Pengertian Rawi Dalam Ilmu Hadits Disertai Contohnya Lengkap

Apa Pengertian Rawi Dalam Ilmu Hadits secara bahasa dan istilah? Apa syarat seorang rawi adil? Bagaimana contoh rawi hadits?

Tulisan sederhana berikut ini menjelaskan tentang pengertian rawi sebuah hadits dari segi bahasa dan istilah. Kemudian disertakan juga syarat-syarat seorang rawi dan contoh dari rawi sebuah hadits.

Pengertian Rawi

Pengertian rawi secara bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:

Rawi Secara bahasa

Dari segi bahasa kata الراوي berarti الناقل ‘orang yang memindahkan atau meriwayatkan.’

Rawi Secara istilah

Dari segi istilah, rawi adalah:

هو الشخص الذى ينقل الحديث أو الأثر بسنده منتهاه

”Orang yang memindahkan hadits atau atsar dengan sanadnya hingga penghujungnya.”[i]

Baca juga: Pengertian Sanad

Syarat Rawi Yang Adil

Sebutkan Syarat Rawi Hadits Ada

Rawi yang diterima riwayatnya ada syarat-syaratnya. Syarat-syarat rawi yang diterima riwayatnya (maqbul) tersebut ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan oleh para ahli hadits.

Syarat-syarat rawi maqbul yang terpenting adalah sebagai berikut:

1. Islam

Dalil pensyaratan ini adalah Allah mewajibkan untuk memastikan terlebih dahulu kabar dari orang fasik dan terlebih lagi orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ – ٦

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.

[Al-Hujurat: 6]

Orang kafir juga dicurigai bisa menimbulkan madharat terhadap agama dan kedustaan terhadap agama ini, maka perkataannya tidak diterima dalam masalah agama. Ini syarat yang disepakati.

Namun maksud dari syarat ini adalah pada saat pelaksanaan (penyampaian hadits) bukan pada saat penerimaan hadits. Artinya, bila ada orang yang mendengar hadits dari Nabi ﷺ  saat masih kafir kemudian dia meriwayatkannya setelah dia masuk Islam, maka riwayatnya diterima.

2. Baligh

Dalil syarat ini adalah seorang anak kecil itu tidak dikenai beban taklif syariat. Dia aman dari sanksi terhadap kedustaan sehingga sangat mungkin dia bisa berdusta atas nama Rasulullah ﷺ .

3. Sifat adil (العدالة / al-‘adalah)

Yaitu sifat yang kokoh dalam jiwa yang mendorong orang yang memiliki sifat tersebut untuk berpegang dengan takwa dan meninggalkan dosa-dosa besar serta apa saja yang bisa merusak muruah (martabat), seperti dosa-dosa kecil.

Termasuk perkara yang juga bisa merusak muruah adalah perbuatan-perbuatan hina yang bertentangan dengan nilai-nilai akhlak yang mulia, misalnya tipu menipu dalam perkara sepele.

Dalil dari sifat ‘adalah adalah firman Allah Ta’ala,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ – ٦

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.

[Al-Hujurat: 6]

Allah mewajibkan untuk melakukan upaya memastikan kebenaran kabar dari orang fasik. Dilarang untuk meyakini kebenarannya sampai ada riwayat dari jalur lain yang para perawinya orang-orang adil. Hal ini karena orang fasik itu tertuduh dengan kedustaan maka perkataannya tidak diterima.

4. Adh-Dhabth ( الضبط )

Yaitu hafal apa yang dia dengar atau dia lihat dan sedikit kesalahan dalam hafalan tersebut. Dalil pensyaratan sifat Adh-Dhabth ini adalah bahwa siapa saja yang banyak kesalahannya dalam penukilannya dan periwayatannya maka lemah dugaan untuk diyakini kebenarannya.

Dan siapa saja yang lemah dugaan untuk diyakini kebenarannya maka khabar atau berita yang dia bawa dalam urusan agama tidak diterima.[ii]

Contoh Rawi Hadits

Contoh Rawi hadits Pertama Hingga terakhir

Contoh rawi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah tentang manisnya iman.

يروي الإمامُ محمَّدُ بنُ إسماعيلَ البخاريُّ في الصّحيحِ :حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Ash-Shahih,” Muhammad bin Al Mutsanna telah bercerita kepada kami, (ia berkata),’ Abdul Wahhab Ats Tsaqafi telah bercerita kepada kami, (ia berkata),’ Ayyub telah bercerita kepada kami dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

”Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia telah mendapatkan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya. Jika Ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka.” [Hadits riwayat Al-Bukhari no. 16]

Pada hadits ini terlihat adanya rangkaian para perawi yang membawa kita sampai kepada matan hadits yaitu: Al-Bukhari, Muhammad bin Al-Mutsanna, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, Ayyub, Abu Qilabah dan Anas radhiyallahu ‘anhu.

Rangkaian nama-nama perawi itulah yang disebut dengan sanad dari hadits tersebut, karena merekalah yang menjadi jalan bagi kita untuk sampai ke matan hadits dari sumbernya yang pertama.

Masing-masing orang yang menyampaikan hadits tersebut, secara sendirian, disebut dengan rawi (perawi/periwayat), yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab, apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya).

Dalam hadits tersebut para perawinya secara urut adalah sebagai berikut:

  1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sebagai rawi pertama.
  2. Abu Qilabah sebagai rawi kedua.
  3. Ayyub sebagai rawi ketiga.
  4. Abdul Wahhab ats-Tsaqafi sebagai rawi keempat.
  5. Muhammad bin Al-Mutsanna rawi sebagai kelima.
  6. Al-Bukhari sebagai rawi terakhir.

Imam Al-Bukhari sebagai perawi terakhir dapat juga disebut sebagai mukharrij, yaitu orang yang telah menukil atau mencatat suatu hadits pada kitabnya dan dari segi ini Al-Bukhari adalah orang yang men-takhrij hadits tersebut.[iii]

Demikianlah pembahasan singkat tentang rawi hadits. Semoga bermanfaat.


[i] Mu’jam Al-Musthalat Al-Haditsiyyah, Dr. Sayyid Abdul Majid Al-Ghouri, Dar Ibnu Katsir, Beirut, 1428 H / 2007 M, cetakan pertama. Hal. 345-346.

[ii] Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’u Al-Faqih Jahlahu, Prof. Dr. ‘Iyadh As-Sulami, Dar At-Tadmuriah, 1426 H / 2005 M, Cetakan pertama, hal. 109-111

[iii] Ulumul Hadits, Dr. Nawir Yuslem,M.A., hal. 149-151.

Leave a Comment