras, kejam, intensif, tekun.[ii]

Definisi Hadits Dhaif Secara Istilah

Pengertian hadits dha’if menurut istilah para ulama hadits adalah

هو كل حديث لم تجتمع فيه صفات القبول

“Setiap hadits yang tidak terhimpun di dalamnya sifat-sifat qabul.”

atau menurut sebagian besar ulama hadits adalah

هو ما يجمع صفة الصحيح والحسن

“Hadits yang tidak menghimpun sifat shahih dan hasan.”

dan dalam redaksi Ibnu Shalah disebutkan:

هو كل حديث لم تجتمع فيه صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث الحسن

“Hadits dha’if adalah setiap hadits yang tidak terhimpun padanya sifat-sifat hadits shahih dan tidak pula sifat-sifat hadits hasan.”[iii]

Baca juga: Definisi Hadits Shahih Adalah

Tingkatan Hadits Dhaif

Tingkatan hadits dhaif menurut ulumul hadits

Syaikh Manna’ Al-Qathan mengatakan bahwa hadits dha’if itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat kelemahan para perawinya dan kesamarannya. Jadi, tingkatannya adalah:

  1. Dha’if (lemah)
  2. Dha’if jiddan lemah sekali)
  3. Al-Wahi
  4. Munkar
  5. Maudhu’. ini hadits dha’if yang paling buruk.[iv]

Baca juga: Pengertian Hadits Hasan dan Contohnya

Contoh Hadits Dha’if

Contoh hadits dhaif arab disertai terjemahan arti dan sanadnya lengkap

Berikut ini contoh dari hadits dha’if:

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ahmad rahimahumallah dari jalur Darraj bin Sam’an dari Abu Al-Hutsaim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,” Rasulullah ﷺ beliau bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ

“Bila kalian melihat seorang lelaki yang biasa ke masjid maka saksikanlah bahwa dia orang beriman.”

Syaikh Dr. Abdulah bin Hamud Al Farih mengatakan, “Bila hadits ini dicermati dan dikaji isnadnya dan tingkat dhabth (keakurasian /ketelitian dalam meriwayatkan) dari para perawinya, kita akan dapati ini adalah hadits dha’if.

Hal ini karena di dalam isnadnya ada Darraj. Dia dha’if dalam riwayatnya dari Abu Hutsaim. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang Darraj dalam kitabnya At – Taqrib,”Dia shaduq (Perawi yang jujur terhadap apa yang diberitakan). Dalam haditsnya dari Abu Hutsaim dha’if.” [v]

Hukum Meriwayatkan Hadits Dhaif

Hukum meriwayatkan hadits dhaif menurut ulama

Menurut para ahli hadits dan yang lainnya, boleh meriwayatkan hadits-hadits dha’if dengan mempermudah sanad-sanadnya tanpa ada penjelasan kedha’ifannya, kecuali hadits-hadits maudhu’. Tidak boleh meriwayatkan hadits maudhu’ kecuali harus disertai penjelasan keadaannya. Itu pun dengan dua syarat:

  1. Tidak terkait dengan perkara akidah, seperti sifat-sifat Allah.
  2. Tidak dalam posisi menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkait dengan masalah halal dan haram.

Jadi boleh meriwayatkan hadits-hadits dha’if dalam hal , misalnya, peringatan-peringatan, targhib (dorongan untuk beramal shaleh), tarhib (ancaman-ancaman), kisah-kisah dan sejenisnya.

Di antara ulama yang mempermudah periwayatan hadits-hadits dha’if adalah Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi dan AHmad bin Hanbal.

Perlu diperhatikan, jika anda meriwayatkan suatu hadits tanpa sanad, hendaknya anda jangan mengatakan,”Rasulullah ﷺ telah bersabda demikian dan demikian..” tapi hendaknya anda mengatakan,”Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ demikian dan demikian.”

Atau, “Telah sampai kepada kami begini dan begini..” atau yang semacam itu, agar tidak memastikan hadits tersebut dinisbahkan kepada Rasulullah ﷺ sementara anda tidak mengetahui kedha’ifannya.[vi]

Hukum Mengamalkan Hadits Dho’if

Hukum mengamalkan hadits dhaif yang boleh diamalkan

Para ulama berbeda pendapat dalam persoalan mengamalkan hadits dha’if. Jumhur ulama berpendapat bolehnya mengamalkan hadits dha’if dengan tiga syarat:

  1. Haditsnya tidak keterlaluan dha’ifnya (syadiid ad-dha’f).
  2. Haditsnya masih termasuk ke dalam cakupan pokok yang bisa diamalkan.

Misalnya, hadits dha’if yang menghasung untuk berbakti kepada kedua orang tua atau shalat jamaah. Hadits semacam ini meskipun dha’if namun masih berada di bawah cakupan hadits-hadits shahih dalam keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan shalat jamaah.

  1. Pada saat mengamalkannya tidak diyakini kepastiannya dari Rasulullah ﷺ. Bila anda menyebutkan hadits ini tanpa sanad maka anda katakan, “Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ demikian..” dan ungkapan yang semacam itu. Hal ini agar tidak dipastikan penyandarannya kepada Rasulullah ﷺ . [vii]

Buku Tentang Hadits Dhaif

Buku yang membahas tentang hadits dhaif

Buku atau kitab yang terkenal yang membahas dan memuat tentang hadits dha’if:

  1. Kitab-kitab yang disusun untuk menjelaskan tentang hadits-hadits dha’if misalnya Adh-Dhu’afa’ karya Ibnu Hibban, Mizanul I’tidal karya Adz-Dzahabi. Mereka menyebutkan berbagai contoh hadits yang menjadi dha’if disebabkan perawinya dha’if.
  2. Kitab-kitab yang disusun secara khusus hanya berisi hadits-hadits dha’if. Misalnya yang mengumpulkan hadits-hadits mursal, ‘ilal, mudraj dan seterusnya. Seperti Al-Marasil karya Abu Daud dan al-‘Ilal karya Ad-Daruquthni.[viii]

Demikianlah pembahasan singkat tentang hadits dha’if. Semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Bila ada kebenaran dalam tulisan ini maka itu dari Allah semata karena rahmat dan fadhilah-Nya dan bila ada kesalahan di dalamnya maka dari kami dan setan. Semoga Allah Ta’ala berkenan mengampuni semua kesalahan kami dan kaum Muslimin.


[i] https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/%D8%A7%D9%84%D8%B6%D8%B9%D9%8A%D9%81/

[ii] https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/%D9%82%D9%88%D9%8A/

[iii] Lihat: Ulumul Hadits, Dr. Nawit Yuslem, MA. hal. 236-237.

[iv] Ulumul Hadits, Syaikh Manna’ Al-Qathan, hal. 116

[v] https://www.alukah.net/sharia/0/63249/

[vi] Lihat: Ilmu Hadits Praktis, Dr. Mahmud Thahhan. Hal. 78

[vii] https://www.alukah.net/sharia/0/63249/

[viii] Ilmu Hadits Praktis, Dr.mahmud Thahhan, hal. 78.

Leave a Comment