Pengertian Hadits Maqthu’ dan Contohnya

Makalah pengertian hadits maqthu’ dan contohnya. Membahas definisi hadits maqthu’ menurut ulama, macam, hukum, contoh, serta cirinya.

Tulisan berikut membahas tentang hadits maqthu’, pengertiannya, perbedaannya dengan hadits munqathi; contoh-contohnya, penggunaan hadits maqthu’ untuk munqathi’ serta hukum berhujah dengan hadits maqthu’

Pengertian Hadits Maqthu’

Pengertian Hadits Maqthu' secara bahasa dan istilah

Berikut ini penjelasan dari kata maqthu’ dari segi bahasa dan pengertian hadits maqthu’ dari tinjauan ilmu hadits:

Arti Maqthu’ Secara Bahasa

Secara bahasa kata مَقْطوع maqthu’ adalah isim maf’ul (اسم المفعول) dari kata kerja قطَعَ (memotong /memutus). Kata قطَعَ merupakan lawan kata dari وَصَلَ (menyambung/bersambung). Jadi kata مَقْطوع maqthu’ secara bahasa berarti terputus atau tidak tersambung.[i]

Definisi Hadits Maqthu’ Secara Istilah

Adapun secara istilah, menurut Syaikh Manna’ Al-Qathan, pengertian dari hadits maqthu’ adalah,

ما أضيف إلى التابعي أو من دونه من قول أو فعل

”Perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada Tabi’i atau setelah Tabi’i.”[ii]

Dr. Nawir Yuslem, M.A. memberikan definisi hadits maqthu’ agak berbeda dengan Syaikh Manna’ Al-Qathan. Hadits Maqthu’ yaitu:

وهو الموقوف على التابعي قولا له أو فعلا

“Yaitu sesuatu yang terhenti (sampai) pada Tabi’i, baik perkataan maupun perbuatan tabi’i tersebut.”[iii]

Menurut Dr. Nawir Yuslem, hadits maqthu’ hanyalah perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada generasi Tabi’in saja. Bila disandarkan kepada generasi setelah Tabi’in bukan termasuk hadits maqthu’ menurut definisi ini.

Sedangkan Markazul Fatwa Qatar di bawah bimbingan syaikh Dr. Abdullah Al-Faqih memberikan tambahan sedikit terhadap definisi hadits maqthu’ sebagai berikut:

أما المقطوع فهو: ما أضيف إلى التابعي، أو من دونه من قول أو فعل، سواء اتصل السند إلى التابعي أو انقطع

“Adapun maqthu’ adalah perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada Tabi’i atau generasi setelah Tabi’i baik sanadnya bersambung kepada tabi’i tersebut ataukah terputus.”[iv]

Dr. Syed Abdul Majid Al-Ghouri memberikan definisi hadits maqthu’ sama persis dengan yang diberikan oleh Markaz Al-Fatwa Qatar tersebut.

Kemudian beliau menambahkan bahwa Al-Hafizh Ibnu Hajar telah memasukkan ke dalam al-Maqthu’ setiap yang disandarkan kepada generasi setelah para Tabi’in dari kalangan Tabi’ ut-tabi’in dan juga sesudah mereka.[v]

Perbedaan Maqthu dan Munqathi’

Perbedaan hadits Maqthu' dan Munqathi'

Syaikh Manna’ Al-Qathan menjelaskan perbedaan antara maqthu’ dengan munqathi’ sebagai berikut:

  • Maqthu’ itu merupakan sifat matan sedangkan munqathi’ itu merupakan sifat isnad. Jadi hadits maqthu’ itu bagian dari perkataan Tabi’i dan generasi setelah Tabi’i dan terkadang sanadnya bersambung hingga kepada Tabi’i tersebut.
  • Adapun Munqathi’ artinya isnad hadits tersebut tidak bersambung dan tidak ada hubungannya dengan matan.[vi]

Contoh Hadits Maqthu’

Contoh hadits maqthu fi'li dan qauli

Berikut ini contoh dari hadits maqthu’:

Maqthu’ Qauly

Yang dimaksud dengan maqthu’ qauly adalah suatu perkataan yang disandarkan kepada Ta’bi’in atau generasi setelahnya. Contohnya adalah sebagai berikut:

  1. Seperti kata-kata Al-Hasan Al-Bashri (ulama Tabi’in) berkaitan dengan persoalan shalat di belakang seorang pelaku bid’ah (menjadi makmum pelaku bid’ah):

صلِّ وعليه بدْعَتُهُ

”Shalatlah. Dosa bid’ahnya itu hanya kepada dirinya.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya secara mu’allaq. Lihat hadits no. 695][vii]

  1. Dari Mundzir dari Ar-Rabi’ bin Khutsaim (ulama Tabi’in) diriwayatkan bahwa ia berkata,

  كُلُّ مَا لا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عز وجل يَضْمَحِلُّ

”Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari wajah Allah, pasti akan sia-sia.” [Sifatush-Shafwah, 3/61][viii]

  1. Dari Yahya bin Sa’id diriwayatkan bahwa ia berkata,”Aku pernah mendengar Al-Qasim (ulama besar Tabi’in) berkata,

ما نعلم كل ما نسأل عنه؛ ولئن يعيش الرجل جاهلًا بعد أن يعرف حق الله تعالى عليه خير له من أن يقول ما لا يعلم.

”Kami tidak bisa mengetahui segala persoalan yang ditanyakan kepada kami. Apabila seseorang sudah menunaikan kewajibannya kepada Allah, lalu ia hidup sebagai orang bodoh, itu lebih baik daripada ia mengatakan sesuatu yang tidak dia ketahui (bicara tanpa ilmu) .” [Shifatush-Shafwah 2/89][ix]

  1. Sulaiman at-Taimi berkata,”Al-Ahnaf (Tokoh ulama Tabi’in) berkata,

ثلاث في ما أذكرهن إلا لمعتبر ما أتيت باب سلطان إلا أن أدعى، ولا دخلت بين اثنين حتى يدخلاني بينهما، وما أذكر أحدا بعد أن يقوم من عندي إلا بخير

”Ada tiga prinsip yang hanya kukatakan kepada orang yang mau mengambil pelajaran: Aku hanya memasuki pintu penguasa bila dipanggil. Aku hanya mencampuri urusan dua orang yang berselisih bila aku dilibatkan. Dan aku hanya mengatakan tentang kebaikan kepada orang yang telah duduk bersamaku.” [Siyaru A’lamin Nubala 4/92].[x]

  1. Dari Wahhab bin Munabbih (ulama Tabi’in) diriwayatkan bahwa ia berkata,

احفظوا عني ثلاثًا: إياكم وهوى متبعًا، وقرين سوء، وإعجاب المرء بنفسه

”Jagalah tiga hal dariku ini: waspadalah kalian dari hawa nafsu yang diperturutkan, lalu teman yang buruk dan keterpukauan (rasa takjub) seseorang terhadap dirinya sendiri.” [Siyaru A’lamin Nubala’: 4/549][xi]

Maqthu’ Fi’li

Pengertian dari Maqthu’ fi’li adalah suatu perbuatan yang disandarkan kepada Tabi’in atau generasi sesudahnya. Contohnya adalah sebagai berikut:

  1. Seperti kata-kata Ibrahim bin Muhammad al-Muntasyir:

كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله ثم يقبل على صلاته ويخليهم ودنياهم

”Masruq (Ulama Tabi’in) selalu memanjangkan tirai penutup antara dirinya dan keluarganya. Lalu beliau berfokus untuk melaksanakan shalat dan membiarkan keluarganya dengan dunia mereka.” [Lihat: Hilyah Al-Auliya’: 2/96][xii]

  1. Dari Sufyan ia berkata,”Murayyah Ar-Rabi’ bin Khutsaim pernah berkata kepadaku,

 كان عمل الربيع كله سرا ، إن كان ليجيء الرجل وقد نشر المصحف فيغطيه بثوبه

”Amal Ar-Rabi’ seluruhnya dilakukan dengan diam-diam. Bilamana seseorang datang, sementara beliau tengah membaca Al-Quran, beliau segera menutupi mushafnya dengan bajunya.” [Shifatush Shafwah, 3/ 61][xiii]

  1. Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali diriwayatkan bahwa ia berkata,

كان علي بن الحسين : يحمل جراب الخبز على ظهره بالليل فيتصدق به ، ويقول : إن صدقة السر تطفئ غضب الرب عز وجل .

”Dahulu Ali bin Al-Husain biasa memanggul karung roti (makanan pokok bangsa Arab) di atas punggungnya di setiap malam untuk disedekahkan. Dan beliau pernah berkata,”Sesungguhnya sedekah yang dilakukan secara diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.” [Shifatush-Shafwah: 2/96][xiv]

  1. Dari Bustham bin Muslim diriwayatkan bahwa ia berkata,

كان محمد بن سيرين إذا مشى معه رجل قام وقال ألك حاجة فإن كان له حاجة قضاها فإن عاد يمشى معه قام فقال له ألك حاجة.

Muhammad bin Sirin apabila ada orang yang berjalan bersamanya, beliau akan berhenti dan bertanya,”Ada yang bisa saya bantu?”

Apabila ada, beliau segera memenuhi kebutuhan orang itu. Apabila orang tersebut kembali berjalan bersamanya, beliau akan bertanya,”Ada yang bisa saya bantu?” [Shifatush Shafwah 3/243]

Muhammad bin Sirin adalah salah seorang tokoh terkemuka dari kalangan ulama Tabi’in. Kisah di atas menggambarkan ketidaksukaan Muhamad bin Sirin rahimahulah terhadap popularitas.[xv]

  1. Qatadah berkata,

لَمَّا احْتُضِرَ عَامِرٌ، بَكَى.فَقِيْلَ: مَا يُبْكِيْكَ؟قَالَ: مَا أَبْكِي جَزَعاً مِنَ المَوْتِ، وَلاَ حِرْصاً عَلَى الدُّنْيَا، وَلَكِنْ أَبْكِي عَلَى ظَمَأِ الهَوَاجِرِ، وَقِيَامِ اللَّيْلِ

”Ketika ‘Amir menjelang wafat, beliau menangis. Beliau ditanya,’Apa yang membuatmu menangis?’ Beliau menjawab,’Aku bukan menangis karena takut mati dan cinta dunia. Yang kutangisi adalah kurangnya puasaku di siang hari dan shalatku di malam hari (qiyamullail).” [Siyaru A’laamin Nubala: 4/19]

Yang dimaksud dengan ‘Amir di sini adalah Abu Abdillah ‘Amir bin Abi Qais At-Tamimi Al-Bashri, termasuk kalangan Tabi’in. Ka’ab al-Ahbar pernah melihatnya dan berkomentar,”Ini adalah orang shalih umat ini.”[Siyaru A’lamin Nubala’, 4/15][xvi]

Hukum Berhujjah dengan Hadits Maqthu’

Hukum Hadits Maqthu' dan berhujjah dengan hadits maqthu

Dr. Syed Abdul Majid Al-Ghouri menegaskan bahwa hadits maqthu’ tidak boleh dijadikan hujah dalam suatu apa pun dari hukum- hukum syara’, walaupun penisbahannya adalah shahih kepada pengucapnya.

Hal ini karena ia adalah kata-kata dari seorang Muslim. Tetapi jika terdapat bukti yang menunjukkan ia adalah marfu’ (disandarkan kepada Nabi ﷺ , seperti kata-kata perawi — setelah menyebut nama Tabi’in –: ”Beliau (Tabi’i tersebut) memarfu’ -kannya” misalnya, maka ia dikira memiliki hukum marfu’ mursal.[xvii]

Dr. Nawir Yuslem juga memiliki pandangan yang sama. Beliau mengatakan, mengutip penjelasan Dr. Mahmud Thahan,  hadits maqthu’ tidak dapat dijadikan sebagai hujah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum karena status dari perkatan Tabi’in sama dengan perkataan ulama lainya.”[xviii]

Penggunaan Maqthu’ untuk Hadits Munqathi’

Sebagian dari ahli hadits (muhaddits) – seperti Imam Asy-Syafi’i dan Ath-Thabrani – telah meggunakan lafazh maqthu’ secara umum dengan makna munqathi’ yang isnadnya tidak bersambung.

Istilah semacam ini tidak masyhur penggunaannya. Dan sudah jelas bahwa hal itu terjadi sebelum mapannya musthalah hadits. Setelah itu, istilah maqthu’ menjadi berbeda dengan istila munqathi’.[xix]

Demikianlah pembahasan singat tentang hadits maqthu’. Semoga bisa menambah sedikit wawasan tentang hadits maqthu’ dan tidak keliru dengan hadits munqathi’.

Bila ada kebenaran dalam tulisan ini maka itu dari Allah Ta’ala semata dan bila ada kekeliruan di dalamnya maka dari kami dan setan. Semoga Allah Ta’ala mengampuni semua kesalahan kami.


[i] lihat: https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D9%88%D8%B5%D9%84/ dan Mabahits fi Ulumil Hadits, Syaikh Manna’ Al-Qathan, Maktabah Wahbah, Kairo, cetakan kedua 1412 H / 1992 M, hal. 157.

[ii] Mabahits fi Ulumil Hadits, Syaikh Manna’ Al-Qathan, Maktabah Wahbah, Kairo, cetakan kedua 1412 H / 1992 M, hal. 157.

[iii] Ulumul Hadis, Dr. Nawir Yuslem,M.A. hal. 292.

[iv]https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12239/%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B1%D9%81%D9%88%D8%B9%D9%88%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%88%D9%82%D9%88%D9%81%D9%88%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%82%D8%B7%D9%88%D8%B9%D8%AA%D8%B9%D8%B1%D9%8A%D9%81%D9%87%D9%88%D8%A3%D9%85%D8%AB%D9%84%D8%AA%D9%87

[v] Kamus Istilah Hadis, Dr. Syed Abdul Majid Al-Ghouri Darul Syakir Enterprise, Kuala Lumpur, Edisi kedua, 2017, hal. 532.

[vi] Mabahits fi Ulumil Hadits, Syaikh Manna’ Al-Qathan, Maktabah Wahbah, Kairo, cetakan kedua 1412 H / 1992 M, hal. 157.

[vii] Kamus Istilah Hadis, Dr. Syed Abdul Majid Al-Ghouri Darul Syakir Enterprise, Kuala Lumpur, Edisi kedua, 2017, hal. 533.

[viii] Aina Nahnu Min Akhlaq As-Salaf, Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Dar Thayyiba, Riyadh, Cetakan kedelapan, 1422 H / 2001 M, hal. 9

[ix] Ibid, hal. 54.

[x] Ibid, hal. 95.

[xi] Ibid, hal. 27.

[xii] Kamus Istilah Hadis, Dr. Syed Abdul Majid Al-Ghouri Darul Syakir Enterprise, Kuala Lumpur, Edisi kedua, 2017, hal. 533.

[xiii] Aina Nahnu Min Akhlaq As-Salaf, Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Dar Thayyiba, Riyadh, Cetakan kedelapan, 1422 H / 2001 M, hal. 9

[xiv] Ibid.

[xv] Ibid, hal. 23.

[xvi] Ibid, hal. 33.

[xvii] Kamus Istilah Hadis, Dr. Syed Abdul Majid Al-Ghouri Darul Syakir Enterprise, Kuala Lumpur, Edisi kedua, 2017, hal. 532.

[xviii] Ulumul Hadis, Dr. Nawir Yuslem,M.A. hal. 293.

[xix] Mabahits fi Ulumil Hadits, Syaikh Manna’ Al-Qathan, Maktabah Wahbah, Kairo, cetakan kedua 1412 H / 1992 M, hal. 157.

Leave a Comment