Hadits Maudhu’ atau hadits palsu menurut sebagian ulama merupakan salah satu jenis dari sekian jenis hadits dha’if. Jenis hadits sangatlah banyak.
Kajian Pengertian Hadits Maudhu / hadits palsu, kedudukannya, hukum meriwayatkan, hukum mengamalkan hadits maudhu, sejarah hadits maudhu, faktor pendorong munculnya hadits maudhu, cara mengetahui hadits maudhu, dan contoh hadits maudhu.
Menurut Imam Ibnu Hibban ada 49 jenis. Sebagian ulama tidak mengkategorikan hadits maudhu’ sebagai bagian dari hadits dha’if. Ulama yang masih mengkategorikan hadits maudhu’ sebagai hadits dha’if menyebutnya sebagai hadits dha’if yang paling buruk.
Tulisan berikut ini akan mengulas secara singkat tentang pengertian hadits maudhu’, sejarah kemunculannya, sebab yang mendorong kemunculannya, hukum meriwayatkan dan mengamalkannya serta contoh-contohnya yang populer di negeri kita.
Pengertian Hadits Maudhu’ Adalah
Pengertian hadits maudhu’ di tinjau dari segi bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:
Arti Maudhu’ secara Bahasa
الموضوع – al-maudhu’ – Secara bahasa adalah isim maf’ul dari وَضَـعَ يَضَـع yang memiliki beberapa arti, di antaranya:
- الإسقاط – Menggugurkan atau membatalkan
misalnya: وضع الجناية عنه ‘Menggugurkan tindak kejahatan dari dirinya.’
- الاختلاق والافتراء – mengada-ada atau merekayasa dan memalsukan, membuat-buat, mereka-reka
Misalnya, وضع فلان القصة ‘Si Fulan telah membuat cerita palsu atau mereka-reka cerita.’[i]
Pengertian Hadits Maudhu Secara Istilah
Dalam tinjauan istilah ilmu hadits yang dimaksud dengan hadits maudhu’ adalah suatu kedustaan dan kepalsuan yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ yang tidak pernah dikatakan atau ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ.[ii]
Kedudukan Hadits Maudhu’ / Hadits Palsu
Hadits maudhu’ merupakan hadits dha’if yang paling rendah dan paling buruk. Sebagian ulama malah mengangapnya terpisah, bukan bagian dari jenis-jenis hadits dha’if.[iii]
Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’ / Hadits Palsu
Para ulama sepakat bahwa hadits maudhu’ tidak boleh diriwayatkan bagi orang yang sudah mengetahui keadaannya atau statusnya kecuali jika disertai penjelasan mengenai statusnya sebagai hadits maudhu’.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Siapa yang menyampaikan suatu hadits dari padahal telah diketahui hadits itu dusta maka dia termasuk salah seorang pendusta.” [Hadits riwayat Muslim di dalam Mukadimah kitab Shahihnya]
Hukum Mengamalkan Hadits Maudhu / Hadits Palsu
Syaikh Khalid ‘Abdul Mun’im ar-Rifa’i mengatakan, “Tidak boleh beramal dengan hadits maudhu’ secara mutlak. Demikian pula dengan menceritakan hadits maudhu’. Kecuali dalam rangka untuk memperingatkan dari kepalsuan hadits tersebut dan menjelaskan keadaannya.
Hal ini berbeda dengan hadits dha’if yang tidak sampai ke tingkat maudhu’. Menurut sebagian dari ahli ilmu tetap diperbolehkan beramal dengan hadits dha’if dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama.[iv]
Baca juga: Hadits Matruk dan Contohnya
Sejarah Hadits Maudhu’ / Hadits Palsu
Pada abad kedua Hijriah, perkembangan ilmu pengetahuan Islam pesat sekali dan telah melahirkan para imam mujtahid di berbagai bidang. Di antaranya di bidang fikih dan ilmu kalam.
Pada dasarnya para imam mujtahid tersebut meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Akan tetapi, para pengikut masing-masing imam terutama setelah memasuki abad ke-3 hijriah berkeyakinan bahwa pendapat imamnyalah yang benar.
Bahkan hal tersebut sampai menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Di antara pengikut madzhab yang sangat fanatik akhirnya menciptakan hadits-hadts palsu dalam rangka mendukung madzhabnya dan menjatuhkan madzhab lawannya.
Di antara madzhab ilmu kalam, khususnya mu’tazilah, sangat memusuhi ulama hadits sehingga terdorong untuk menciptakan hadit-hadits palsu dalam rangka memaksakan pendapat mereka. Hal ini terutama setelah Khalifah Al-Makmun berkuasa dan mendukung golongan Mu’tazilah.
Perbedaan pendapat mengenai kemakhlukan al-Quran menyebabkan Imam Ahmad bin Hanbal seorang tokoh ulama hadits, terpaksa dipenjarakan dan disiksa.
Penciptaan hadits-hadits palsu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang fanatik madzhab, tetapi momentum pertentangan madzhab tersebut juga dimanfaatkan oleh kaum zindik yang sangat memusuhi Islam, untuk merusak ajaran Islam dan menyesatkan kaum Msulimin.
Kegiatan pemalsuan hadits ini semakin disemarakkan oleh para pembuat kisah yang dalam rangka menarik para pendengarnya juga melakukan pemalsuan hadits.[v]
Baca juga: Hadits Mutawatir dan Contohnya
Faktor Pendorong Munculnya Hadits Maudhu’ / Hadits Palsu
Ada banyak faktor yang memotivasi atau mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk membuat hadits palsu. Di antara faktor-faktor pendorong tersebut adalah sebagai berikut:
- Pertikaian politik.
- Perselisihan antar madzhab.
- Kezindiqan dan serangan terhadap agama Islam.
- Untuk bercerita dan memberikan nasehat.
- Memberi nasehat dan Mengingatkan manusia (memberikan tadzkirah)
- Sebagai mata pencaharian dan mencari uang.
- Fanatisme terhadap ras, kabilah, bahasa dan tanah air.
- Mendekatkan diri kepada para penguasa dan pemimpin.
- Kepentingan pribadi atau bertujuan untuk melakukan pembalasan terhadap seseorang atau kelompok tertentu.
- Mencari popularitas dan berbeda dari yang lain.[vi]
Cara Mengetahui Hadits Maudhu’ / Hadits Palsu
Hadits maudhu’ atau hadits palsu dapat diketahui melalui sejumlah cara berikut ini:
- Pengakuan si pembuat hadits maudhu’ / hadits palsu.
Seperti pengakuan Abu ‘Ishmah bi Abi Maryam bahwa dia telah membuat hadits-hadits maudhu’ / hadits palsu mengenai keutamaan surat-surat al-Quran dari Ibnu ‘Abbas.
- Diperoleh dari runutan pengakuannya.
Misalnya, jika ia menceritakan suatu hadits dari syaikhnya. Setelah ditanya kelahirannya, ternyata diketahui bahwa syaikhnya itu meninggal sebelum sang rawi lahir. Ditambah lagi bahwa hadits tersebut tidak dikenal kecuali melalui dirinya.
- Melalui indikasi sang perawi.
Misalnya, jika sang perawi adalah seorang Syiah rafidhah, sementara haditsnya berkaitan dengan keutamaan ahlul bait.
- Melalui indikasi pada haditsnya.
Misalnya, matan haditsnya memiliki lafazh-lafazh yang janggal atau bertentangan dengan panca indera atau bertentangan dengan nash-nash yang sharih (terang) dalam al-Quran.[vii]
Baca juga: Pengertian Hadits Masyhur
Contoh Hadits Maudhu’ dan Artinya
Berikut ini beberapa contoh dari hadits maudhu’ yang sering kita dapati di negeri kita. Kami mengambil contoh-contoh ini sebagian besar dari Buku Silsilah Hadits Dh’aif dan Maudhu’ Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, salah seorang ahli hadits terkemuka abad 20 dan dari beberapa sumber lainnya.
1. Hadits Maudhu / Hadits Palsu Tentang Jihad
رجعنا من الجهاد الأصغر، إلى الجهاد الأكبر
Roja’na min jihadil ashghor ila jihadil akbar
“Kita telah pulang dari jihad ashghor (yang paling kecil) menuju kepada jihad akbar (yang paling besar).”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “ini adalah ucapan Ibrahim bin ‘Ablah (seorang Tabi’in) dan bukan hadits.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam Al-Fatawa juz 11 halaman 197 mengatakan, “Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian dari mereka bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam peran Tabuk:
رجعنا من الجهاد الأصغر، إلى الجهاد الأكبر
“Kita telah pulang dari jihad ashghor (yang paling kecil) menuju kepada jihad akbar (yang paling besar).”
ini tidak ada sumbernya. Tidak seorang pun yang memiliki pengetahuan (ma’rifah) memandangnya sebagai sabda Nabi ﷺ dan perbuatannya.”[viii]
2. Hadits Maudhu / Hadits Palsu Tentang Mencari Rezeki
إنَّ اللهَ يحبُّ أن يرى عبدَه تعبًا في طلبِ الحلالِ
Inalloha yuhibbu an yaro ‘abdahu ta’iban fi tholabil halal
“Sesungguhnya Allah suka melihat hamba-Nya yang lelah dalam mencari rezeki yang halal.”
Riwayat hadits tersebut maudhu’. Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan bahwa dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Sahl Al-Aththar. Ad-Daruquthni menyatakan bahwa al-Aththar adalah pemalsu hadits. [Silsilah Hadits Dha’if Jilid 1, Muhammad Nashirudin Al-Albani, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hadits no 10. hal 41]
3. Hadits Maudhu / Hadits Palsu Tentang Cinta Tanah Air
حب الوطن من الإيمان
“Mencintai tanah air sebagian dari iman.”
Dinyatakan oleh Ash-Shaghani bahwa hadits ini maudhu’. Disamping itu maknanya tidak benar. Sebab mencintai tanah air sama dengan mencintai jiwa raga dan harta benda. Itu adalah hal yang naluriah bagi setiap insan dan tidak perlu diagung-agungkan.
Apalagi dikatakan termasuk sebagian dari iman. Kita dapat melihat bahwa rasa cinta tanah air ini tidak ada bedanya antara orang mukmin dengan orang kafir.
[Silsilah Hadits Dha’if Jilid 1, Muhammad Nashirudin Al-Albani, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hadits no 36. hal 56]
4. Hadits Maudhu / Hadits Palsu Tentang Ikhtilaf Ummat
Hadits ikhtilaf ummat merupakan salah satu hadits palsu yang sangat populer.
اختلاف أمتي رحمة
“Perselisihan (ikhtilaf) di antara umatku adalah rahmat.”
Hadits ini tidak ada sumbernya. Imam As-Subki mengatakan, “Hadits tersebut tidak dikenal di kalangan para pakar hadits dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang shahih, dha’if ataupun maudhu’
Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ahkam fi Ushulil Ahkam V/64 menyatakan, “Ini bukan hadits.” [Silsilah Hadits Dha’if Jilid 1, Muhammad Nashirudin Al-Albani, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hadits no. 57. hal 68-69]
5. Hadits Maudhu / Hadits Palsu Tentang Mengenal Diri Sendiri
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu
“Barang siapa mengenal dirinya, berarti ia telah mengenal Tuhannya.”
Hadits ini tidak ada sumbernya menurut Imam Nawawi. Ibnu Taimiyah menyatakan ini hadits maudhu’.
[Silsilah Hadits Dha’if Jilid 1, Muhammad Nashirudin Al-Albani, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hadits no. 66, hal. 78]
6. Hadits Maudhu / Hadits Palsu Tentang Tafakkur
Hadits tentang tafakkur ini, kadang disampaikan dalam khutbah tentang keutamaan tafakkur tanpa penjelasan status haditsnya oleh para khatib. Padahal hadits tentang tafakkur ini merupakan salah satu contoh hadits maudhu atau hadits palsu.
فكرة ساعة خير من عبادة ستين سنة
Fikroh sa’ah khoirun min ‘ibadati sittiina sanah.
“Berfikir sesaat lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun.”
Hadits ini maudhu’. Diriwayatkan oleh Ibnul jauzi dalam kitab al-Maudhu’at dengan sanad dari Utsman bin Abdullah al-Qurasyi dari ishaq bin Najih al-Multhi, dari atha’ Al-Khurasani dari Abu Hurairah. Ibnul Jauzi berkata, “Utsman dan gurunya adalah pendusta.”
[Silsilah Hadits Dha’if Jilid 1, Muhammad Nashirudin Al-Albani, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hadits no. 173, hal. 157]
7. Hadits Maudhu / Hadits Palsu Tentang Terong
– ((عن أنس قال: قال النبي صلى الله عليه وآله: كُلوا الباذنجان وأكثروا منها؛ فإنها أول شجرة آمنتْ بالله عز وجل)).
الدرجة: موضوع
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Makanlah terong dan perbanyaklah (memakan) darinya, sebab terong adalah pohon yang pertama kali beriman kepada Allah. Derajat hadits ini adalah hadits maudhu / hadits palsu. [ix]
Masih banyak lagi hadits maudhu’ tentang terong. Selengkapnya, silahkan baca Hadits Palsu Tentang Terong
Tanya Jawab Seputar Hadits Maudhu’ / Hadits Palsu
Berikut ini beberapa pertanyaan seputara hadits maudhu’ / hadits palsu yang perlu kami jawab
– Apa Bahasa Arabnya Hadits Palsu
Bahasa arabnya hadits palsu adalah hadits maudhu’ (الحديث الموضوع). Pembahasan lengkapnya secara bahasa dan secara istilah sudah kami jelaskan diatas.
Demikianlah pembahasan singkat tentang hadits maudhu’. Semoga bermanfaat untuk menambah wawasan tentang persoalan ini.
Bila ada kebenaran dalam tulisan ini maka dari Allah semata karena rahmat dan fadhilah-Nya. Dan bila ada kesalahan di dalamnya maka dari kami dan setan. Semoga Allah Ta’ala berkenan mengampuni semua dosa kami dan kaum Muslimin.
Tulisan tentang hadits maudhu’ ini pertama kali diunggah pada 1 Oktober 2021
[i] http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/86.htm
[ii] Ibid.
[iii] Ilmu Hadits Praktis, Dr. Mahmud Thahhan, hal. 109.
[iv]https://ar.islamway.net/fatwa/37199/%D8%AD%D9%83%D9%85%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%85%D9%84%D8%A8%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB%D8%A7%D9%84%D8%B6%D8%B9%D9%8A%D9%81%D9%88%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%88%D8%B6%D9%88%D8%B9
[v] Ulumul Hadis, Dr. Nawir Yuslem, hal. 134.
[vi] http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/86.htm
[vii] Ilmu Hadits Praktis, Dr. Mahmud Thahhan, hal. 110.
[viii]https://binbaz.org.sa/fatwas/20033/%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB%D8%B1%D8%AC%D8%B9%D9%86%D8%A7%C2%A0%D9%85%D9%86%D8%A7%D9%84%D8%AC%D9%87%D8%A7%D8%AF%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B5%D8%BA%D8%B1%D8%A7%D9%84%D9%89%D8%A7%D9%84%D8%AC%D9%87%D8%A7%D8%AF%D8%A7%D9%84%D8%A7%D9%83%D8%A8%D8%B1
[ix] https://www.dorar.net/fake-hadith/295
Baca juga: Hadits Berlomba Dalam Kebaikan